Peristiwa Nasional

PDI Perjuangan: Kerusuhan 27 Juli 1996, Momen Kebangkitan Demokrasi Arus Bawah

Senin, 27 Juli 2020 - 14:57 | 30.05k
Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. (FOTO: Hasbullah/TIMES Indonesia)
Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. (FOTO: Hasbullah/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTAPDI Perjuangan memperingati peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang dikenal dengan insiden Kudatuli pada Senin (27/7/ 2020) ini.

Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, peristiwa Kudatuli mengajarkan inti dari kekuatan moral politik dengan pilihan Megawati Soekarnoputri menempuh jalur hukum ketika itu.

Advertisement

"Pilihan jalur hukum saat itu memperkuat moral pejuang demokrasi. Kudatuli menjadi benih perjalanan reformasi di mana kekuatan rakyat menyatu dan mampu mengalahkan tirani," ujar Hasto dalam keterangan tertulis yang diterima TIMES Indonesia.

Menurut Hasto, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri juga mengajarkan politik rekonsiliasi di balik jatuhnya Presiden Soeharto. Megawati, kata dia, juga mengajak berdamai dengan masa lalu dan melihat masa depan.

Peristiwa Kudatuli bermula dari dualisme di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ketua Umum PDI hasil kongres Medan, Soerjadi, menyerbu dan menguasai Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, yang diduduki Ketua Umum PDI Kongres Surabaya, Megawati Soekarnoputri.

Akibat serbuan terkait upaya pengambilalihan kantor PDI itu, bentrokan berdarah pecah. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat 5 orang tewas, 149 luka-luka, 23 orang hilang, dan 124 orang ditahan. Sebanyak 22 bangunan terbakar dan 91 kendaraan bermotor hangus. Kerugian material ditaksir sekitar Rp 100 miliar.

Pemerintah menuding Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan Budiman Sudjatmiko sebagai dalang kerusuhan. Sebelum 27 Juli, hampir selama sebulan, aktivis PRD turut menggelar orasi di halaman kantor PDI. Saat itu, pemerintahan Soeharto tidak memberi restu pada PDI pimpinan Megawati.

Menurut Hasto, peristiwa Kudatuli menunjukkan watak pemerintah Orde Baru yang otoriter dan memilih jalan kekuasaan menghadapi rakyatnya sendiri.  Ia mengatakan serangan itu tak hanya menyerang simbol kedaulatan partai politik yang sah, tetapi juga membunuh demokrasi.

"Kekuasaan dihadirkan dalam watak otoriter penuh tindakan anarki," kata politisi asal Yogyakarta itu.

Meski kantor PDI luluh lantak, kata Hasto, sejarah mencatat energi perjuangan tidak surut. Ia mengenang sikap Megawati yang memilih jalur hukum meski di tengah kuatnya pengaruh kekuasaan yang mengendalikan seluruh aparat penegak hukum.

Menurut Hasto, langkah itu bukan hanya menunjukkan keyakinan politik yang kuat. Lebih jauh, kata dia, sikap itu terbukti mampu menggalang kekuatan demokrasi arus bawah.

"Kekuatan moral itu mendapatkan momentumnya ketika seorang hakim di Riau bernama Tobing mengabulkan gugatan Ibu Megawati. Di sinilah hati nurani mengalahkan tirani," ujar Hasto.

Hasto mengatakan kekuatan yang sama juga menghadirkan politik moral ketika Megawati menyerukan 'setop hujat Pak Harto'. Padahal, kata dia, rakyat pun mengetahui bagaimana praktik de-Sukarnoisasi berjalan.

Praktik itu disebutnya tak cuma menempatkan Bung Karno dalam sisi gelap sejarah. Keluarga Bung Karno pun mendapat berbagai bentuk tekanan dan diskriminasi politik.

Dikatakan Hasto, Megawati menyatakan tak ingin sejarah terulang. Megawati juga menyampaikan tak boleh dendam lantas hanya melihat masa lalu hingga melupakan masa depan.

"Seorang presiden begitu dipuja ketika berkuasa dan dihujat ketika tidak berkuasa. Rakyat telah mencatat apa yang dialami oleh keluarga Bung Karno. Karena itulah, mengapa Bung Karno selalu berada di hati dan pikiran rakyat," tandas Sekjen PDI Perjuangan dalam peringatan kerusuhan 27 Juli 1996 tepat hari ini. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok
Sumber : TIMES Jakarta

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES