Peristiwa Nasional

Jejak Merah Perdagangan Kura-Kura Endemik Madasgaskar di Media Sosial

Minggu, 07 Februari 2021 - 23:27 | 183.93k
Ilustrasi kura-kura Madasgaskar.(Dok.Lingkungan Hidup)
Ilustrasi kura-kura Madasgaskar.(Dok.Lingkungan Hidup)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Perdagangan kura-kura Madagaskar masih banyak terjadi di Indonesia. Di jejaring sosial media Facebook misalnya, masih dapat ditemukan forum jual beli satwa endemik tersebut dengan harga fantastis.

Meski pihak otoritas manajemen Madagaskar telah bersurat pada otoritas manajemen di Indonesia untuk melakukan penegakan terhadap perdagangan satwa ilegal asal Madagaskar di Indonesia, namun perdagangan satwa tersebut masih terjadi di Indonesia dan bahkan dilakukan secara terang-terangan.

Advertisement

Baru-baru ini, salah satu jaringan internasional perdagangan satwa ilegal di Jakarta nampak memamerkan 'dagangan' satwa endemik tersebut melalui penjualan daring di Facebook.

Meski secara hukum spesies hewan asing di atas tidak dilindungi oleh undang-undang, namun Indonesia merupakan salah satu anggota CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).

Prof Hadi Alikodra, Guru Besar Konservasi Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, kura-kura jenis tersebut termasuk satwa endemik Madagaskar yang dilindungi.

Sebagai anggota CITES, artinya Indonesia harus turut menjaga spesies-spesies yang telah disepakati untuk dibatasi perdagangannya, di mana kedua spesies tersebut memiliki status Appendix 1 yang berarti kedua spesies di atas terancam punah dan harus berasal dari penangkaran yang terdaftar di sekretariat CITES.

"Dan itu dilindungi oleh CITES sejak tahun 1975 dilarang diperdagangkan. Jadi ya itu memang dilindungi mutlak. Nggak bisa diperdagangkan dan diancam hukuman," terangnya kepada TIMES Indonesia, Minggu (7/2/2021).

Setidaknya ada dua madzab yang melarang perdagangan exotic species tersebut. Yakni madzab CITES 1975 dan madzab sebagai spesies pemenang (winner) apabila suatu saat terlepas.

"Orang memelihara tidak bisa menjamin untuk tidak lepas. Bisa banjir, bisa tanah longsor, sehingga dia keluar. Nah itu ketika keluar, biasanya the new spesies adalah the winner spesies. Menang kan dia, jadi akhirnya merubah sistem di situ yang ekologi asli. Jadi kita larang itu adanya spesies asing, namanya dikenal sebagai exotic spesies," urainya.

Tak hanya spesies endemik Madagaskar, bahkan dalam aturan biogeography island, spesies dari lain dangkalan seperti dangkalan Sunda atau Kawasan Wallacea (Sulawesi, Maluku, Nusat Tenggara Timur) hingga Papua seperti burung cenderawasih, tidak boleh dilepaskan di Pulau Sumatera atau Pulau Jawa walaupun sama-sama satu Wilayah Indonesia.

"Jadi ini dalilnya nggak boleh lah, nggak boleh dengan dua madzab. Madzab CITES 1975 dan madzab dia akan menjadi spesies yang menang di tempat yang dilepaskan itu nanti. Atau tempat yang lepas akhirnya berbahaya," tegasnya.

Lantas, bagaimana apabila pedagang tersebut berdalih mengantongi surat dari karantina?

"Ya bagaimana karantina harus memberikan surat izin kan, gimana? Wong jelas itu diatur oleh perdagangan internasional dan Indonesia masuk di dalam kategori anggota CITES," tandas Prof Alikodra.

Atau dengan kata lain, perdagangan spesies kura-kura Madagaskar termasuk sebagai jenis perdagangan ilegal karena membahayakan.

"Dia hanya memikirkan keuntungan. Mungkin ada dua macam, ketidak tahuan atau pura-pura nggak tahu, ini dilindungi dan nggak bisa masuk ke sini. Dan mestinya di sana nggak bisa juga keluar," jelasnya.

Lalu, bagaimana perdagangan ilegal satwa endemik ini secara aturan hukum pidana?

"Pasti adanya, karena itu berarti mungkin kawan-kawan di sana yang punya spesies endemik di sana itu berarti dia anggota CITES. Berarti dia udah diatur oleh Undang-Undang mereka kan? Yang pasti nggak boleh keluar. Jadi ini ilegal, penyelundupan, jelas itu," ucap Prof Alikodra.

Lebih lanjut Prof Alikodra menerangkan, CITES 1975 berisi list of spesies dari binatang-binatang yang dilindungi dan tidak boleh diperdagangkan sejak tahun 1975. Setiap negara akan melaporkan mengenai kondisi satwa liar yang dilindungi. Sehingga ada jeratan menurut hukum masing-masing negara anggota CITES tempat asal satwa endemik tersebut.

"Oke, kalau ini Madagaskar, maka di sana masuk spesies yang dilindungi karena endemik. Pasti dilindungi, endemik berarti cuma ada di situ. Tidak ada di tempat lain. Pasti dilindungi, jadi ada hukumannya menurut hukuman negara mereka," ucapnya.

"Jadi, mestinya negara kita wajib melaporkan kepada kawan-kawan di Madagaskar. Mestinya. Ini ada barang masuk barang kamu nih, spesies kura-kura endemik ada dua macam yang masuk Indonesia. Nih ada dua nih, bahaya ini. Nah, sana yang bergerak nanti dengan Indonesia. Tangkap atau bagaimana itu, gitu aturannya," terang Prof Alikodra menambahkan.

Apakah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) tidak bisa langsung bergerak?

"Oh bisa juga dengan catatan bahwa ini adalah satwa endemik yang bukan punya kita. Dan kita adalah anggota CITES. Berarti ada jaringan dengan negara-negara pemilik daripada satwa bersangkutan. Ya bisa nangkap itu jelas. Bisa sekali," tegasnya.

Sementara itu, Koordinator Proyek Konservasi Aliansi Kelangsungan Hidup Penyu, Christine Light, mengungkapkan, masalah perdagangan kura-kura Madagaskar juga terjadi di negara-negara lain.

"Saya pikir masalah ini adalah masalah di banyak negara. AS (Amerika Serikat) adalah salah satunya," ungkapnya ketika dihubungi TIMES Indonesia.

Namun sayang, kata Christine, perdagangan satwa liar ilegal menempati urutan rendah dalam daftar prioritas pemerintah di banyak negara. Ia juga menyarankan agar ada seseorang yang berani mengambil tindakan terhadap perdagangan kura-kura Madagaskar di akun media sosial.

"Itu harus dihapus dari FB. Seseorang perlu melaporkannya dan memberi tahu pihak berwenang," tandasnya.

Melanie Subono: Edukasi Kurang, Hukum Nggak Jalan

Menurut artis sekaligus aktivis lingkungan hidup Melanie Subono, tak hanya kura-kura Madagaskar saja yang menjadi komoditas trafficking. Namun jual beli jenis-jenis hewan endemik Tanah Air masih kerap terjadi.

"Boro-boro kura-kura Madagaskar, segala monyet, segala macam ini itu juga dilakukan," ucapnya.

Kondisi tersebut mengartikan kurangnya edukasi di masyarakat sehingga muncul permintaan pasar.

"Ya berarti pembelinya banyak dan undang-undangya nggak jalan," tegas cucu BJ Habibie tersebut.

Ia memberikan contoh, banyak artis dan pejabat memelihara satwa yang dilindungi. Namun saat mendapatkan teguran, mereka memberikan berbagai alasan.

"Oh kita dapat surat dari ini kok, kita titipan, ya itulah hal-hal tolol seperti itu akhirnya yang pada saat kita serang balik mereka cuma berpikir gue benci ama mereka, padahal bukan," ujar Mel.

Padahal, lanjutnya, teguran tersebut adalah upaya edukasi karena mereka adalah publik figur yang memiliki banyak pengikut atau penggemar.

"Kalau mereka seperti itu, maka orang umum fans ini itu segala macam, fans mereka, follower mereka akan berpikir oke itu duit, nah terciptalah pasar-pasar seperti ini akhirnya. Pada saat banyak orang merasa oh it's ok, idola gue aja piara. Ya gitu, kalau masih diperdagangkan secara luas, berarti hukumnya tidak jalan, berarti contohnya buruk dan berarti pasarnya ada," paparnya.

Melanie percaya, pada saat pasar tidak ada, maka tak akan ada penjual. Ia menilai yang menjadi masalah saat ini adalah contoh yang ada buruk, hukum dan edukasi atau sosialisasi tidak berjalan.

Sementara itu, jika melihat rentetan perdagangan kura-kura endemik Madagaskar, pada 2018 lalu, para peneliti TRAFFIC juga merilis temuan serupa. Ribuan kura-kura darat dan air tawar yang terancam punah banyak diperdagangkan di toko-toko dan kios kios di Jakarta.

Berdasarkan laporan TRAFFIC, para peneliti menemukan 4.985 individu kura-kura darat dan air tawar dari 65 spesies yang berbeda-beda, pada tujuh lokasi dalam periode empat bulan. Hampir setengah dari spesies-spesies ini terancam punah, berdasarkan informasi dari IUCN Red List of Endangered Species.

Dalam laporan berjudul Perlahan tapi Pasti: Jejak Global dari Perdagangan Kura-kura Darat dan Air Tawar di Jakarta tersebut juga mengungkapkan bahwa setidaknya delapan spesies yang teramati bukanlah asli dari Indonesia, melainkan spesies yang dilarang untuk diperdagangkan secara internasional berdasarkan CITES dan besar kemungkinan hewan-hewan ini diimpor secara ilegal.

Survei yang dilakukan pada tahun 2015 ini menemukan peningkatan jumlah kura-kura darat dan air tawar yang diperdagangkan di Jakarta, dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya yang dilakukan oleh TRAFFIC pada tahun 2004 dan 2010. Antara 92 hingga 983 ekor hewan teramati setiap minggunya.

“Jika pihak berwajib tidak menindak perdagangan ini dan pasar-pasar terbuka yang memperdagangkan spesies tersebut secara ilegal sebagai prioritas aksi penegakan hukum, maka banyak spesies-spesies yang saat ini terancam akan makin terdesak menuju kepunahan,” menurut Kanitha Krishnasamy, Acting Regional Director untuk TRAFFIC di Asia Tenggara.

Penelitian ini juga menemukan indikasi situasi yang memburuk dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Yaitu ditemukannya jumlah yang lebih besar pada spesies-spesies yang bukan asli Indonesia, terdaftar dalam CITES, dan terancam.

Tercatat antara lain adalah Kura-kura Yniphora Astrochelys yniphora dan Kura-kura Radiata Astrochelys radiata yang kritis terancam punah, keduanya adalah spesies endemik dari Madagaskar dan terdaftar dalam Lampiran I CITES (yang melarang semua bentuk perdagangan internasional) sejak tahun 1975.

Spesies kura-kura bukan asli Indonesia tidak terlindungi oleh hukum di Indonesia, termasuk spesies yang paling umum teramati dalam studi ini – Kura-kura Indian Star Geochelone elegans. Kura-kura ini juga sepenuhnya dilarang untuk ditangkap dan diperdagangkan di negara-negara asalnya di Asia Selatan.

Saat itu, para peneliti tidak menemukan catatan impor Kura-kura Indian Star untuk tujuan komersil di beberapa tahun terakhir, atau catatan ekspor legal dari negara-negara asalnya berdasarkan basis data UNEP-WCMC CITES.

Selain itu, tidak ada informasi spesimen yang tercatat dikembangbiakan dalam penangkaran di negara-negara lain. Penyusun laporan ini menyimpulkan bahwa tingkat impor ilegal kura-kura ini masih tinggi setidaknya hingga tahun 2015.

Penelitian ini meningkatkan dua kekhawatiran yang sudah lama dirasakan oleh para ahli: bahwa tingkat perdagangan kura-kura ilegal yang terjadi di Indonesia cukup tinggi, dan celah yang ada di hukum nasional terus mengurangi efektivitas perlindungan spesies-spesies kura-kura darat dan air tawar, baik lokal maupun spesies bukan asli Indonesia.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES