'Hantu' Demokrasi Indonesia Itu Bernama Buzzer

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tantangan negara Demokrasi Penuh seperti Indonesia, bukan hanya soal bebas dari money politic dan penegakan hukum positif. Akan tetapi juga soal oposisi yang harus kuat. Oposisi itu entah dari partai politik sendiri. Juga dari rakyat sipil sebagai kritikus dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Demokrasi akan tumpul. Bila setiap kebijakan yang diambil oleh penguasa, tanpa diiringi oleh kritik itu. Oleh karenanya, budaya kritik tersebut sejatinya harus terus dirawat. Dan diucapkan tanpa harus ada halangan serta intimidasi dari siapa dan dari pihak manapun.
Advertisement
Namun masalahnya, saat ini para kritikus di tanah air banyak yang mengaku ketakutan dalam menyampaikan kritik tersebut. Mengapa? Mereka mengaku, kini 'dihantui' oleh 'musuh' yang tak terlihat. Setiap melayangkan kritik, sekaligus masukan, mereka langsung 'dibombardir' oleh para Buzzer.
Salah satunya seperti yang dikemukakan oleh ekonom senior, Kwik Kian Gie kemarin. Ia mengaku kini takut menyampaikan kritik kepada pemerintah yang dinahkodai oleh Presiden RI Jokowi. Menurutnya, kini usai mengemukakan pendapat berbeda dengan rezim akan langsung diserang Buzzer di media sosial.
"Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil," katanya dalam akun Twitter @kiangiekwik.
Cendikiawan muslim, Ahmad Syafii Maarif menyampaikan, agar ada kestabilan dalam demokrasi, kritik haruslah terus berjalan. Namun, lanjut pria yang biasa dipanggil Buya Syafii itu, pemerintah harus membebaskan negara ini dari ancaman Buzzer.
"Dalam situasi yang sangat berat ini antara pemerintah dan pihak sebelah semestinya mampu membangun budaya politik yang lebih arif, saling berbagi, sekalipun sikap kritikal tetap dipelihara. Tidak perlu main buzzer-buzerr-an yang bisa menambah panasnya situasi," katanya.
Pelihara Buzzer?
Juru Bicara Presiden RI Jokowi, Fadjroel Rachman menyampaikan Presiden Jokowi tak punya buzzer untuk membela kebijakan. Menurutnya, seluruh masyarakat punya hak dan kebebasan untuk menyampaikan kritik untuk mengontrol kebijakan.
"Pemerintah (Presiden Jokowi) tidak punya buzzer. Pemerintah selalu terbuka dengan semua kritik terhadap setiap kebijakan untuk kepentingan rakyat," katanya.
Presiden RI Jokowi sendiri dengan terbuka meminta kepada masyarakat untuk lebih aktif dalam menyampaikan kritik terhadap kerja-kerja pemerintah. Ini kata dia, sebagai kontrol terhadap kinerja agar semakin lebih baik dalam pelaksanaannya.
"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi mal administrasi. Dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," ujanya.
Akan tetap hal itu dinilai hanya retorika belaka. Momen itu dianggap kontras dan seakan bermuka dua. Sebab, di masyarakat banyak peristiwa traumatis terkait penyampaian kritik yang berujung bui.
Rekam jejak soal kebebasan pemerintah saat ini memang tampak buram. Misalnya, survei dari Indikator Politik Indonesia menunjukkan kenaikan ketidakpuasan. Dari 28 persen menjadi 35,6 persen. Hal itu adalah titik terendah tingkat kepuasan terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi semenjak Juni 2016 lalu.
Minta Buzzer Dikontrol
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) turut menyoroti buzzer menyerang kelompok yang mengkritisi pemerintah di media sosial.
YLBHI berpandangan harusnya pemerintah bisa mengontrol dan mengambil tindakan terhadap buzzer itu meski tidak 100%. Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan sulit untuk tidak mengkaitkan buzzer itu sebagai pendukung pemerintah.
"Pemerintah selalu bilang (buzzer) itu bukan dari mereka. Tapi kalau kita lihat sulit untuk menepis tidak adanya relasi, baik itu relasi dari mereka yang mendukung Pak Jokowi ketika mencalonkan diri atau dari yang lain-lain," katanya.
Pemerintah harusnya bisa mengendalikan oknum yang menjadi buzzer itu. Sebab, menurutnya, oknum tersebut adalah pendukung pemerintah dan ada di bawah pemerintah.
"Pada akhirnya pasti tidak bisa 100% dikontrol tapi sebagian besar sebetulnya bisa dikendalikan oleh pemerintah baik dalam lembaga yang ada di bawah dia maupun orang-orang yang menjadi pendukungnya," jelasnya.
Sementara Pendiri Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia, Hendri Satrio mengatakan ajakan Presiden Jokowi untuk masyarakat lebih aktif mengkritik kemarin, seharusnya diikuti inisiatif merevisi UU ITE.
"Pak Jokowi sudah memaparkan niat baik yang sangat bagus. Harus diikuti dengan inisiatif merevisi UU ITE," kata Hendri seperti dikutip dari Tempo.
Buzzer Haram
Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang diterbitkan pada 2017, aktifitas buzzer yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoaks, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis. Sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram.
"Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya," bunyi Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial, khususnya mengenai buzzer. Yang mengancam negara demokrasi seperti Indonesia tersebut. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Irfan Anshori |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |