Hukuman Mati untuk Koruptor Kelas Kakap

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin membuka kemungkinan penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi atau koruptor menuai pro-kontra dari banyak pihak. Sebelumnya, Sanitiar Burhanuddin membuka kemungkinan penerapan hukuman mati seperti kasus Asabri dan Jiwasraya yang tidak hanya menimbulkan kerugian negara. Namun juga berdampak luas kepada masyarakat umum.
Diketahui, kasus korupsi PT Jiwasraya menimbulkan kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun, sedangkan korupsi PT Asabri (Persero) sekitar Rp22,78 triliun.
Advertisement
Burhanuddin mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara itu.
"Jaksa Agung sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud, tentunya penerapannya harus tetap memperhatikan Hukum Positif yang berlaku serta nilai-nilai hak asasi manusia," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan resminya kemarin.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) meminta rencana hukuman mati itu bukan kata-kata saja dan tanpa ada tindak lanjut dan bukti.
"Saya mendukung rencana jaksa agung yang akan menerapkan tuntutan hukuman mati terhadap pelaku korupsi dan saya minta juga ini bukan hanya lip service atau kata-kata," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada awak media, Senin (1/11/2021).
Ia pun menyinggung perihal dua kasus megakorupsi yang ditangani Kejagung yakni korupsi Jiwasraya dan PT Asabri itu. Menurutnya, ada dua orang yang sudah memenuhi syarat dituntut hukuman mati karena terlibat dalam dua kasus besar itu.
"Segera diterapkan dalam proses tuntutan berikutnya dan ini sudah ada yang di depan mata yaitu proses persidangan Asabri, kasus korupsi Asabri yang saat ini sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakpus. Di sana setidaknya ada dua orang yang memenuhi syarat untuk dituntut hukuman mati," jelasnya.
"Karena ada pemberatan sebagaimana Pasal 2 ayat 2 UU pemberantasan korupsi yaitu adanya pengulangan karena apa, sebelumnya sudah melakukan korupsi di Jiwasraya dan ternyata kemudian sekarang juga terlibat korupsi di Asabri, jadi hukuman mati itu selain dalam keadaan bencana juga karena pengulangan," katanya.
Oleh sebab itu, ia meminta jaksa untuk benar-benar menerapkan hukuman mati kepada pelaku korupsi apalagi perbuatan itu dilakukan berulang kali.
"Makanya ini saya minta, jaksa agung untuk menerapkan kehendaknya itu tidak hanya lip service dan dilakukan tuntutan hukuman mati kepada orang-orang yang diduga melakukan pengulangan korupsi di Jiwasraya maupun di Asabri dan itu tetap harus dilakukan tuntutan, soal nanti hakim mengabulkan atau tidak, setidaknya kehendak dan semangat untuk menuntut hukuman berat kepada koruptor itu telah dilakukan," ujarnya.
LBHM Tak Sepakat
Lain halnya dengan pandangan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dan Transparency International Indonesia (TII). Yang menyatakan tak sepakat dengan rencana tuntutan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Tindakan tersebut dinilai sebagai kebuntuan dalam menangani kasus rasuah.
"Pengembalian dan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang belum optimal dan wacana pemiskinan bagi para koruptor justru layak untuk dipertimbangkan," kata Direktur LBHM Afif Abdul Qoyim dalam keterangan tertulis.
Selain itu, LBHM dan TII juga mengusulkan penambahan sanksi moratorium bagi mantan napi korupsi untuk terjun kembali ke dunia politik dalam jangka waktu tertentu. Dengan begitu, mereka tidak bisa berlaga dalam kontestasi politik yang sarat dengan biaya tinggi tersebut.
Ia juga menekankan pentingnya menghitung kerugian sosial akibat korupsi yang dibebankan pada para terpidana korupsi. Kerugian itu dikembalikan pada keuangan negara yang akan digunakan untuk pembangunan dan masyarakat sebagai penerima manfaatnya.
"Tentu ini pekerjaan rumah utama dalam mengawal agenda pemberantasan korupsi. Berkaca dari hal tersebut artinya tindakan Jaksa Agung yang menuntut pidana mati dalam kasus korupsi sangat tidak tepat dengan agenda pemberantasan korupsi yang saat ini masih belum memuaskan," ujarnya.
KPK RI Sambut Baik
Sementara itu, Ketua KPK RI Firli Bahuri mengaku mendukung wacana jaksa Burhanuddin. "Saya menyambut baik dengan adanya gagasan Jaksa Agung RI tentang rencana mengkaji hukuman mati kepada pelaku korupsi," katanya dalam keterangan resminya.
Dalam aturan hukum di Indonesia, ada peluang hukuman mati bagi koruptor bila berkaitan dengan bencana. Aturan itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tepatnya pada Pasal 2 ayat 2.
Pasal 2 tersebut mengatur hukuman bagi koruptor, di mana hukuman mati menjadi salah satu opsinya. Pasal 2 UU tersebut berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Tetapi, penerapan hukuman mati itu tidak sembarangan. Hukuman tersebut hanya dapat diterapkan dalam keadaan tertentu. Syarat tersebut dituangkan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2.
"Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter." (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |