Rizal Ramli Khawatir Proyek IKN Cuma Jadi Vasal State

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sejumlah ulama dan tokoh melakukan presentasi dalam acara Kajian Pakar dan Pernyataan Sikap NU Khittah 1926 Tentang Ibu Kota Negara. Termasuk pakar ekonomi Rizal Ramli.
Turut hadir Rois Aam NU Khittah KH Suyuti Thoha, Khatib Aam NU Khittah KH Abdullah Munif, Ketua Umum NU Khittah KH Solachul Aam Wahib, Sekjend NU Khittah Dr H Ahmad Badawi Saluy, KH Suyuti Thoha, KH Gus Ishak Masuri (Lasem), dan KH Dimyati (Tulung Agung) serta sejumlah Kiai Komite Khittah NU (KKNU) 1926 lainnya.
Advertisement
Kemudian Mantan KSAL Laksamana Purn TNI AL Slamet Soebijanto, Mantan Birokrat dan Diplomat Prof Widi Agoes Pratikto, Pakar Sejarah Prof Aminuddin Kasdi dan Pakar Peradaban Prof Daniel M Rosyid.
Pertemuan pada Jumat (4/2/2022) tersebut berlangsung selama hampir 15 jam lebih. Hasil pemaparan materi dari sejumlah pakar dan kiai merumuskan 12 pernyataan sikap permintaan KKNU 1926 tentang Kebijakan IKN Ibu Kota Negara Baru dan dibacakan oleh Gus Wachid Muin.
Gus Wachid Muin membacakan pernyataan sikap KKNU 1926.
Pertama disebutkan secara historis jika Ibu Kota Jakarta merupakan sebuah proses panjang perjalanan sejarah. Diawali oleh Fatahilah sebagai salah seorang tokoh ulama Wali Songo.
Kehadiran IKN dinilai akan menghapus identitas Jakarta sebagai tonggak terpenting sejarah kemerdekaan Indonesia. Bahkan lebih jauh lagi dirunut ke belakang dapat menghilangkan sejarah pembebasan oleh Fatahillah atau Sunan Gunung Jati atas penjajahan Portugis di Jakarta di mana dulu bernama Jayakarta. Jayakarta adalah simbol kemenangan dunia, sedangkan Fatahillah adalah simbol kemenangan Nusantara.
"Ini sangat ditekankan oleh kiai-kiai tersebut," terang Rizal Ramli saat dihubungi, Sabtu (5/2/2022).
Namun pemerintah dan DPR RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (UU) Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi Undang-Undang (UU) hanya dalam tempo 42 hari.
Waktu penyusunan UU tersebut juga dinilai sangat cepat. Para ulama dan pakar menilai lahirnya UU tanpa partisipasi publik yang memadai. Kemudian mereka juga menelaah setiap aspek mulai sosial, kesejarahan, ekonomi, lingkungan dan politik.
Rizal Ramli yang lekat disapa RR menambahkan, dirinya sangat tergugah bahwa ternyata NU Khittah betul-betul dapat merasakan keresahan rakyat terhadap rencana pindah Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Penajam Paser, Kalimantan Timur.
Upaya pindah IKN itu, jelasnya, dapat menghilangkan hubungan sejarah dengan Jakarta, Kota Batavia yang dulu direbut Sunan Gunung Jati.
"Pindah ibu kota itu memutuskan hubungan sejarah dan sosiologis dengan Wali Songo, dengan sejarah Jawa secara umum. Ibu kota pindah, ngolah-ngalih, wong bikin bingung tercabut dari sejarah bangsanya," ucap RR.
Bahkan dia melihat upaya pemindahan IKN baru bukan untuk rakyat dan bangsa. Namun hanya demi ambisi pribadi kelompok tertentu.
"Akankah bermanfaat, fungsional atau hanya jadi monumen kegagalan? Bagaimana pembiayaannya? Jangan-jangan hanya bakal jadi Ibu Kota Baru ‘Vasal State’? Kok tega amat sih," tandasnya.
Kota Jakarta bagi Rizal merupakan aset bernilai sangat tinggi bagi Bangsa Indonesia dan sudah menjadi ‘Melting Pot’. Sebuah kota kesatuan dan kebersamaan seluruh Bangsa Indonesia.
Menurut Rizal Ramli, salah satu lembaga negara yang mendapat sorotan paling tajam adalah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
"Bappenas benar-benar habis dibahas secara kritik oleh para kiai tadi. Kalau ada org Bappenas hadir disitu bakalan merah padam akibat malu," kata dia.
Anggaran Tak Cukup, Proyek IKN Cuma Jadi Beban Negara
Penggunaan APBN sebagai dana mewujudkan IKN disebut membebani rakyat dan menimbulkan dampak multi bidang bersifat sistemik terutama kesulitan ekonomi rakyat akibat pandemi Covid-19.
RR semakin khawatir apalagi saat ini hutang Pemerintah RI sudah menembus sekitar Rp 6.500 triliun sementara pendapatan negara jauh lebih rendah dari belanja negara.
Kondisi tersebut bisa berujung pada kesulitan likuiditas. Apalagi ditambah dengan perkiraan biaya tahap 1 ibu kota baru mendekati Rp 500 trilliun. Total bisa mencapai Rp 1.500 trilliun.
"Karena tidak punya uang dan "koppig" tetap ingin bangun Ibu Kota Baru, maka hal yang akan terjadi adalah bagaikan orang diberikan mandat mengelola rumah warisan dari hasil perjuangan tapi memilih menjual rumah hasil perjuangan tersebut dan memilih mengontrak di rumah yg baru demi mewujudkan keinginan pribadi yang spekulatif," kata Rizal Ramli. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |