
TIMESINDONESIA, MADINAH – Arab Saudi secara terang-terangan menggunakan istilah “Vision 30” untuk konsep modernisasi. Atas konsep itu maka semua aspek kehidupan, baik hubungan antara agama dan keyakinan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya akan mengalami perubahan yang sangat luar biasa (drastis).
Sekarang sudah terasa. Konstruksi berpikir masyarakat Arab Saudi secara menyeluruh, termasuk penduduk Makkah dan Madinah, sedikit demi sedikit berubah. Perlu diketahui, bahwa pemahaman Salafi (Wahabi) yang merujuk pada akidah tiga prinsip (Al-Usulu Al-Tsalasah) tetap ada. Namun salafinya yang lebih soft (lembut) dibandingkan dengan sebelumnya. Salafi nama lain dari wahabi menerima perubahan yang telah ditetapkan oleh Raja melalui Vision 30.
Advertisement
Moderasi Arab Saudi lebih mudah ketimbang moderasi di Indonesia. Karena sifatnya dari raja diterapkan ke bawah. Ketika Raja melaksanakan sebuah perintah, secara otomatis semua harus ikut berubah.
Sementara Indonesia, dengan alasan demokrasi, Salafi, Syiah, Ikhwanul Muslimin mendapat angin demokrasi. Mereka bisa mengembangkan akidahnya dengan alasan demokrasi. Sementara pemerintah, tidak bisa berbuat banyak menginterfensi.
Wanita, pada masa-masa sebelumnya, kira-kira kurun 30 tahun yang lalu, atau paling dekat saat saya masih kuliah di Umm Alqura University (tahun 2000-an), tidak ada seorang wanita mengendari mobil, bekerja di toko, apalagi di pemerintahan.
Tidak main-main, hukumnya “haram”. Artinya dosa besar bagi yang mengerjakan. Begitu juga cara berbusana harus warna hitam ketika keluar rumah, dan wajib memakai cadar.
Ketika naik bus umum, antara penumpang pria dan wanita diberikan satir (pembatas). Ini berlagsung puluhan tahun lamanya.
Melalui Vision 30, semua mulai berubah drastis. Tidak satu-pun yang berani membantah titah seorang Raja. Ulama-pun, harus taat terhadap aturan negara. Tidaklah heran, pada setiap perhelatan internasional. Seperti; seminar bahasa, pendidikan, ekonomi, budaya, selalu melibatkan wanita-wanita cantik tanpa memakai tutup kepala (jilbab).
Namun mereka tetap memakai busana hitam-hitam sebagai ciri khasnya. Hanya sekarang bisa memakai celana jeans ketat.
Mereka asyik dan menyenangkan saat berbincang dengan pria yang bukan muhrimnya. Tanpa merasa riskan. Tidak satu-pun, ulama dunia membolehkan seorang wanita membuka jilbabnya (tutup kepala), ketika berbincang dengan lawan jenisnya. Arab Saudi, sekarang sudah melangkah lebih berani dalam masalah ini.
Bandara-bandara, sebagian besar yang bekerja di imigrasi, dipenuhi kaum wanita yang masih muda. Walaupun ada juga yang sedikit stw (setenggah tua). Di antara sekian wanita, ada juga yang membuka tutup kepala (kerudung) tanpa merasa riskan dan sungkan.
Kendati demikian, tetap ada wanita-wanita yang istikomah memakai cadar. Bahkan, mereka kadang sesekali bercanda kecil saat pemeriksaan paspor dengan calon jamaah umrah dan haji.
Pertokoan besar (mall) di Hijaz (Makkah, Madinah, Jeddah), Najed (Riyad dan sekitarnya) sebagian kaum wanita muda diperdayakan bekerja. Begitu juga dengan pertokoan di sekitar Masjidilharam dan masjid Nabawi.
Dengan gaya khasnya, wanita-wanita melayani para pembeli, namun masih terlihat kaku, jika dibandingkan dengan wanita-wanita Mesir saat menawarkan barang dagangan.
Dulu, fatwa “haram” terhadap wanita tidak berjilbab, sudah tidak lagi bermunculan, namun tetap saja haram dalam hukum fikih.
Fatwa “Haram” terhadap wanita nyetir mobil, bekerja di luar rumah tanpa muhrim, lambat laun sudah tidak muncul lagi. Moderasi menghiasai perubahan besar-besaran menuju Arab Saudi tahun 2030. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rifky Rezfany |