Peristiwa Nasional

KUHP Baru Mencampuradukkan Hukum dan Terlambat 2 Abad

Jumat, 23 Desember 2022 - 08:24 | 58.76k
Diskusi KUHP baru bersama Bagir Manan sebagai pembicara, dosen Universitas Brawijaya dan aktivis HAM Al Araf, serta pakar hukum pers Wina Armada Sukardi. Agus Sudibyo bertindak sebagai moderator. (foto: dok TI)
Diskusi KUHP baru bersama Bagir Manan sebagai pembicara, dosen Universitas Brawijaya dan aktivis HAM Al Araf, serta pakar hukum pers Wina Armada Sukardi. Agus Sudibyo bertindak sebagai moderator. (foto: dok TI)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru telah disahkan, dan menyisakan banyak persoalan di bidang demokrasi dan hak asasi manusia, namun komunitas pers sangat yakin bahwa undang-undang pers yang ada saat ini tetaplah undang-undang pers.

“Pada dasarnya UU yang khusus menyingkirkan UU yang bersifat umum, kecuali undang-undang baru menentukan lain,” kata mantan Ketua Mahkamah Agung (KM) Prof Bagir Manan dalam diskusi publik, Kamis, 22 Desember 2018, di Sekretariat Pusat PWI di Jakarta.

Advertisement

Dalam debat publik KUHP baru bersama Bagir Manan sebagai pembicara, dosen Universitas Brawijaya dan aktivis HAM Al Araf, serta pakar hukum pers Wina Armada Sukardi. Agus Sudibyo bertindak sebagai moderator.

Menurut Bagir Manan, undang-undang yang baik harus dibuat secara adil dan bertanggung jawab. Ketika ada banyak ketidakpuasan, kita harus menemukan di mana letak ketidakpuasan itu.

KUHP Baru Jangan Sewenang-Wenang

Mantan Ketua Dewan Pers itu mengatakan, KUHP punya tanggung jawab politik dan , tanggung jawab moral. “Dalam konteks ini, jangan sampai penerapan hukum pidana sewenang-wenang yang menimbulkan ketidakpuasan banyak orang,” kata Bagir.

Pada acara tersebut, Dirjen PWI Pusat Atal S. Depari menegaskan bahwa kebebasan pers tidak lepas dari dukungan masyarakat yang demokratis. Keduanya sangat erat kaitannya karena saling mempengaruhi.

Diskusi-KUHP-2.jpg

“Dari sini kita melihat ada masalah untuk membangun masyarakat demokratis di beberapa pasal hukum pidana,” ujar Atal.

Selain itu, Atal mengumumkan pihaknya akan mengembangkan program untuk mensosialisasikan permasalahan hukum pidana dengan mengidentifikasi cara terbaik untuk menyelesaikannya. "Kita bisa mengetahuinya dan fokus pada aspek-aspek tertentu," katanya.

Dalam acara tersebut, Wina Armada menjelaskan bahwa Amerika telah mengalami 200 tahun ujaran kebencian atau hate speech. Undang-undang ini merenggut nyawa dua jurnalis Amerika yang ditangkap dan dihukum berdasarkan undang-undang tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya, undang-undang ini tidak diterapkan karena dianggap Mahkamah Agung atau Mahkamah Agung Amerika Serikat melanggar Konstitusi Amerika Serikat dan kebebasan berbicara, termasuk kebebasan pers.

Menurut Wina Armada, isi undang-undang penghasutan yang berlaku di Amerika 200 tahun lalu, kini diterapkan dalam hukum pidana yang baru diundangkan. “Ini menunjukkan bahwa isi undang-undang pidana kita yang baru sebenarnya tertinggal dari undang-undang modern lainnya sekitar 200 tahun atau dua abad,” kata Wina.

Berdasarkan hal tersebut, Wina Armada berpendapat bahwa KUHP baru hanya menggantikan pakaian hukum pidana kolonial, tetapi substansi yang terkait dengan Pasal-Pasal Demokrasi lebih buruk daripada produk kolonial.

Wina Armada menegaskan pendapat Bagir Manan, karena UU Pers No 4O Tahun 1999 merupakan keutamaan atau keistimewaan, yakni. sebagai undang-undang yang diprioritaskan dan diprioritaskan, khususnya bagi pers, Undang-Undang Pers tetap berlaku untuk pers dan bukan KUHP. "Dan tidak ada hukum pidana," katanya.

Di sisi lain, Al Araf menjelaskan bahwa paradigma pelaku dalam hukum pidana masih melindungi kekuasaan. Untuk menghukum semangatnya.

KUHP Baru Mencampuradukkan Hukum

Ia juga melihat bahwa para pembuat KUHP mencampuradukkan hukum administrasi dan hukum pidana.

“Karena itu banyak pasal, filosofinya tidak jelas, multitafsir”, kata Al Araf. Oleh karena itu, pernyataan pemerintah dan parlemen tidak dapat menjawab kesesuaian pembentukan pasal-pasal hukum pidana tersebut.

Misalnya, ia mencontohkan ketentuan yang melarang demonstrasi ilegal dan merusak ruang publik atau mengganggu kepentingan publik. “Yang seharusnya dilarang merusak ruang publik atau mengganggu kepentingan publik bukanlah larangan unjuk rasa tanpa izin,” ujarnya.

Al Araf menyayangkan, KUHP baru hanya melibatkan pengacara, itupun hanya ahli hukum pidana yang memiliki kecenderungan hukuman, yang terlibat dalam legislasi pidana.

“Karena ada kepentingan umum dalam kejahatan, maka KUHP sebenarnya harus melibatkan ahli hukum di luar hukum pidana, bahkan ahli lain seperti filosof dan sosiolog,” ujarnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES