Peristiwa Nasional

KH Ahmad Baidlowi; Dikenal Jawara Silat, Gigih Melawan Penjajah

Jumat, 03 Maret 2023 - 05:19 | 613.73k
Almarhum KH Ahmad Baidlowi dikenal sebagai ulama yang gigih melawan penjajah bersama almarhum KH Zaini Mun'im. (FOTO: Ponpes Darul Lughah Wal Karomah for TIMES Indonesia)
Almarhum KH Ahmad Baidlowi dikenal sebagai ulama yang gigih melawan penjajah bersama almarhum KH Zaini Mun'im. (FOTO: Ponpes Darul Lughah Wal Karomah for TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Ada satu garis perjuangan yang akan terus abadi pada diri seorang ulama. Dakwah. Tapi bagi pendiri Pondok Pesantren Darul Lughah Wal Karomah KH Ahmad Baidlowi (DWK), dakwah saja tidak cukup. Beliau juga gigih melawan penjajah dengan modal jawara silat.

Itu hanyalah sekelumit tentang sosok KH Ahmad Baidlowi. Meski tak banyak, namun ada perjuangan panjang untuk bisa mencapai apa yang sudah dilakukannya. Tubuh lelah, dikejar-kejar penjajah, dan pastinya berdarah-darah.

Darul-Lughah-Wal-Karomah.jpgPonpes Darul Lughah Wal Karomah saat ini diasuh oleh KH Mahmud Ali Wafa, cucu almarhum KH Ahmad Baidlowi. (FOTO: Ponpes Darul Lughah Wal Karomah for TIMES Indonesia)

Untuk menceritakan perjalanan panjang beliau, TIMES Indonesia menyadur dari buku berjudul “Kiai Pejuang” karya Zuhri Humaidi dan Nurul Huda tahun 2021.

Kita awali dari keluarga yang ada di Dusun Panggung, Desa/Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, Madura. Di tanah Galis itulah, beliau terlahir pada 11 Februari 1908 lampau. Semasa kecil, beliau lebih dikenal dengan nama Ahmad Sibaweh.

Ahmad Sibaweh memanfaatkan masa kecilnya dengan belajar agama dan silat. Guru ngaji pertamanya adalah Kiai Asy’ari, kakak ipar beliau. Kemudian lebih memperdalam lagi dengan berguru kepada KH Abdul Mun’im, ayah dari KH Zaini Mun’im pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Kabupaten Probolinggo.

Darul-Lughah-Wal-Karomah-2.jpgSantri Pondok Pesantren Darul Lughah Wal Karomah aktif dalam kegiatan yang digelar pemerintah. (FOTO: Ponpes Darul Lughah Wal Karomah for TIMES Indonesia)

Sementara untuk memperdalam ilmu silat, Ahmad Sibaweh kecil berguru kepada Mbah Dul Mukti dan beberapa guru lainnya. Seperti Bang Manap, Abdul Lakmat bin Haro, Syaif Ali dan KH Jazuli.

Kiai Badlowi -begitu sapaan akrab hingga akhir hayatnya- memang lahir dari keluarga terpandang dan kecukupan. Tak heran ketika beliau meminang Nyai Maisuroh, kedua orang tua beliau yakni KH Abdul Mu’thi dan Nyai Hajah Khodijah membawa banyak barang bawaan sampai terangkut 8 cikar atau pegon.

 

Gigih Melawan Penjajah

Kiai Baidlowi dan Nyai Maisuroh kemudian menikah selepas Kiai Baidlowi pulang dari haji dan studi di Makkah pada tahun 1933. Tapi pada tahun 1948, beliau hijrah ke Malang dan meninggalkan keluarganya dengan alasan keselamatan. Pasalnya, saat itu beliau dikejar-kejar Belanda saat terjadi agresi militer kedua.

Diketahui, Kiai Baidlowi bergabung bersama pasukan Sabilillah yang dipimpin KH Zaini Mun’im. Hanya saja, KH Zaini Mun’im lebih memilih hijrah ke Paiton yang kemudian mendirikan Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton.

Lalu, bagaimana nasib Kiai Baidlowi di Malang? Tentu saja tetap melawan penjajah, berdarah-darah, berpindah rumah agar tidak ditangkap penjajah. Maklum, kala itu Belanda tak rela dengan langkah Soekarno-Hatta yang memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Setelah dirasa aman, Kiai Baidlowi kemudian membawa istri dan anak-anaknya ke Malang. Pertama, beliau tinggal di rumah kakaknya di Krebet Timur. Lalu pindah lagi ke Bululawang, hingga perang kembali pecah di daerah tersebut.

Demi keselamatan keluarganya, Kiai Baidlowi kemudian membuat lubang tempat persembunyian istri dan keempat anaknya. Keluar masuk lubang yang dilakukan Nyai Maisuroh dan anaknya terus dilakukan, selama genderang perang digaungkan. Sementara sang kiai keluar dari lubang untuk berperang.

Ada momen getir yang dialami Nyai Maisuroh dan keempat anaknya. Dimana, Nyai Maisuro berpisah dengan anaknya ketika dikejar Belanda. Beruntung, mereka ditolong oleh pamannya dan kembali berkumpul di rumah sang paman. Begitu juga Kiai Baidlowi.

Lalu pada tahun 1951, Kiai Zaini Mun’im mengunjungi Kiai Baidlowi. Kiai Zaini mengajaknya untuk hijrah ke Paiton, Probolinggo. Tapi beliau memilih untuk tinggal di rumah kakak iparnya sambil berdakwah dan mengajarkan silat, di Desa Sidopekso, Kecamatan Kraksaan.

 

Berdirinya Pesantren Darul Lughah Wal Karomah

Seakan terulang apa yang dialaminya ketika di Malang. Selama di Kraksaan, beliau juga berpindah-pindah tempat. Termasuk kepindahannya dari Sidopekso ke sebuah rumah dekat musala yang dibangun oleh Kiai Zaini Mun’im, Dusun Karang Dampit, Desa Kebonagung.

Akan tetapi tempat berpindah yang paling mengesankan adalah ketika di Sidopekso. Tak hanya dikenal karena istikamah mengajarkan ilmu agama. Beliau juga kental dengan ajaran ilmu bela diri kepada warga setempat.

Ajaran itu penting bagi warga setempat, sebab kala itu, di tempat itu dikenal dengan budaya carok. Tapi Kiai Baidlowi tetap mengingatkan agar bela diri yang dimiliki para santrinya tidak dilakukan sembarangan. Hanya boleh dilakukan ketika kondisi terdesak.

Nah, yang tak kalah dikenal dari Kiai Baidlowi adalah karena kemampuannya dalam mengolah tambak garam. Beliau juga mampu memasarkan tembakau kala itu.

Meski punya sejarah manis di Sidopekso. Namun puncak perjalanan dakwahnya justru berkembang di Dusun Kramat, Sidomukti. Saat itu, pemerintahan Sidomukti masih berbentuk desa. Sementara saat ini sudah beralih menjadi kelurahan.

Nah, di Sidomukti, beliau kemudian mendirikan surau kecil untuk mengajarkan ilmu agama kepada warga sekitar. Konon, di tempat tersebut terdapat petilasan Syekh Maulana Ishaq.

Dari surau kecil itulah kemudian berkembang pesat menjadi Pondok Pesantren Darul Lughah Wal Karomah. Pesantren yang hingga saat ini terus berkembang, dengan jumlah santri yang terus bertambah.

Mulanya, Kiai Baidlowi hanya menggunakan nama Darul Lughah yang artinya gudang bahasa. Akan tetapi Kiai Zaini Mun’im memberi saran agar ditambah dengan nama Wal Karomah.

Nah, pada tanggal 3 Maret tahun 2023, Pondok Pesantren Darul Lughah Wal Karomah memperingati haflatul imtihan ke-75.

Memang, jika dirunut dari pendiri sekaligus pengasuh pertama KH Ahmad Baidlowi sejak tahun 1956, haflatul imtihan tahun 2023 seharusnya ke-72. Tapi pada saat KH Ali Wafa Baidlowi, salah satu putra beliau membantu kelangsungan pesantren, pernah dalam setahun digelar dua kali haflatul imtihan.

Dengan demikian, pada tahun 2023 Pondok Pesantren Darul Lughah Wal Karomah (DWK)haflatul imtihan ke-75. Kini, pesantren ini diasuh oleh KH Mahmud Ali Wafa, ulama yang juga putra dari almarhum KH Ahli Wafa Baidlowi, cucu almarhum KH Ahmad Baidlowi. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Muhammad Iqbal
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES