Kisah Buya Hamka Dipenjara hingga Sempat Mau Bunuh Diri

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Nama Abdul Malik Karim atau Buya Hamka kini menjadi perbincangan. Itu karena kisah hidup dari tokoh Muhammadiyah tersebut di filmkan. Bahkan, film yang diproduksi selama sembilan tahun lamanya tersebut menjadi salah satu film dengan biaya produksi terbesar di Indonesia.
Perjalanan hidup ulama sekaligus sastrawan asal Sumatera Barat tersebut memang dikenal lika-liku. Misalnya, pada rezim Presiden Soekarno ini sempat dipenjara dan hampir bunuh diri karena tidak kuat dengan cobaan tersebut.
Advertisement
Buya Hamka dituduh berencana menggulingkan pemerintahan bahkan berencana membunuh Soekarno. Sehingga penulis Tafsir Al-Azhar tersebut diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi saat Bulan Puasa Ramadhan.
Kisah pahit tersebut ditulis oleh Buya Hamka saat hidupnya dalam bukunya berjudul: Tasawuf Modern. Berikut kisahnya dikutip TIMES Indonesia, Jumat, 24 Maret 2023:
Pada hari Senin tanggal 12 Ramadhan 1385, bertepatan dengan 27 Januari 1964, kira-kira pukul 11 siang, saya dijemput di rumah saya, ditangkap, dan ditahan. Mulanya dibawa ke Sukabumi.
Diadakan pemeriksaan yang tidak berhenti-henti, siang-malam, petang-pagi. Istirahat hanya ketika makan dan sembahyang saja. 1001 pertanyaan, yah 1001 yang ditanyakan. Yang tidak berhenti-henti ialah selama 15 hari 15 malam. Di sana sudah ditetapkan lebih dahulu bahwa saya mesti bersalah. Meskipun kesalahan itu tidak ada, mesti diadakan sendiri. Kalau belum mengaku berbuat salah, jangan diharap akan boleh tidur.
Tidur pun diganggu!
Kita pasti tidak bersalah. Di sana mengatakan kita mesti bersalah.
Kita mengatakan tidak. Di sana mengatakan ya! Sedang di tangan mereka ada pistol.
Satu kali pernah dikatakan satu ucapan yang belum pernah saya dengar selama hidup.
"Saudara pengkhianat, menjual negara kepada Malaysia!"
Kelam pandangan mendengar ucapan itu. Berat!
Ayah saya adalah seorang alim besar. Dari kecil saya dimanjakan oleh masyarakat, sebab saya anak orang alim! Sebab itu, ucapan terhadap diri saya di waktu kecil adalah ucapan kasih.
Pada usia 16 tahun saya diangkat menjadi Datuk menurut adat gelar pusaka saya ialah Datuk Indomo.
Sebab itu, sejak usia 12 tahun saya pun dihormati secara adat. Lantaran itu sangat jaranglah orang mengucapkan kata- kata kasar di hadapan saya.
Kemudian saya pun berangsur dewasa. Saya campuri banyak sedikitnya perjuangan menegakkan masyarakat bangsa, dari segi agama, dari segi karang-mengarang, dari segi pergerakan Islam, Muhammadiyah, dan lain-lain. Pada tahun 1959 al-Azhar University memberi saya gelar Doctor Honoris Causa, karena saya dianggap salah seorang Ulama Terbesar di Indonesia.
Sekarang terdengar saja ucapan, "Saudara pengkhianat, menjual negara kepada Malaysia." Gemetar tubuh saya menahan marah, kecil polisi yang memeriksa dan mengucapkan kata-kata itu saya pandangi, dan pistol ada di pinggangnya.
Memang kemarahan saya itulah rupanya yang sengaja dibangkitkannya. Kalau saya melompat kepadanya dan menerkamnya, tentu sebutir peluru saja sudah dalam merobek dada saya. Dan besoknya tentu sudah dapat disiarkan berita di surat-surat kabar: "Hamka lari dari tahanan, lalu dikejar, tertembak mati!"
Syukur alhamdulillah kemarahan itu dapat saya tekan, dan saya insaf dengan siapa saya berhadapan. Saya yang tadinya sudah mulai hendak berdiri terduduk kembali dan meloncatlah tangis saya sambil meratap, "Janganlah saya disiksa seperti itu. Bikinkan sajalah satu pengakuan bagaimana baiknya, akan saya tandatangani. Tetapi kata-kata demikian janganlah saudara ulang lagi!"
"Memang saudara pengkhianat!" katanya lagi dan dia pun pergi sambil menghempaskan pintu.
Remuk rasanya hati saya. Mengertilah saya sejak itu mengapa segala barang tajam wajib dijauhkan dari tahanan yang sedang diperiksa.
Di saat seperti itu, setelah saya tinggal seorang diri, datanglah tamu yang tidak diundang, yang memang selalu datang kepada manusia di saat seperti demikian. Yang datang itu ialah SETAN! Dia membisikkan ke dalam hati saya, supaya saya ingat bahwa di dalam saku saya masih ada pisau- silet.
Kalau pisau kecil itu dipotongkan saja kepada urat nadi, sebentar kita sudah mati. Biar orang tahu bahwa kita mati karena tidak tahan menderita.
Hampir satu jam lamanya terjadi perang hebat dalam batin saya, di antara perdayaan Iblis dengan Iman yang telah dipupuk berpuluh tahun ini. Sampai-sampai saya telah membuat surat wasiat yang akan disampaikan kepada anak- anak di rumah.
Tetapi alhamdulillah: Iman saya menang. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ferry Agusta Satrio |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |