Ketua MPR: Konstitusi Tidak Ditafsirkan Secara Sepihak
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, menekankan bahwa peringatan Hari Konstitusi adalah momen yang sangat penting untuk kembali menyegarkan ingatan kolektif bangsa serta mengevaluasi pelaksanaan kehidupan bernegara. Selain itu, ini juga merupakan waktu untuk merenungkan perjalanan bangsa, apakah sudah sesuai dengan tujuan negara seperti yang diamanatkan dalam konstitusi.
Selama perjalanan sejarah sebelum amandemen pertama hingga keempat pada tahun 1999-2002, pelaksanaan konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mulai mengalami penyimpangan, di mana pelaksanaannya tidak lagi murni dan konsekuen. Konstitusi mulai ditafsirkan menurut keinginan masing-masing, bukan lagi berdasarkan tujuan awal (original intent) dan niat baik (good intent) dari naskah UUD. Hingga akhirnya, krisis moneter menjadi pemicu amandemen terhadap konstitusi.
Advertisement
Amandemen terhadap konstitusi menjadi bagian dari upaya merespons tuntutan reformasi yang kuat, yang menginginkan penataan kembali sistem ketatanegaraan, termasuk UUD 1945, agar tidak lagi ditafsirkan, diterjemahkan, dan diterapkan secara sewenang-wenang.
Namun, setelah 26 tahun reformasi yang membawa euforia demokrasi, kini muncul wacana untuk kembali mengkaji amandemen terhadap UUD 1945, guna mengevaluasi hasil amandemen yang telah dilakukan selama periode 1999 hingga 2002.
"Dalam konsep ini, konstitusi tidak boleh hanya dipandang sebagai dokumen hukum semata. Konstitusi sejatinya mengandung pandangan hidup, cita-cita, dan falsafah luhur bangsa yang hanya akan bermakna jika terwujud dalam realita," ujar Bambang Soesatyo dalam peringatan Hari Konstitusi dan HUT ke-79 MPR RI di Gedung Parlemen Jakarta, Minggu (18/8/24).
Acara tersebut dihadiri oleh Wakil Presiden RI K.H. Ma'ruf Amin, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, Lestari Moerdijat, Jazilul Fawaid, Syarif Hasan, Hidayat Nur Wahid, Fadel Muhammad, Yandri Susanto, dan Amir Uskara. Hadir pula Ketua DPD AA Lanyalla Mahmud Mattalitti, Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Menparekraf Sandiaga Uno, serta Ketua Komisi Yudisial Amzulian Rifai.
Bambang Soesatyo memaparkan bahwa dalam perjalanan bangsa Indonesia, pelaksanaan konstitusi sebagai hukum dasar telah melewati berbagai dinamika sejarah dan peradaban. Mulai dari pemberlakuan UUD Tahun 1945, UUD Republik Indonesia Serikat, UUD Sementara, UUD NRI Tahun 1945 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959, hingga saat ini UUD NRI Tahun 1945 yang telah diamendemen pada periode 1999-2002.
"Pengalaman sejarah ini mengisyaratkan bahwa perubahan adalah hal yang tak terhindarkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita tidak bisa stagnan pada satu titik dalam sejarah. Setiap periode pemerintahan akan menghadapi tantangan zamannya masing-masing, baik yang berasal dari perubahan sosial, politik, ekonomi, kemajuan teknologi, maupun dari perbedaan cara pandang dalam menghadapi arus perubahan," katanya.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI (Ormas Pendiri Partai Golkar) dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menjelaskan, setelah 26 tahun era reformasi, sudah saatnya kita merenungkan kembali, introspeksi, dan mengevaluasi bagaimana konstitusi sebagai sumber hukum fundamental diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, perlu juga untuk memahami kembali peran dan kedudukan MPR, terutama setelah empat kali amandemen konstitusi.
Memaknai konstitusi sebagai sumber hukum fundamental haruslah didasarkan pada konsepsi bahwa konstitusi harus “hidup” (living constitution), yang mampu menjawab setiap tantangan dan dinamika zaman. Konstitusi juga harus “bekerja” (working constitution), yang benar-benar dijadikan rujukan dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
"Demikian pula dalam memahami kembali kedudukan dan peran MPR, haruslah dilihat dari perspektif bahwa MPR merupakan satu-satunya lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional tertinggi, termasuk mengubah dan menetapkan UUD. Selain itu, MPR juga merupakan lembaga negara yang paling merepresentasikan kedaulatan rakyat, dalam bentuk aspirasi politik dan kepentingan daerah, karena MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD," paparnya.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menguraikan bahwa dalam konteks konstitusi, banyak negara yang mentransformasikan semangat perubahan melalui perubahan konstitusi. Negara-negara demokrasi terbesar di dunia pun tidak anti terhadap amandemen konstitusi. Amerika Serikat telah mengubah konstitusinya sebanyak 27 kali. India telah mengubah konstitusinya sebanyak 106 kali selama periode 1950 hingga 2023.
"Pada dasarnya, seberapapun demokratisnya pemerintahan dijalankan dan setinggi apapun komitmen kita, tidak akan pernah mencapai titik kesempurnaan. Serumit apapun dinamika politik yang kita jalani, kita tidak boleh mengorbankan pilar-pilar fundamental dalam kehidupan berbangsa, yaitu Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika," kata Bambang Soesatyo. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |