Renungan Paskah: Ziarah Makna Kehidupan Menuju Dunia Baru

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam sunyi malam Paskah tadi malam (20/4/2025), ada suara meriah yang menggetarkan hati. Ada pula keheningan yang memanggil batin untuk merenung.
Di tengah riuh dunia yang terus bergerak tanpa jeda, Paskah datang sebagai sebuah ruang diam. Tempat jiwa kembali ke asal. Lokasi hati bersentuhan dengan pertanyaan paling hakiki: “Untuk apa aku hidup?”
Advertisement
Paskah bukan sekadar memperingati peristiwa. Ia adalah pintu bagi perjalanan batin yang hening dan dalam. Di balik perjamuan, salib, dan kebangkitan, tersimpan panggilan luhur yang menembus batas agama dan budaya. Sebuah ajakan untuk bangkit dari keterpurukan, melampaui keputusasaan, dan menempuh jalan baru yang tidak ramai, tapi penuh makna.
Karena hidup sejatinya bukan tentang sekadar ada, tapi tentang bagaimana kita ada di dunia ini. Untuk siapa kita hidup? Untuk apa kita bangkit setiap pagi? Dan apa yang ingin kita tinggalkan saat kaki tak lagi mampu melangkah?
Dalam tradisi spiritual, dikenal tiga panggilan luhur: menjadi raja, menjadi nabi, dan menjadi imam. Bukan gelar mulia dalam struktur kekuasaan, tapi peran filosofis yang menuntun kita pada hakikat eksistensi manusia. Yakni menjadi cahaya kecil yang setia menyala, walau dalam ruang paling gelap.
Raja: Kepemimpinan yang Turun ke Tanah
Saat dunia mengejar kekuasaan, Paskah justru memperlihatkan wajah lain dari kepemimpinan: yang rela turun, membasuh kaki, dan merendahkan diri demi meninggikan yang lain. Yesus, dalam malam terakhir-Nya, memilih untuk berlutut di hadapan para murid-Nya, termasuk mereka yang akan mengkhianati-Nya.
Itulah kepemimpinan sejati—bukan tentang memerintah dari atas, tetapi hadir di antara mereka yang lemah. Ia tidak ditentukan oleh gelar, melainkan oleh sikap hati. Pemimpin dalam semangat Paskah adalah mereka yang memilih berjalan di bawah, bukan di atas; yang lebih peduli pada luka manusia daripada pencitraan pribadi.
Hari ini, kita dipanggil menjadi "raja" dalam bentuk yang paling manusiawi: menjadi pemimpin yang melihat dengan mata kasih, mendengar dengan telinga sabar, dan bertindak dengan tangan yang melayani. Dalam keluarga, di tempat kerja, di ruang publik—setiap langkah kecil kita bisa menjadi ziarah kepemimpinan yang menyembuhkan.
Nabi: Mendengar yang Tak Terdengar, Mengucapkan yang Tak Terucapkan
Menjadi nabi bukan soal berkata-kata keras, melainkan berani tinggal dalam keheningan untuk mendengar bisikan kehidupan. Dalam setiap kegagalan, apakah kita sanggup membaca makna? Dalam setiap kehilangan, mampukah kita melihat benih kasih yang tumbuh dalam diam?
Dunia modern begitu bising. Kita sering kali sibuk berbicara, tapi lupa mendengar. Menjadi nabi berarti menyerap realitas dengan hati yang peka. Melihat air mata orang lain bukan sekadar sebagai kelemahan, tapi sebagai pesan yang perlu dijawab dengan cinta. Merasakan kegelisahan zaman bukan untuk menyerah, tapi untuk menyuarakan harapan.
Suara kenabian bisa lahir dalam tulisan, dalam sapaan, dalam teladan hidup yang jujur dan tulus. Di tengah keterasingan dan keterpecahan, setiap orang yang setia mencintai dan tidak lelah menyalakan lentera kebaikan adalah nabi yang sedang berbicara lewat hidupnya.
Imam: Menguduskan Dunia dengan Kasih yang Menyambungkan
Dalam makna terdalamnya, menjadi imam berarti menjadi penghubung: antara manusia dengan manusia, manusia dengan kehidupan, manusia dengan Tuhan. Imam adalah mereka yang tidak hanya berbicara tentang kasih, tetapi menjadikannya jembatan nyata—yang menyatukan yang tercerai, yang menyembuhkan yang terluka.
Kita semua pernah merasakan retak dalam relasi. Namun Paskah mengajarkan bahwa kasih tetap datang untuk menyambung kembali yang patah. Melalui salib, kita belajar bahwa cinta sejati tidak lari dari penderitaan, tapi memeluknya hingga tuntas.
Dari pengalaman dikasihi itulah kita terpanggil untuk menjadi pengudus dunia. Bukan melalui upacara megah, tetapi melalui tindakan sederhana: mengampuni, memahami, memberi waktu, menciptakan ruang damai di mana pun kita berada. Dalam setiap pekerjaan, dalam setiap relasi, ada kesempatan untuk menjadikan hidup kita altar kasih.
Bangkit untuk Menghidupi Nilai
Kebangkitan tidak terjadi di luar sana. Ia tumbuh dalam hati yang bersedia berubah. Dalam diri yang mau melepaskan ego, menyapa dengan empati, dan mengubah luka menjadi jalan kasih. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak gelar atau jabatan.
Dunia butuh lebih banyak jiwa yang siap berjalan dalam jalan sunyi: jalan yang tidak populer, tetapi penuh kedalaman.
Paskah bukan hanya tentang Yesus yang bangkit, tapi tentang kita semua yang bersedia bangkit. Bangkit dari keacuhan menjadi kepedulian. dlDari kepalsuan menjadi kejujuran, dari kehampaan menjadi kebermaknaan.
Dan jalan menuju dunia baru itu, bukan jalan ramai yang penuh tepuk tangan. Ia adalah jalan sunyi, jalan hening, jalan yang dilalui oleh mereka yang memilih untuk mencintai secara radikal, melayani tanpa pamrih, dan menghidupkan nilai, bukan sekadar simbol.
Karena dunia yang baru, selalu dimulai dari hati yang lama yang bersedia diperbarui. Selamat merayakan Paskah 2025. (*)
* Penulis adalah Ge Recta Geson, founder AMRO Intitute Surabaya
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Khoirul Anwar |
Publisher | : Rifky Rezfany |