Peristiwa Nasional

Gelombang PHK di Industri Media Indonesia, Dampak Efisiensi dan Dinamika Bisnis Tahun 2025

Jumat, 09 Mei 2025 - 13:07 | 19.61k
Ilustrasi pekerja media massa. (Foto: Freepik/freestockcenter)
Ilustrasi pekerja media massa. (Foto: Freepik/freestockcenter)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Awal tahun 2025 menjadi titik balik yang mengkhawatirkan bagi industri media massa Indonesia. Seiring dengan kebijakan efisiensi pemerintah dan penurunan pendapatan dari sektor iklan tradisional, sejumlah media besar tanah air terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melibatkan ribuan karyawan. Fenomena ini menggambarkan dampak langsung dari penyesuaian struktur ekonomi dan perubahan pola konsumsi informasi masyarakat yang semakin bergeser ke platform digital.

Data Kuantitatif: PHK dan Penurunan Pendapatan Media

Data Litbang TIMES Indonesia mencatat, selama dua tahun terakhir, lebih dari 1.200 karyawan media terpaksa menerima keputusan PHK. Sebut saja Kompas TV, yang mengumumkan pengurangan karyawan hingga 150 orang setelah menghentikan siaran televisinya. Begitu pula dengan CNN Indonesia TV yang merumahkan 200 karyawan dan TV One yang harus mengurangi staf produksi mereka sebanyak 75 orang. Pemutusan hubungan kerja juga menghantam stasiun-stasiun besar lainnya, termasuk ANTV, TVRI, dan Net TV yang menyusul dengan pengurangan tenaga kerja secara signifikan.

Advertisement

Lebih jauh, dampak pengurangan anggaran yang diikuti oleh penurunan pendapatan dari iklan pemerintah, yang sebelumnya menjadi salah satu sumber utama pendapatan media, semakin memperburuk kondisi keuangan perusahaan media. Data menunjukkan bahwa pendapatan iklan media tradisional pada 2025 diperkirakan turun sebesar 25-30 persen dibandingkan tahun sebelumnya, terutama karena anggaran iklan pemerintah yang dikurangi secara signifikan oleh kebijakan efisiensi.

Pengaruh Kebijakan Efisiensi Pemerintah terhadap Industri Media

Keputusan pemerintah untuk memotong anggaran di sektor publikasi memengaruhi langsung pendapatan media massa. Pada awal 2025, pemerintah melalui Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 mengarahkan pengurangan anggaran secara besar-besaran, termasuk di sektor media. Salah satu langkah penting dalam kebijakan ini adalah pengurangan anggaran untuk iklan pemerintah yang biasa disalurkan ke berbagai media massa. Dalam konteks ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengonfirmasi bahwa pemotongan anggaran tersebut menyasar pada iklan publik yang selama ini menjadi penyumbang signifikan bagi banyak media.

Meutya Hafid, Menteri Komunikasi dan Informatika, menanggapi dampak tersebut dengan mengatakan, “Kebijakan efisiensi memang diperlukan untuk menghadapi krisis fiskal, tetapi pemerintah juga perlu memastikan bahwa media tetap bisa beroperasi dengan baik, mengingat pentingnya peran media dalam menjaga demokrasi dan memberikan informasi yang objektif.”

Berkurangnya iklan pemerintah langsung berimbas pada stabilitas keuangan media yang sangat bergantung pada sektor ini. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa pengurangan anggaran ini bukan hanya mengganggu operasional media, tetapi juga menurunkan kualitas jurnalistik karena berkurangnya daya tarik media untuk menghasilkan konten berkualitas.

Perubahan Lanskap Konsumsi Informasi: Dominasinya Media Digital

Selain kebijakan pemerintah, perubahan pola konsumsi informasi masyarakat Indonesia menjadi faktor lain yang memperburuk kondisi media tradisional. Seiring berkembangnya teknologi, konsumsi berita kini lebih banyak beralih ke platform digital. Media sosial seperti Instagram, YouTube, dan TikTok kini menjadi sumber utama informasi, bahkan bagi kalangan yang sebelumnya mengandalkan media tradisional seperti surat kabar dan televisi.

Menurut laporan Dewan Pers, sekitar 70 persen masyarakat Indonesia kini mengakses berita melalui platform digital. Hal ini mengurangi daya tarik iklan di media konvensional yang memiliki audiens lebih terbatas, dan bahkan membuat banyak pengiklan memilih untuk memfokuskan anggarannya pada iklan digital. Terlebih, biaya produksi yang lebih rendah dan kemudahan distribusi melalui media sosial menyebabkan banyak perusahaan beralih ke platform digital untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan lebih murah.

Suko Widodo, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga (UNAIR), menyoroti fenomena ini dengan menegaskan, “Media tradisional mengalami kesulitan karena ada pergeseran besar dalam cara orang mengonsumsi berita. Di satu sisi, konsumen menginginkan berita yang cepat dan mudah diakses, sementara di sisi lain, media konvensional yang membutuhkan waktu lebih lama dan memiliki biaya lebih tinggi untuk produksi, mulai kehilangan audiens.”

Dengan konsumsi informasi yang semakin bergeser ke digital, media massa tradisional, terutama yang berbasis televisi dan cetak, terpaksa merespons dengan melakukan transformasi digital. Namun, upaya ini tak mudah, mengingat investasi yang diperlukan tidak sedikit, dan kompetisi di dunia digital semakin ketat.

Para wartawan senior yang selama ini menjaga prinsip keberimbangan, verifikasi, dan integritas tiba-tiba tergantikan oleh konten kreator dadakan, click baiters, dan suara yang dibentuk oleh kecenderungan algoritmik.

“Fenomena ini menunjukkan bahwa kebebasan pers hari ini tak cukup hanya dibela dari sisi politik atau hukum. Kita juga harus melihatnya dari sisi ekonomi media. Ketika ruang redaksi dikosongkan oleh krisis finansial, maka suara publik ikut melemah,” katanya. 

Tidak hanya melemah pada tatanan publik saja, demokrasi pun kehilangan salah satu penyangga utama pers yang mampu bekerja secara independen dan profesional, pun terkalahkan dengan algoritmik. 

Perspektif Ekonomi: Dampak Jangka Panjang bagi Ekosistem Media

PHK yang terjadi di sektor media bukan hanya masalah jangka pendek yang menyangkut pekerja, tetapi juga dapat berpotensi merusak ekosistem media Indonesia secara keseluruhan. Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Wisnu Prasetya Utomo menyebut industri media di Indonesia masih tertekan beberapa tahun belakangan. Pemangkasan tenaga kerja di sektor media dapat menyebabkan penurunan kualitas berita yang disajikan kepada publik.

“Pekerja media adalah garda terdepan dalam menjaga kualitas jurnalisme. Jika perusahaan media terus mengurangi jumlah tenaga kerja, akan sulit bagi mereka untuk mempertahankan standar jurnalistik yang tinggi,” katanya.

Selain itu, keberlangsungan media yang terjaga dengan baik sangat penting bagi demokrasi di Indonesia. Media tidak hanya berperan sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai pengawas terhadap jalannya pemerintahan. Tanpa keberadaan media yang sehat dan mandiri, ruang publik untuk diskusi dan debat akan semakin menyempit, yang tentu saja merugikan masyarakat luas.

Berdasarkan data Dewan Pers, 67 persen orang Indonesia mengatakan bahwa mereka merasa terinformasi dengan baik oleh media massa. Namun, 30 persen lainnya merasa bahwa media massa saat ini lebih cenderung mengutamakan sensasi daripada substansi berita. Oleh karena itu, kualitas berita yang disajikan menjadi faktor utama dalam membangun kembali kepercayaan publik terhadap media.

Lebih lanjut, AJI Indonesia mencatat sekitar 1.200 pekerja media, termasuk jurnalis, terkena PHK sepanjang 2023 hingga 2024. Namun, jumlah sebenarnya kemungkinan lebih besar karena tidak semua kasus tercatat. Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyebutkan gelombang PHK ini terjadi karena sebagian besar iklan beralih ke media sosial dan influencer, bahkan mencapai 75 persen dari total pasar iklan.

“Sekitar 75 persen pendapatan iklan nasional saat ini dikuasai oleh platform digital global dan media sosial, sehingga banyak media lokal kehilangan sumber pemasukan,” ujar Ninik.

Upaya Penguatan Industri Media

Di tengah krisis ini, banyak kalangan yang berharap agar pemerintah lebih aktif mendorong program-program yang dapat mendukung kelangsungan media. Salah satunya adalah dengan memberikan insentif fiskal untuk perusahaan media yang bertransformasi digital. Menkominfo Meutya Hafid juga menyarankan untuk adanya program pelatihan dan pembekalan bagi pekerja media agar dapat beradaptasi dengan perkembangan digital.

“Pekerja media yang terkena PHK bisa mendapatkan pelatihan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri digital saat ini,” ujarnya.

Ke depan, industri media di Indonesia perlu bertransformasi lebih cepat agar dapat beradaptasi dengan perubahan pola konsumsi informasi yang begitu cepat. Selain itu, kerjasama antara media tradisional dan digital juga harus diperkuat agar bisa saling melengkapi dalam menyediakan informasi yang berkualitas bagi publik.

Perspektif Masa Depan Media Indonesia

Ketika dilihat dari perspektif yang lebih luas, industri media Indonesia menghadapi tantangan besar yang tidak hanya berkaitan dengan perubahan ekonomi, tetapi juga terkait dengan adaptasi terhadap perkembangan teknologi dan kebiasaan konsumsi informasi yang berubah dengan cepat. Ke depannya, media harus lebih inovatif dalam mencari model bisnis yang tidak hanya bergantung pada iklan, tetapi juga dapat memanfaatkan potensi pasar digital dan jaringan distribusi informasi berbasis komunitas.

Oleh karena itu, agar industri media tetap hidup dan relevan, dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, pengusaha media, dan pekerja media itu sendiri. Pemerintah harus menciptakan kebijakan yang tidak hanya melindungi media, tetapi juga mendorong inovasi dan kolaborasi yang menguntungkan semua pihak. Tanpa upaya tersebut, media massa Indonesia berisiko kehilangan peran pentingnya dalam menjaga demokrasi dan informasi yang akurat bagi publik.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES