Pasca Malari, Gerakan Mahasiswa Lumpuh dan Kekuatan Modal Menguat

TIMESINDONESIA, MALANG – Gerakan Mahasiswa yang menjadi mencoba mengkritisi kebijakan pemerintah Orde Baru terkait masuknya modal asing ke Indonesia seperti menjadi antiklimaks pasca aksi demonstrasi yang berbuah kerusuhan pada 15 Januari 1974 atau dikenal dengan Malapetaka Lima Belas Januari.
Tidak ada lagi aksi besar menentang kebijakan pemerintah, bahkan apa yang disuarakan justru semakin terbalik dengan masuknya modal asing ke Indonesia yang semakin deras dengan cara yang berbeda.
Advertisement
Kehidupan pergerakan mahasiswa nyaris sepi dari aksi protes pasca peristiwa Malari. Seolah, Mahasiswa Indonesia kembali menjalani perannya sebagai kaum intelektual dengan mengikuti perkuliahan dan berbagai kegiatan sosial.
Dikutip dari tulisan Rifa Nadia Nurfuadah (Ketika Mahasiswa Dibungkam Normalisasi Kampus) di okezone.com dijelaskan dalam perkembangannya usai Malari meletus pemerintah berusaha mendekati mahasiswa lewat Tim Dialog Pemerintah.
Tim yang dibentuk pada 24 Juli 1977 ini sedianya akan berkampanye di perguruan tinggi, namun ditolak mahasiswa. Pada masa ini, kekuatan militer pun mulai menduduki kampus karena pemerintah menganggap mahasiswa melakukan pembangkangan politik.
Penyerbuan militer ke kampus ini juga dikarenakan mahasiswa tidak terpancing untuk melakukan aksi di luar kampus yang bisa meletuskan peristiwa seperti Malari pada 1974.
Pemerintah bahkan menetapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) di seluruh Indonesia untuk meredam kekritisan mahasiswa.
Kebijakan NKK/BKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Daoed Jusuf dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K).
Melalui NKK, rezim Orba mengarahkan mahasiswa hanya pada kegiatan akademik dan menjauhkan mereka dari aktivitas politik karena dinilai dapat membahayakan posisi Orba.
Buntutnya, pemerintah, lewat Pangkopkamtib Soedomo pun membubarkan Dewan Mahasiswa. Sebagai gantinya, pemerintah membentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) berdasarkan SK Menteri P7K No.037/U/1979.
Kebijakan tersebut membahas Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di lingkungan perguruan tinggi, serta dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK sebenarnya melarang menghidupkan kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas seperti Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF).
Tidak hanya itu, kebijakan tersebut juga memberi kekuasaan pada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa.
Kelumpuhan peran organisasi intra dan ekstrakampus dalam kerja sama dan transaksi politik diperparah dengan keluarnya Undang-Undang No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ormas).
Undang-Undang ini menyebabkan politik praktis makin tidak diminati mahasiswa, karena sebagian ormas bahkan menjadi alat politik pemerintah. Akibatnya, generasi kampus menjadi apatis, sementara rezim Orba makin kuat menancapkan kukunya.
Menurut penjelasan Prof Dr Hariyono, Guru Besar Sejarah Politik Universitas Negeri Malang, pasca kerusuhan dalam peristiwa Malari, kekuatan mahasiswa semakin melemah.
"Setelah Malari praktis tidak ada aksi besar dari mahasiswa karena pemerintah semakin represif, hanya peristiwa 1978, kemudian setelah itu relatif 'sepi', tidak ada lagi gelombang protes besar-besaran terhadap pemerintah hingga tahun 1998 ketika Orde Baru runtuh," jelas Hariyono kepada MALANGTIMES.
Peristiwa 1978 sendiri dikutip dari buku Rum Aly (Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter – Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1975) dapat dijabarkam dalam periode Januari 1978 menuju bulan Februari, Menteri P&K Sjarif Thajeb mengikuti perintah Kopkamtib, membubarkan Dewan Mahasiswa (DM) ITB (1977-1978) yang dipimpin oleh Heri Akhmadi.
Sebab musabab utama karena keluarnya pernyataan mahasiswa 16 Januari 1978 yang menyatakan tidak setuju kursi Presiden diduduki dua kali berturut-turut oleh orang yang sama.
Ini berarti, mahasiswa tidak setuju Soeharto menjadi Presiden untuk kedua kalinya –dihitung dari periode MPR/DPR hasil Pemilihan Umum 1971– dalam pemilihan presiden pada SU-MPR yang akan berlangsung Maret 1978.
Di depan kampus ITB terpampang jelas spanduk yang dibuat mahasiswa: Tidak berkehendak dan tidak menginginkan pencalonan kembali Jenderal Purnawirawan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia.
Bersamaan dengan pernyataan penolakan itu, mahasiswa mengeluarkan ‘Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978’. Penguasa segera melarang secara resmi Buku Putih tersebut.
Tindakan pembubaran dan aneka tekanan lainnya dilakukan pula terhadap DM-DM yang lain di Bandung, terutama pada beberapa perguruan tinggi utama seperti Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan dan IKIP.
Tampaknya saat itu tekanan utama ditujukan ke ITB. Tanggal 21 Januari 1978 Radio ITB 8-EH yang dianggap sebagai corong suara mahasiswa, disegel oleh Laksus Kopkamtibda Jawa Barat.
Bersamaan dengan itu beberapa tokoh mahasiswa, terutama dari ITB, ditangkapi dan dikenakan penahanan. Muncul gelombang protes sebagai tanda solidaritas dari mahasiswa Bandung.
DM ITB lalu menyerukan aksi mogok kuliah melalui “Pernyataan tidak mengikuti kegiatan akademis’ (28 Januari 1978). Mereka juga menuntut segera membebaskan mahasiswa-mahasiswa yang ditahan, mencabut pembungkaman pers, dan menarik tuduhan-tuduhan sepihak terhadap mahasiswa.
Untuk berjaga-jaga terhadap berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan mahasiswa ITB melakukan penjagaan dan pengawasan atas pintu-pintu kampus, agar tidak dimasuki oleh orang-orang luar kampus yang tidak diinginkan.
Namun jawaban penguasa adalah lain sama sekali. Tentara menyerbu kampus dengan mengerahkan pasukan-pasukan bersenjata lengkap dipimpin sejumlah komandan muda yang kelak akan menduduki posisi-posisi penting dalam jajaran militer dan kekuasaan.
Dengan popor dan bayonet mereka merasuk ke dalam kampus dan menduduki kampus. Mereka mengerahkan pula tank dan panser serta memblokade kampus.
Beberapa kampus utama Bandung lainnya juga mengalami hal yang sama dan ditempatkan dalam pengawasan militer. Pendudukan kampus ITB, Universitas Padjadjaran, IKIP dan kampus Bandung lainnya berlangsung hingga 25 Maret 1978, hampir dua bulan lamanya.
Inilah awal yang kelak membuat hampir tidak pernah ada perwira militer generasi penerus lulusan akademi militer yang mempunyai keberanian untuk tampil berkomunikasi dengan kampus-kampus perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Di tangan generasi baru ABRI ini jurang komunikasi dengan kampus telah menjadi semakin menganga.
Beberapa tokoh gerakan mahasiswa Angkatan 78 ditangkap dan dipenjarakan, seperti antara lain Heri Akhmadi dan Hindro Tjahjono. Salah satu tokoh lainnya, Rizal Ramli, meloloskan diri dan tidak harus mengalami ‘romantika’ dalam penjara politik.
Penanganan yang sangat represif dan militeristik inilah yang kemudian dicatat sebagai luka ketiga dalam hubungan mahasiswa-tentara, setelah ‘Insiden 6 Oktober 1970’ dan ‘Peristiwa 15 Januari 1974’.
Pasca tiga peristiwa besar di awal masa Orde Baru, dimulai dari insiden 6 Oktober 1970, Malapetaka 15 Januari 1974, dan terakhir peristiwa 1978, seperti tidak ada lagi gerakan kritis mahasiswa karena semakin dibatasi oleh pemerintah yang semakin represif.
"Pergerakan mahasiswa mengalami penurunan signifikan, gerakan mahasiswa setelah Malari, terakhir 1978 pemerintah semakin represif dan sebagai dampak politik pembangunan (ekonomi.red) pemerintah memberikan ruang eksploitasi dengan cara yang baru," kata Hariyono.
Karenanya, bentuk yang terlihat menjadikan kebijakan ekonomi dalam trilogi pembangunan yang semakin menekankan pertumbuhan ekonomi dengan modal asing bukan pemerataan ekonomi.
"Modal asing justru tumbuh kuat, dapat kita lihat utang luar negeri Indonesia semakin mencekik, sehingga secara moral Malari sebenarnya mengingatkan pemerintah supaya tidak terbelenggu modal asing justru prakteknya pemerintahan orde baru makin terbelenggu setelah Malari," tambahnya.
Justru, lanjut Hariyono, Malari malah dimanfaatkan pemerintah Orde Baru untuk melakukan hegemoni terhadap urusan kampus.
"Seolah mahasiswa membicarakan tentang keilmuan saja tapi kepekaan terhadap problem masyarakat dan kebangsaan kurang," imbuhnya.
Sebagai refleksi saat ini, gerakan mahasiswa yang dilakukan elite mahasiswa cenderung terjebak dalam politik praktis, sehingga mereka mengabaikan aspek morality atau kebajikan yang menjadi karakterisitik gerakan moral.
"Aktivis kampus integritasnya tidak lebih baik dengan yang bukan aktivis, itu kan sebuah kegagalan, ini yang harus direnungkan oleh aktivis gerakan mahasiswa saat ini, khususnya pasca kran demokrasi dibuka pasca reformasi 1998," pesan Hariyono yang tercatat sebagai dosen Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang ini. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Sukmana |
Sumber | : = |