Peristiwa

Kiai Hasan Abdillah, Ulama Kharismatik dari Glenmore Banyuwangi

Jumat, 09 Maret 2018 - 12:00 | 607.41k
Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU. (FOTO: Dokumentasi TIMES Indonesia)
Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU. (FOTO: Dokumentasi TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Ribuan penakziyah memadati jalan utama Desa Sepanjang, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi, Jawa Timur, pada Selasa sore itu. Mereka berjajar di sepanjang jalan dari rumah duka hingga lokasi pemakaman yang jaraknya tak kurang 700 meter.

Keranda berisi jenazah, seakan bergerak sendiri. Semua tangan diulurkan untuk ikut serta memikul. Keranda berganti dari satu tangan ke tangan yang lain. Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir kepada ulama kharismatik yang pernah dimiliki oleh Banyuwangi, KH Hasan Abdillah.

Advertisement

Nama KH Hasan Abdillah dari Desa Sepanjang, Kecamatan Glenmore, bukanlah sosok yang asing bagi masyarakat Banyuwangi dan kabupaten sekitarnya. Ia merupakan ulama panutan yang nasihat dan fatwanya senantiasa dinanti oleh para jamaah. Baik dari kalangan rakyat biasa atau dari kalangan pejabat.

Hiruk pikuk selama proses pemakaman tersebut, seolah menjadi penanda betapa besar cintanya umat kepadanya. Mereka merasa kehilangan sosok guru sekaligus pengayom.

***

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, mungkin pribahasa tersebut tepat untuk menggambarkan sosok Kiai Hasan Abdillah. Ia terlahir dari keluarga ulama, maka tak heran jika ia pun menjadi ulama. Kiai Hasan lahir pada 11 Dzulhijah 1347 H atau bertepatan dengan 21 Januari 1929 di Pasuruan.

Bapaknya tak lain adalah KH Achmad Qusyairi. Seorang ulama yang begitu disegani di Pasuruan. Bahkan, di era kolonial, karena kealimannya, ia sempat akan dijadikan Bupati. Namun ia tak mau dan memilih meninggalkan Pasuruan serta menetap di Banyuwangi.

Tak hanya bapaknya, Kiai Hasan Abdillah memiliki kakek yang juga seorang ulama besar. Ia adalah Kiai Shiddiq, ulama besar yang berasal dari Lasem dan menetap di Jember. Dari anak turunnya, lahir para pembesar Nahdlatul Ulama (NU). Sebut saja KH Mahfud Shiddiq yang pernah menjadi Ketua PBNU termuda dan juga KH Achmad Shiddiq yang pernah menjadi Rais Aam PBNU pada Muktamar NU di Situbondo.

Selain secara genetis memiliki kualitas yang baik, Kiai Hasan menjadi ulama besar juga ditunjang oleh kegigihannya dalam belajar dan beribadah. Setelah belajar kepada orang tuanya, Kiai Hasan Abdullah menempuh pendidikan di Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo. Saat itu, ia belajar kepada KH Muhammad Hasan, pengasuh kedua pesantren tersebut.

Di Genggong, Hasan Abdillah muda merupakan sosok santri yang tekun dan cerdas. Ada tiga mata pelajaran yang senantiasa digelutinya semasa di pesantren. Mulai dari ilmu fiqih, falakiyah hingga tasawuf. Ketiga bidang keilmuwan itulah, yang kelak menonjol dari Kiai Hasan.

Tidak cukup belajar dengan tekun, tempaan Kiai Hasan semasa nyantri juga dari keterbatasan uang saku yang ia terima. Dibandingkan dengan saudara-saudara lainnya, Kiai Hasan selalu mendapatkan jatah uang saku yang paling sedikit dari orang tuanya.

Bukan karena tak cinta, tapi hal tersebut diatur sedemikian rupa oleh ayahnya, Kiai Achmad Qusyairi untuk mengajarinya tirakat. Hal tersebut pun menjadikan Kiai Hasan sebagai santri yang rajin berpuasa.

Kiai Hasan Abdillah yang tumbuh menjadi santri berbakat, mendapat perhatian dari gurunya, Kiai Muhammad Hasan. Ada cerita menarik dalam hubungan guru-murid, antara dua ulama besar di masing-masing zamannya tersebut. Setelah beberapa waktu Kiai Hasan Abdillah lulus dari Pesantren Zainul Hasan, ada sebuah pesan yang disampaikan oleh gurunya. Akan tetapi, pesan tersebut tidak langsung disampaikan kepadanya, melainkan dititipkan kepada bapaknya.

Pesan tersebut berupa uang sepuluh sen yang dititipkan kepada Kiai Qusyairi. Pesannya, Kiai Hasan Abdillah disuruh mempergunakan uang tersebut untuk menunaikan ibadah haji. Tentu saja hal tersebut musykil adanya.

Mana cukup uang sepuluh sen untuk menunaikan ibadah haji yang kala itu biayanya bisa mencapai Rp 28 ribu. Namun sebagai amanat dari seorang guru yang sangat ditaati, Kiai Hasan Abdillah tetap menyimpannya seraya meyakini bahwa dari uang tersebut ia bisa berangkat haji.

Tak dinyana, selang beberapa waktu kemudian, tepatnya pada 1952, Kiai Hasan Abdillah ditunjuk sebagai Majelis Pembimbing Haji (MPH). Dari penunjukkan tersebut, Kiai Hasan bisa menunaikan ibadah haji dengan gratis. Bahkan ia mendapatkan uang saku yang cukup besar dan mendapat kesempatan untuk bertemu dengan raja Arab Saudi kala itu.

Kiprah keulamaan dari Kiai Hasan Abdillah dimulai dari kampung halaman tempat ayahandanya menetap, yakni di Desa Sepanjang, Kecamatan Glenmore. Seusai menuntut ilmu, Kiai Hasan pulang dan melanjutkan pesantren yang telah dirintis oleh bapaknya, yakni Pesantren Ash-Shiddiqi – nama yang merujuk kepada nama kakeknya, KH. Shiddiq Jember - pada 1946.

Kiai Hasan juga dibantu oleh saudara kandungnya, Kiai Abdurrahman serta sepupunya, Kiai Zaki Ubaid, mendirikan madrasah guna melengkapi fasilitas pesantren. Dari madrasah yang awalnya hanya ala kadarnya, saat ini masih tetap eksis dan berkembang cukup pesat.

Selain madrasah diniyah, juga berkembang menjadi Madrasah Ibtidaiyah (MI) Ash-Shiddiqi, MTs Ash-Shiddiqi, dan beberapa lembaga pendidikan formal dan non-formal lainnya. Semua berada di bawah naungan Yayasan Ash-Shiddiqi.

Kelebihan yang membuat Kiai Hasan Abdillah menjadi ulama kharismatik adalah keistiqomahannya dalam beribadah. Salah satu kesaksian tentang hal tersebut berasal dari seorang santri bernama Syamhanun. Santri asal Malaysia tersebut, pernah pada suatu ketika semasa di pesantren memohon izin kepada Kiai Hasan Abdillah untuk ikut beribadah bersama.

Singkat cerita Syamhanun diizinkan untuk ikut beribadah bersama selama tiga hari. Tiap malam ia menemani Kiai Hasan sholat tahajud. Betapa kagetnya Syamhanun, dalam sholat tahajud tersebut, Kiai Hasan senantiasa mengkhatamkan al-Qur’an. Suatu hal yang tak semua orang bisa melakukannya.

Keistiqomahan Kiai Hasan Abdillah dalam beribadah tersebut, juga diabadikan dalam karyanya yang berjudul Istiqomah. Kitab tersebut merupakan kumpulan amaliah yaumiyah (ibadah sehari-hari) yang berisi tentang wirid dan amaliah-amaliah sunnah. Menurut kesaksian adiknya, Nyai Fatma Qusyairi, kitab tersebut tidak hanya sekadar ditulis, tapi juga diamalkan secara keseluruhan oleh Kiai Hasan Abdillah. Tak ayal hal tersebut, menjadikannya sebagai ulama yang kharismatik.

***

Pada Senin malam, sekitar pukul 22.45, tanggal 19 November 2012, Kiai Hasan Abdillah menghembuskan napas terakhir di kediamannya. Sebagaimana kesaksian pihak keluarga, Kiai Hasan sempat mengalami sesak napas, namun pada pukul 22.00 hal tersebut sempat reda. Lalu, Kiai Hasan, sebagaimana keistiqomahannya, mengambil wudlu. Setelah berwudlu itu, ia kembali mengalami sesak.

Sempat akan dilarikan ke rumah sakit, namun hal itu diurungkan di tengah jalan karena penanda akan wafatnya telah dirasakan oleh anak-anaknya. Tak sampai satu jam, Kiai Hasan meninggalkan dunia. (*)

Penulis : Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan memublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES