Politik

Kekerasan Politik Biasanya Dilakukan Pemilik Kedudukan Terhadap yang Lemah

Minggu, 08 Januari 2023 - 12:11 | 74.07k
Buku Berjudul Agama Demokrasi dan Politik Kekerasan, karya Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. (FOTO: Suara Muhammadiyah)
Buku Berjudul Agama Demokrasi dan Politik Kekerasan, karya Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. (FOTO: Suara Muhammadiyah)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam bukunya berjudul "Agama Demokrasi dan Politik Kekerasan", Haedar Nashir menyampaikan, di antara bentuk kekerasan ialah kekerasan politik.

Kekerasan politik yang sangat kuat dan biasanya terstruktur ialah kekerasan yang dilakukan negara atau atas nama negara 

Advertisement

Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah itu, dunia politik selain banyak kisah kecemerlangan dalam membangun peradaban, juga diwarnai dan tidak lepas dari kekerasan dari yang ringan sampai berat. 

Misalnya, kata dia, Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang sangat dahsyat sepenuhnya merupakan kekerasan dunia politik, yang pangkalnya tentu pada politik kekerasan, yakni paham atau pilihan politik untuk melakukan kekerasan. 

"Para pemimpin negara di dunia saat itu, seperti Hitler dan Mussolini dengan ideologi Nazi dan fasismenya, dengan sadar menjadikan perang sebagai pilihan politik, yang berbuat kekerasan. Korbannya bukan hanya yang terlibat perang, tetapi rakyat yang tidak bersalah dan tidak merencanakan perang," katanya dikutip TIMES Indonesia, Minggu (8/1/2023).

Haedar mengungkapkan, kekarasan atas nama negara banyak sekali bentuknya, dari yang tampak sampai yang terselubung, ada yang sah atas nama hukum dan negara, tidak sedikit yang ilegal dan dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau siapapun yang dianggap mengancam atau membahayakan negara. 

Masalahnya, lanjut dia, sering kali yang disebut mengancam atau membahayakan negara itu hanya merupakan persepsi atau berupa kepentingan politik dari para aktor yang melekat dengan negara itu terhadap mereka yang disebut lawan politik atau warga biasa. 

"Menjebloskan kawan politik atau warga ke penjara atau yang kini disebut kriminalisasi tanpa dasar hukum yang kuat atau dengan alat hukum yang dicari-cari termasuk ke dalam kekerasan politik negara. Demikian halnya dengan berbagai tindakan kekerasan lainnya oleh aparatur atau institusi negara yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Negara juga dapat melakukan kekerasan yang disebut terorisme atas nama negara," katanya.

Siapa yang bisa melakukan kekerasan politik?

Ia menjelaskan, kekerasan politik dapat dilakukan oleh kekuatan politik nonnegara dan warga negara atau kelompok-kelompok sosial yang berkaitan dengan perebutan kepentingan politik. 

Sweeping atau berbagai tindakan teror, intimidasi, penyerangan fisik sampai pembunuhan dapat dilakukan selain oleh negara juga oleh warga negara dan kelompok-kelompok nonnegara. Konflik sosial berupa kekerasan massa termasuk ke dalam jenis kelompok ini.

"Tindakan-tindakan bom atau terorisme dapat dilakukan oleh perorangan maupun kelompok warga negara, selain oleh negara. Tindakan penyerangan oleh kelompok- kelompok separatis bersenjata bukan hanya bersifat kekerasan kriminal tetapi juga terorisme. Terorisme dapat dilakukan oleh siapapun dan lembaga apapun, baik langsung maupun tidak langsung, tunggal maupun bersama-sama atau melembaga. Keliru besar kalau ada yang berpandangan terorisme atau kekerasan masif bersifat tunggal, satu sebab, dan satu model," jelasnya.

Ia juga menjelaskan, kekerasan politik adalah kekerasan yang ditimbulkan oleh dan terkait dengan perebutan kepentingan politik. Kekerasan politik maupun kekerasan lainnya dapat berupa kekerasan verbal seperti ujaran-ujaran vulgar, intimidasi, ancaman, pendiskreditan, pembunuhan karakter, kriminalisasi, dan sejenisnya yang secara psikologis membuat pihak yang menjadi korban mengalami tekanan psikis yang kuat. 

"Lebih- lebih kekerasan fisik secara langsung, seperti menyakiti tubuh korban dalam berbagai bentuk, bahkan sampai melukai dan melenyapkan nyawa korban," tambahnya.

Menurutnya, kekerasan politik biasanya memperoleh legitimasi politik dari pelakunya, dengan berbagai dalih bahwa kekerasan tersebut seolah sah dan boleh dengan berbagai dalih atau argumen yang seakan benar tetapi sesungguhnya salah. 

"Sebutlah kekerasan yang dilakukan aparat atas nama hukum dan ketertiban, tetapi di dalamnya menyalahi hukum sekaligus mengandung kepentingan politik tertentu yang menggunakan celah hukum untuk bertindak kekerasan terhadap pihak yang dianggap lawan politik. Sebutlah seseorang dengan mudah dijerat kasus korupsi, pidata, perdata, dan lain sebagainya dengan menggunakan alat bukti yang sumir sekalipun sehingga namanya jatuh di mata publik. Sebagian benar- benar dijerat hukum, tetapi dilakukan secara tidak adil dan cenderung dipolitisasi secara hukum," katanya.

Kekerasan politik, lanjut pria kelahiran Bandung itu, sering berkaitan dengan politik kekerasan. Pihak yang berkuasa dapat menggunakan otoritas hukum dan kekuasaan untuk melemahkan mereka yang dianggap melawan atau kritis. 

"Aparat keamanan, aparat pemerintahan, dan pihak yang memiliki akses langsung pada kekuasaan negara akan menggunakan seluruh instrumen kekuasaannya untuk melemahkan siapapun yang dianggap ancaman terhadap kekuasaannya, baik terbuka dan lebih terselubung. Politisasi dan politik kekerasan ini mengerikan, siapapun dapat dikriminalisasi dengan celah sekecil apapun karena alat kekuasaan sangatlah kuat. Model ini merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan atas nama hukum," ujarnya.

Kekerasan politik biasanya banyak dilakukan oleh pihak yang memiliki kedudukan kuat terhadap mereka yang lebih lemah, baik negara maupun nonnegara atau kekuatan masyarakat sampai ke individu. 

"Kelompok-kelompok dalam masyarakat yang merasa kuat, baik secara jumlah maupun akses, dapat melakukan kekerasan verbal hingga fisik terhadap kelompok yang lebih lemah. Termasuk yang dilakukan kelompok-kelompok semimiliter atau ala premanisme, yang sering bertemali dengan kekuatan dan kepentingan politik tertentu melalui berbagai dalih pembenaran yang seakan absah," katanya.

Korban kekerasan politik tidak jarang melakukan politisasi kekerasan. Isu dan aksi politik tertentu sengaja dirancang untuk menimbulkan reaksi keras, sehingga terjadi benturan politik. Ketika terjadi kekerasan, maka dengan kapitalisasi politik lantas korban memperoleh keuntungan politik dari kekerasan yang dideritanya seolah menjadi korban kezaliman. 

"Maka terjadi saling politisasi isu kekerasan, yang satu mencari pembenaran atas kekerasan yang dilakukannya, lainnya melakukan dramatisasi kekerasan yang diderita sebagai ikhtiar kapitalisasi untuk meraih simpati dan dukungan politik dari kekerasan yang diterimanya," jelasnya lagi.

Kekerasan politik semakin canggih

Tak hanya itu, menurutnya, kekerasan politik sering kali berlangsung canggih, sehingga pelaku dan bahkan-sampai batas tertentu-korban, seolah tidak menyadari dan sebaliknya sering menikmati kekerasan itu sebagai suatu permainan politik yang sah dan memyenangkan. 

"Meminjam logika kaum Gramscian dalam teori hegemoni, kekerasan menjadi ideologi yang dibenarkan. Tokoh ormas kepemudaan yang anggotanya terindikasi pelaku tindakan kekerasan, mengutarakan beragam dalih yang di satu pihak tampak sumir dalam menilai kekerasan yang dilakukan aktivisnya, seraya menyerang pihak korban sebagai pembawa misi politik tertentu sehingga berhak dilakukan tindakan kekerasan. Isu radikalisme tidak jarang dijadikan alat pembenar untuk melakukan kekerasan terhadap warga negara yang kritis misalnya, padahal yang berangkutan sama sekali tidak tergolong orang radikal yang membahayakan hajat hidup publik," katanya.

Dalam konteks ini, lanjut dia, betapa kompleksnya kekerasan politik, sehingga di dalamnya terdapat politisasi kekerasan, politik kekerasan, dan ideologi kekerasan.

Namun kekerasan politik sebagaimana kekerasan pada umumnya tetaplah kekerasan sebagai perbuatan zalim dan fasad fil-ardl. "Terorisme misalnya, apapun latarbelakang dan motivasinya tetaplah merugikan kepentingan umum dan bahkan sering mengorbankan nyawa sesama, menciptakan atmosfer ketakutan bagi masyarakat luas. Kekerasan apapun tetap buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara maupun bagi peradaban umat manusia yang mendambakan perdamaian," ujarnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES