Mochtar W Oetomo Tangkap Simbol Politik Megawati Saat Kunjungan ke Surabaya

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Pengamat politik Mochtar W Oetomo menemukan simbol-simbol politik dalam kunjungan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri ke Surabaya baru-baru ini.
Kedatangan Megawati ke Surabaya sebagai Ketua Yayasan Kebun Raya Indonesia. Secara khusus ia meresmikan Kebun Raya Mangrove Gunung Anyar.
Advertisement
Gubernur Jatim Khofifah, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi dan Ketua DPC PDIP Surabaya Adi Sutarwijono turut mendampingi Megawati.
Mochtar W Oetomo menilai kunjungan Megawati bisa dimaknai dalam beberapa hal. Mengingat, kedatangan Mega selang seminggu setelah Calon Presiden (Capres) PDIP Ganjar Pranowo turun ke Surabaya.
Selama ini publik juga sudah mengetahui jika Megawati memiliki hubungan khusus dengan Tri Risma Harini, mantan Wali Kota Surabaya yang kini menjadi Menteri Sosial (Mensos) RI.
Hubungan itu sudah terjalin sangat lama, sehingga wajar jika kemudian ada pertemuan antar mentor dan murid.
Antar sahabat, antar pimpinan dan kader partai dengan mengambil venue paling penting di kota tersebut.
"Mangrove ini merupakan salah satu legacy dari kepemimpinan Risma di Surabaya," kata Mochtar, Senin (31/7/2023).
Mochtar menambahkan, ada hubungan pribadi yang kental antara keduanya yang tentu saja tidak bisa diabaikan.
Bisa saja publik memaknai apakah Mega ingin mengingatkan publik kembali tentang sosok Risma yang setelah menjadi Mensos yang relatif popularitasnya tidak setinggi dan sebagus dulu.
Atau bahkan, Mega ingin mengingatkan kembali pada publik bahwa Risma masih ada.
"Bahwa di PDIP masih ada Risma. Bahwa Risma bisa saja diajukan PDIP maju ke Pilgub Jatim. Misal seperti itu. Atau Risma akan total membantu PDIP di Jatim. Jadi banyak pesan yang bisa ditangkap," jelas Mochtar.
Direktur Utama Surabaya Survey Center (SSC) ini mengatakan, dalam konteks Pilgub, ada kondisi yang sulit sekali dibaca.
"Itu saya rasa kelihaian Bu Mega dan pengalaman setelah puluhan tahun berpolitik. Karena di situ juga ada Khofifah, ada Eri, ada Mas Awi. Ini bisa sangat kompleks," tandasnya.
Lantas, sebenarnya apa keinginan Mega?
Ya, kata Mochtar, Mega ingin mengingatkan kembali publik tentang masih adanya Risma. Atau sebaliknya bahwa Mega atau PDIP sangat mungkin nanti bergandengan dengan Khofifah untuk Pilgub Jatim dan kemudian memasangkan salah satu Kader PDIP yang berada dalam pertemuan tersebut. Apakah Risma atau Eri sebagai calon wakil gubernur.
"Tapi kalau dikalkulasi rasanya kan tidak mungkin Bu Risma mau menjadi calon wakil gubernur. Kemungkinan besar bisa saja Eri yang selama ini isu-isunya juga sudah berkembang di Jatim," ujarnya.
Artinya Mega juga tengah membidik gerbong Khofifah?
"Ada saja kemungkinan seperti itu dengan keberadaan Khofifah yang mendampingi kunjungan Bu Mega," jawab Mochtar.
Mochtar menjelaskan, dalam konteks nasional, konteks Pilpres, kedatangan Mega sejatinya adalah peneguhan setelah secara beruntun Ganjar datang ke Surabaya.
"Itu menunjukkan analisis saya yang berulang kali bahwa Surabaya, Jatim itu penting bagi kontestasi politik nasional. Termasuk Pilpres ataupun Pileg sehingga Bu Mega harus menyempatkan ke Surabaya," sambungnya.
Tanpa harus berkampanye Ganjar, publik sudah bisa membaca bahwa Ganjar adalah Capres PDIP dan PDIP adalah Mega. Logika itu dengan sendirinya sudah bisa dipahami oleh publik.
"Jadi dalam sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Artinya pada satu kesempatan satu kunjungan Bu Mega kemarin ada banyak pesan politik yang tertangkap apakah itu terkait Pilpres, Pilgub atau bahkan Pilwali," kata Mochtar.
Artinya tanpa harus mengumpulkan simpul relawan Ganjar di Surabaya?
"Karena itu tugasnya Capres. Tugas Ganjar dan tugas mesin partai. Kalau Bu Megawati sebagai ketua umum partai, sebagai tokoh nasional, itu cukup bermain simbol saja. Tidak mungkin sampai ke aspek teknis berkaitan dengan relawan dan sebagainya," ucapnya.
Tidak seperti petinggi partai lain yang menemui simpul relawan?
Mochtar menjawab, inilah kecerdasan politik Megawati. Sama halnya seperti Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Kan kelasnya beda, Bu Mega dan SBY ini. Satu, pernah menjadi presiden. Bagaimanapun adalah negarawan dan salah satu yang paling senior. Maka, Bu Mega dan SBY ini kan tidak pernah langsung melakukan tindakan-tindakan praktis. Tapi melalui simbol-simbol. SBY pun kan dalam menyentil persoalan-persoalan juga bahasa-bahasa simbol. Itu memang sudah kelas politisi kawakan seperti itu. Kecerdasan Mega dan SBY," jelas Mochtar W Oetomo.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sholihin Nur |