Mochtar W Oetomo: Suara Nahdliyin PKB Berpotensi Besar Pindah ke Gerindra

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Sekjen DPP Gerindra Ahmad Muzani memberikan tanggapan terkait hengkangnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari Koalisi Indonesia Maju (KIM). Terutama terkait potensi penurunan suara Nahdliyin di Jatim.
Menurut Muzani, suara Nahdliyin tentu sangat penting dan sangat berarti bagi KIM yang mengusung Ketua Umum DPP Gerindra Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden (Capres) RI 2024.
Advertisement
Karena itu pihaknya terus melakukan upaya pendekatan terhadap para kiai, masayikh, gus para nyai serta para pengurus pondok pesantren.
"Apalagi Prabowo adalah orang yang memiliki hubungan baik dengan banyak kiai di Jatim," kata Muzani saat menghadiri Konsolidasi Zona II Pemenangan Pileg PBB dan Pemenangan Prabowo Presiden 2024-2029 di Surabaya pada Minggu (3/9/2023) kemarin.
PKB sendiri disebut Muzani sudah mengambil keputusan dan pamit lewat komunikasi via WhatsApp pada 2 September 2023 malam.
"Tentu kami menghormati. Ini bukan perpisahan, apalagi perpecahan. Insya Allah kita akan ketemu dalam titik yang sama," tandas Muzani.
Soal rasanya ditinggal PKB, Muzani tak menampik bahwa balada keretakan itu mengagetkan Gerindra.
"Seperti elu ditinggal pacar. Tiba-tiba meninggalkan. Tapi sudah ya sudah, itu pilihannya," tambahnya.
NasDem Lirik Muhaimin Sejak Lama
DPP PKB sendiri sudah mendeklarasikan pasangan Anies-Muhaimin di Surabaya bersama Ketua Umum NasDem Surya Paloh pada Sabtu (1/9/2023).
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem Effendy Choirie atau Gus Choi mengungkapkan bahwa sejak memilih Anies, ia selalu menyarankan agar pendamping Anies harus dari kalangan Nahdliyin. Karena hasil survei menunjukkan kelemahan suara Anies di Jateng dan Jatim.
"Kami di NasDem berpendapat sejak dulu bahwa wakilnya harus diikhtiarkan dari Nahdliyin," kata Gus Choi.
NasDem sempat melirik sejumlah tokoh. Termasuk Muhaimin, Menkopolhukam Mahfud MD dan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan akhirnya keputusan final jatuh pada Muhaimin Iskandar.
Dengan figur Muhaimin yang juga dikenal sebagai Cak Imin, wilayah yang tidak tertembus oleh Anies dipastikan akan tertembus.
"Saya mulai kemarin jalan, Surabaya, Gresik, Lamongan, Tuban. Kemarin umpamanya tidak Cak Imin, untuk bikin tim di level desa itu sulit untuk Jatim," ujar Gus Choi.
Begitu daerah mendengar rencana deklarasi Anies-Muhaimin, akar rumput kultural langsung bergerak.
"Karena kultural NU itu langsung nggak usah disuruh langsung bergerak. Di desa itu rata di Jatim dan Jateng," tandasnya.
Pertimbangan memilih Muhaimin Iskandar bukan mendadak. Namun telah sejak lama. Karena pertimbangan figur NU pada Ketum PKB tersebut.
"Anies idealnya meskipun secara diam-diam Anies menjalin dengan AHY, tapi dari NasDem berpendapat sejak dulu. Wakilnya harus diikhtiarkan dari NU.
Tentang kekhawatiran bahwa pemilih PKB belum tentu memilih NU, Gus Choi memberikan jawaban bijak.
"Di NU memang variatif, tapi suara yang ke PKB kan cukup besar. Dari sekian koalisi yang ada di Koalisi Perubahan ini, sebetulnya kan suara PKB tetap lebih besar sedikit di bawah NasDem. Tapi dari sisi pemilihnya lebih banyak PKB, kursinya lebih banyak NasDem," ungkap Gus Choi.
Sementara PKS dan parpol koalisi lainnya lebih kecil, sehingga ketika Pilpres pemilihan langsung, disebut Gus Choi, meskipun kemarin Nahdliyin tidak mencoblos PKB, kemungkinan besar akan ke NU.
"Dan ada survei kehendak masyarakat Jatim yang NU, siapa yang pantas untuk menjadi Cawapres, kan ada surveinya itu. Kan Cak Imin, Khofifah, Pak Mahfud. Nama-nama ini yang muncul," katanya.
Pakar Khawatir Pilihan PKB Berisiko
Berdasarkan pandangan Pakar Politik Universitas Trunojoyo Madura Mochtar W Oetomo, deklarasi Anies-Muhaimin di Surabaya menunjukkan betapa pentingnya Jatim bagi para kontestan. Di mana pusat Jatim berada di Kota Surabaya.
"Saya rasa alasan Surya Paloh dan Anies Baswedan akhirnya bergeser ke Cak Imin tentu memandang betapa pentingnya suara di Jatim dan betapa pentingnya suara Nahdliyin," ungkap Mochtar, Senin (4/9/2023).
"Karena sejarah juga membuktikan bahwa siapa yang memenangkan Jatim maka dia akan memenangkan Pilpres," tambah Direktur Utama Surabaya Survey Center (SSC) tersebut.
Apakah itu juga berlaku untuk Anies-Muhaimin?
Mochtar memberikan jawaban, berdasarkan hasil survei baik elektabilitas Anies maupun Cak Imin apakah itu sebagai Capres atau Cawapres di Jatim itu sama-sama tidak cukup bagus dan sama-sama tidak optimal.
"Bahkan Cak Imin yang notabene adalah orang Jatim, Nahdliyin, Ketua DPP PKB yang pusatnya ada di Jatim, elektabilitas Capres Cawapres juga relatif rendah di Jatim, tidak pernah tembus angka 5 persen," jelasnya.
Artinya, lanjut Mochtar, bahwa fenomena Jatim dan Nahdliyin itu tidak selalu linier karena sangat tergantung kepada personalisasi dari Capres Cawapres tersebut.
"Jadi tidak selalu linier, maka menurut saya itu, bersatunya Anies-Muhaimin itu tidak selalu akan berpengaruh terhadap dukungan sebagian Nahdliyin kepada Prabowo Subianto," tandasnya.
Ia menegaskan, dari hasil survei selama ini sebagian Nahdliyin yang mendukung Prabowo murni karena ketokohan Prabowo bukan karena PKB atau bukan karena Cak Imin.
"Jadi menurut saya itu tidak akan berpengaruh besar terhadap elektabilitas Prabowo di Jatim. Terutama dari basis Nahdliyin. Karena kita tahu 2014 Prabowo juga membangun basisnya di kalangan Nahdliyin, kalangan kiai di berbagai pelosok di Jatim. Jadi sekali lagi pengaruhnya tidak akan signifikan. Saya rasa Pak Prabowo juga memiliki segmennya sendiri di kalangan Nahdliyin tertentu," bebernya.
Namun setidaknya Mochtar melihat dinamika ini akan menambah keseruan kontestasi Pilpres di Jatim. Tiga Capres akan berebut suara Nahdliyin. Apalagi sejauh ini antara Prabowo dan Ganjar relatif seimbang. Sekarang disusul Anies yang menggandeng Cak Imin.
"Sedikit banyak tentu dengan menggerakkan struktur PKB dan relasinya dengan beberapa cabang NU, sedikit banyak tentu juga akan memberikan tambahan elektoral. Itu tentu akan melahirkan pertarungan yang sengit di Jatim. Terutama di kalangan segmen Nahdliyin. Fenomena ini akan menambah betapa pentingnya dan strategisnya Jatim dan Nahdliyin," ungkap Mochtar.
Tapi perlu diwaspadai, Mochtar sebenarnya khawatir yang terjadi nanti adalah sebagian pemilih PKB justru akan berpindah ke Gerindra atau ke partai lain.
"Karena saya lihat cenderung lebih memilih Prabowo atau memilih Ganjar. Sekali lagi saya khawatir justru pemilih PKB itu justru berpindah ke Gerindra atau PDIP," ujarnya.
Mochtar mengatakan alasan analisa itu. Karena pilihan Capres-Cawapres yang berbeda dan faktor perbedaan ideologis.
"Karena selama ini kita sulit membayangkan secara ideologis kita tahu bahwa antara PKB dengan kubu Anies antara PKB dan PKS itu seperti ada jarak ideologis. Jadi sulit membayangkan bagaimana pemilih PKB itu mau memilih Anies," sambungnya.
Begitu pula sebaliknya juga sulit membayangkan bagaimana pendukung Anies itu mau bersama-sama berjalan beriring dengan PKB.
"Justru sebenarnya ini berisiko. Baik Anies maupun PKB sedikit banyak akan ditinggalkan oleh pemilihnya sehingga penting bagi koalisi NasDem-PKB ini untuk membangun narasi yang tepat ke masyarakat sehingga bisa diterima oleh masyarakat. Apa sebenarnya urgensi dari pasangan Anies-Muhaimin ini sehingga justru tidak mengurangi suara Anies juga tidak mengurangi suara PKB," kata Mochtar W Oetomo.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sholihin Nur |
Konten promosi pada widget ini bukan konten yang diproduksi oleh redaksi TIMES Indonesia. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.