Politik Info Pemilu 2024

Potret Pemilih Difabel Pemilu 2024 Masih Rendah

Kamis, 18 Januari 2024 - 21:34 | 52.80k
Eksekutif Nasional Formasi Disabilitas, Nur Syarif Ramadhan bersama para penyandang difabel dalam acara Diseminasi Hasil Survei “Persepsi Pemilih Difabel dalam Pemilu 2024”. (Foto: Hendro SB/TIMES Indonesia)
Eksekutif Nasional Formasi Disabilitas, Nur Syarif Ramadhan bersama para penyandang difabel dalam acara Diseminasi Hasil Survei “Persepsi Pemilih Difabel dalam Pemilu 2024”. (Foto: Hendro SB/TIMES Indonesia)
FOKUS

Info Pemilu 2024

Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Eksekutif Nasional Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (Formasi Disabilitas), Nur Syarif Ramadhan menyatakan, hasil survei menunjukkan hanya 35% difabel yang tercatat sebagai pemilih difabel. Sementara, 44,9% pemilih difabel terdata sebagai bukan difabel dan 19,4% tidak mengetahui status mereka sebagai pemilih dalam Pemilu 2024.

Demikian dijelaskannya dalam Diseminasi Hasil Survei “Persepsi Pemilih Difabel dalam Pemilu 2024” di Hotel Tara Yogyakarta, Kamis (18/1/2024). Menurutnya, jika penyediaan aksesibilitas dan pemahaman KPPS terkait layanan yang aksesibel dan pendampingan bagi difabel didasarkan pada data tersebut, kemungkinan besar tidak banyak petugas di TPS yang mengetahui keberadaan pemilih difabel di TPS dimana mereka bertugas.

Advertisement

“Sedangkan untuk bisa memberikan akomodasi yang layak bagi pemilih difabel, penyelenggara pemilu perlu, selain data jumlah pemilih difabel, juga hasil identifikasi kebutuhan untuk masing-masing ragam pemilih difabel,” ujar Syarif.

“Artinya, proses pendataan pemilih bagi difabel belum mengakomodir. Petugas pendataan belum memahami bagaimana mengidentifikasi pemilih difabel,” sambung Syarif yang sekaligus menyampaikan hasil temuan survei yang dilakukan secara daring dengan melibatkan sebanyak 479 responden disabilitas dari 31 Provinsi dengan kurun waktu Desember 2023 hingga 2 Januari 2024.

Lantas, temuan tersebut direspon Anggota KPU RI, Muhammad Afifudin yang turut hadir sebagai penanggap di Diseminasi Survei. Dia menjelaskan pada tahun 2014, dirinya sempat mengusulkan agar kategori difabel dicantumkan dalam DPT. Namun, menurutnya tantangan lainnya adalah masih banyak petugas yang belum memahami terkait dengan isu dan kebutuhan difabel dalam Pemilu.

Nur-Syarif-Ramadhan-2.jpg

“Hanya masalahnya ada anggota petugas yg tidak menanyakan jenis disabilitas yang memilih, ada juga yang ketika tidak ditanya, dia juga tidak menginformasikan disabilitasnya,” jelasnya.

Pihaknya mengatakan, KPU berupaya untuk memfasilitasi apa yang bisa dilakukan untuk memberikan hak difabel dalam Pemilu. Kebijakan ataupun aturan terkait hak politik difabel dengan melibatkan aktivis dan NGO dalam mendorong penyelenggaraan Pemilu yang lebih ramah bagi difabel. Termasuk setiap temuan KPU ataupun yang disampaikan ke KPU dijaga dan dipertahankan.

Selain soal pemilih difabel, sederet temuan lain juga mencuat di hasil survei yang diselenggarakan secara kolektif oleh Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, Pusat Rehabilitasi YAKKUM (PRYAKKUM) dan FORMASI Disabilitas dengan dukungan Program INKLUSI (Kemitraan Australia - Indonesia untuk Mewujudkan Masyarakat Inklusif).

Di balik berbagai upaya yang telah dilakukan, temuan survei menggambarkan betapa masih banyak ruang perbaikan yang perlu diupayakan, baik untuk Pemilu yang akan segera berlangsung di 14 Februari 2024, maupun untuk penyelenggaraan Pemilu selanjutnya.

Survei ini pun, sebutnya, dilakukan dengan metode snow balling dan mendapati sangat sedikit representasi responden dari panti atau pun balai/pusat rehabilitasi. Dari 479 responden survei ini, hanya 0,6% responden dari panti/balai rehabilitasi, sehingga baginya hal ini merupakan fenomena yang meresahkan.

Di tengah upaya untuk mendorong panti dan balai rehabilitasi menjadi lebih menjunjung hak asasi manusia, institusi-institusi tersebut masih menjadi ruang kecil yang belum memastikan akses informasi dan edukasi yang adil bagi difabel. Kurangnya keterjangkauan informasi tersebut dapat menimbulkan banyak kemungkinan seperti tidak terpenuhinya hak pilih difabel yang tinggal di panti hingga kemungkinan obyek kecurangan.

“Untuk temuan ini, di rekomendasi kami sampaikan, salah satunya KPU, di sisa waktu ini perlu melakukan upaya terukur memastikan penjangkauan bagi panti/balai rehabilitasi. Dan Bawaslu melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan pemungutan suara di panti/balai rehabilitasi,” terang Syarif.

Temuan survei, 22,8% responden menyatakan bahwa mereka terlibat dalam aktivitas kampanye dengan partai politik/calon presiden, dimana motivasi terbesarnya adalah sosialisasi (41%) dan menyukai visi dan misi calon (32%). Sejalan dengan temuan ini, 45% responden ternyata telah terlibat memberikan masukan pada materi kampanye dan di antara yang memberikan masukan tersebut, sebanyak 30% merasa masukannya diadopsi sebagai materi kampanye.

Ada beberapa hal yang dapat dibaca dari temuan tersebut. Pertama bahwa keterlibatan difabel telah membuktikan, dan berpotensi membuka kesadaran baru di tingkat politisi akan pengarusutamaan dan inklusi difabel. Kedua, angka temuan ini juga menunjukkan bahwa difabel sebenarnya sangat potensial untuk aktif dalam partai politik dan menjadi bagian dari pelaku politik praktis.

“Sayangnya, ini masih berbanding terbalik dengan fakta temuan lain bahwa hanya 9% responden yang dijangkau oleh partai politik dalam kegiatan sosialisasi maupun edukasi," katanya.

Temuan lainnya, menunjukkan tingginya tingkat kesadaran dan pemahaman difabel akan hak politik. 77% responden sangat memahami 6 hak difabel dalam pemungutan suara. Sementara itu, 95,5% menyatakan penting untuk membela dan memperjuangkan hak politik.

Angka tersebut berbanding lurus dengan tingkat pendidikan, di mana semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula pemahaman akan hak dan keberanian difabel membela dan memperjuangkan hak mereka.

Dalam hal tingkat pendidikan, survei ini tidaklah menggambarkan figur sesungguhnya mengenai tingkat pendidikan difabel, di mana survei yang dilaksanakan berbasis internet hampir dipastikan menyasar mereka yang mempunyai tingkat pendidikan yang relatif baik.

“Menurut saya kesadaran dan literasi politik difabel secara umum dapat dikatakan masih rendah," tuturnya.

Ditambah lagi dengan temuan informasi terkait Pemilu yang ternyata masih sulit dipahami, di mana 25,3% menyampaikan sulitnya memahami bahasa yang rumit dalam berbagai informasi kepemiluan. Difabel intelektual (2,3%), difabel sensorik tuli (15,7%) dan difabel sensorik netra (11,7%) adalah di antara yang paling mengalami kesulitan dan tertinggal dalam mengakses informasi kepemiluan. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES