Politik

Pengamat UGM Sebut Politik Uang Salah Pemangku Kebijakan Bukan Pelakunya

Senin, 22 Januari 2024 - 19:12 | 34.51k
Pengamat Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati. (FOTO: Olivia Rianjani/TIMES Indonesia)
Pengamat Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati. (FOTO: Olivia Rianjani/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Kampanye terbuka peserta Pemilu 2024 resmi dimulai sejak Minggu (21/1/2024). Namun, dalam kampanye terbuka pakar politik Universitas Gajah Mada (UGM), Mada Sukmajati menilai sangat rentan politik uang. Hal ini karena adanya aturan yang mengizinkan bahan kampanye dalam bentuk barang dengan nilai maksimal Rp100 ribu.

Menurutnya, aturan ini dinilai telah melegalkan politik uang secara tidak langsung. Sebab, bahan kampanye dalam bentuk barang dapat digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi pilihan pemilih.

Advertisement

“Aturan maksimal seratus ribu (bahan kampanye) ini kan sudah bisa disebut politik uang yang dilegalkan, meski bisa jadi alasan karena penyelenggara pemilu untuk membedakan politik uang dan biaya politik,” kata Pengamat Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati, Senin (22/1/2024).

Mada juga menyebut calon legislatif (caleg) diprediksi akan lebih banyak menggunakan dana politiknya untuk membeli suara para pemilih.

“Pengeluaran peserta pemilu akan meningkatkan drastis setelah tanggal 21 januari (2024) dalam kampanye terbuka karena banyak alokasi anggaran kampanye terbuka untuk bensin, konsumsi, snack, sewa artis, sewa tempat dan lainnya yang berpotensi terjadinya politik uang," imbuhnya.

Menurutnya, tingginya potensi politik uang dalam kampanye terbuka bukan tanpa alasan. “Kalau melihat data laporan penerimaan dan pengeluaran dana Pileg 2019 kemarin, alokasi terbesarnya adalah untuk kampanye terbuka. Ini juga sangat dimungkinkan terjadi pada pemilu kali ini. Kita sih meragukan laporan awal dana partai. Pasti kampanye terbuka punya impliokasi tingginya potensi politk uang," terangnya

Meski demikian, Mada tak menyalahkan peserta pemilu, politik uang sebenarnya juga merupakan kesalahan pengambil kebijakan.

“Politik transaksional akan dianggap wajar, tidak ada ideologi politik yang baik sehingga banyak orang pesimis politik uang bisa dikendalikan pada pemilu ini,” tandas Mada.

Mada menambahkan, pengawasan dari Bawaslu dan KPU saja dinilai tidak cukup. Masyarakat juga perlu berperan aktif untuk melaporkan setiap praktik politik uang yang ditemukan.

“Masyarakat harus waspada dan berani melaporkan setiap praktik politik uang yang ditemukan. Politik uang dapat merusak demokrasi.Nantinya waktu hari H di TPS pasti kemungkinan besar akan ada politik uang, biasanya dihari itu paling gencar-gencarnya", beber Mada.

Namun disisi lain, dirinya juga mengapresiasi adanya kampung anti politik uang (APU) utamanya di wilayah Sleman Yogyakarta. Kampung APU sendiri merupakan inisiatif dari warga desa yang berkomitmen untuk menolak segala bentuk pemberian uang atau barang dari peserta pemilu.

Kampung APU yang dimaksud itu diantaranya Desa Sardonoharjo, Candibinangun, Trimulyo, Ambarketawang, dan Sendangsari. Desa Sardonoharjo bahkan sudah menerbitkan Peraturan Kepala Desa tentang Desa Anti Politik Uang sejak 2019. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES