Politik Pilkada 2024

Soal Mantan Napi Maju Pilkada, Prof Saifullah: Hak Orang Tidak Boleh Dimatikan

Kamis, 23 Mei 2024 - 10:05 | 17.68k
Guru Besar Bidang Hukum UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof. Dr Saifullah SH MHum saat menjadi pemateri dalam kuliah tamu di UIN Malang. (Foto: Achmad Fikyansyah/TIMES Indonesia)
Guru Besar Bidang Hukum UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof. Dr Saifullah SH MHum saat menjadi pemateri dalam kuliah tamu di UIN Malang. (Foto: Achmad Fikyansyah/TIMES Indonesia)
FOKUS

Pilkada 2024

Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Jelang kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024, perihal mantan narapidana yang maju mencalonkan diri sebagai Bakal Calon Gubernur sampai Bakal Calon Wali Kota/Bupati menjadi sorotan. Pandangan dari berbagai pihak yang pro dan kontra turut meramaikan fenomena ini.

Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Bidang Hukum UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof. Dr Saifullah SH MHum mengatakan, meski pernah seseorang terganjal kasus hukum, seperti kasus korupsi, namun mereka tetap mempunyai hak seperti warga pada umumnya setelah mereka bebas. Termasuk hak untuk mencalonkan atau dicalonkan sebagai calon kepala daerah.

Advertisement

"Hak orang untuk bersuara itu tidak boleh dimatikan oleh siapapun. Jadi kalau misalnya ada yang tidak setuju ada mantan napi untuk maju kembali di Pilkada, itu hak mereka. Tapi secara hukum hak mereka tidak boleh dimatikan," tegasnya.

Dosen di Fakultas Syariah UIN Malang ini melanjutkan, mantan napi tetap legal untuk maju sebagai Calon pemimpin. Selagi memang tidak ada aturan yang melarang dia untuk maju dalam kurun waktu tertentu.

Selanjutnya, dia berpendapat bahwa masyarakat Indonesia sudah memikiki kedewasaan dalam memilih seorang pemimpin. Mereka bakal melihat seseorang dari kiprahnya ketika dia menjadi memimpin.

"Semisal dia masuk narapidana korupsi faktor penyebabnya apa, itu dilihat oleh masyarakat. Karena persoalan ini (kebanyakan diangkat)  bukan kental yuridisnya, tapi kental politiknya," tuturnya

Dia melanjutkan, sangat kecil kemungkinannya ada seorang mantan narapidana yang secara hukum boleh maju ke kontestasi politik, tetapi yang bersangkutan memaksakan diri. Karena dalam tahapan seleksi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mempunyai banyak dasar hukum dalam menjalankan tugasnya.

"Jadi kita tetap harus menghargai tentang fungsi. Bawaslu dan KPU itu bekerja birokrasi. Ada standar regulasi yang dia pakai. Dia tidak bermain atau berijtihad atas inisiatif sendiri. Dia dasarnya jelas. UU pemilu, putusan MK, putusan MA, itu dijadikan dasar dalam Pilkada serentak bukan november nanti," tuturnya.

Dia pun membebaskan apabila ada seorang yang ingin memberikan kritik terhadap seorang mantan narapidana yang maju dalam Pilkada 2024. Namun dia menyarankan agar saluran kritik itu disampaikan melaui  Mahkamah Konstitusi.

"MK memberikan nama Open Legal Policy, dia memberikan keterbukaan bagi parlemen untuk melakukan revisi UU Pemilu," ujarnya.

Terakhir, Prof Saifullah yakin bahwa masyarakat bisa menilai sendiri calon pemimpin yang akan mereka pilih. Menurutnya juga tak ada salahnya untuk memilih seorang mantan narapidana untuk menjadi pemimpin, selagi memang track record yang dia miliki lebih banyak yang baik ketimbang yang buruk.

"Masyarakat kita sudah bisa menilai. Apakah memilih ini sesuai hati nurani, melihat track record dia bekerja, dan seterusnya, itulah yang sangat menentukan. Jadi saya katakan tidak semua mantan napi itu jelek. Tidak boleh disama ratakan seluruhnya jelek. Tidak boleh," pungkasnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES