Maslahah dan Beban Berat Kiai Masuk Politik Praktis Menurut Pengamat Politik
TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Pada momentum Pilkada 2024 terjadi semacam eksodus kiai masuk politik praktis. Baik maju sebagai calon bupati atau calon wakil bupati, calon walikota maupun calon walikota.
Di beberapa daerah di Jawa Timur, sejumlah pemuka agama atau kiai sudah pasti maju sebagai calon kepala daerah (Cakada) pada Pilkada 2024 ini.
Advertisement
Misalnya di Kabupaten Probolinggo, salah satu pasangan calon (Paslon) yang akan maju adalah dari keluarga pondok pesantren terbesar di sana. Di Jember, ada Gus Fawaid yang juga bakal menjadi Cabup.
Masih di wilayah Tapal Kuda, tepatnya di Bondowoso. Salah satu calon yang bakal maju calon bupati Bondowoso adalah kepala Pondok Pesantren Nurul Jadid, KH Abd Hamid Wahid. Bahkan pasangannya adalah pimpinan Ponpes di Bondowoso, KH As'ad Yahya Syafi'i.
Tidak hanya itu, lawan Ra Hamid adalah Bambang Soekwanto yang wakilnya juga dari kalangan pesantren, yakni Lora Bakir putra dari pengasuh Pondok Pesantren Al-Utsmani Jambesari.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, Dr. Wildani Hefni, MA menjelaskan, ketika kiai berbondong-bondong terjun dalam dunia politik praktis maka ada beban berat yang diletakkan di pundak kiai tersebut.
Para kiai sebelum terjun ke gelanggang politik memiliki citra baik karena dinilai mampu menjaga beban moral sebagai pengayom di tengah masyarakat.
Masyarakat memahami kiai sebagai sosok yang ‘yandzurunal ummah bi aini rahmah’. Yakni melihat umat dengan penuh kasih sayang.
Saat kiai memutuskan terjun ke dunia politik maka harus tegak lurus dengan apa yang selama ini dilabelkan pada kiai tersebut.
“Artinya tidak merusak etika atau moral dia dalam menjalankan kepemimpinan atau ketika terjun di dunia politik praktis. Di satu sisi kita melihatnya dari perspektif itu," kata Dr Wildani kepada TIMES Indonesia.
Salah satu keuntungan kiai terjun adalah mereka sudah dibekali pengetahuan relasi Islam dan politik.
Sementara dari perspektif elektoral. Selama ini mereka ditokohkan di tengah-tengah masyarakat dan menjadi nilai plus dari sisi elektoralnya.
Sehingga penetrasi untuk meningkatkan popularitas lebih mudah dibandingkan masyarakat sipil lainnya.
“Karena patron klien untuk masyarakat Jawa-Madura masih menempatkan seorang kiai sebagai figur yang diikuti masyarakat biasa. Mereka kemudian menjadi teladan,” jelas alumni the Australian National University (ANU), Australia tersebut.
Dekan Fakultas Syari'ah ini juga menjelaskan, meskipun mudah meningkatkan popularitas tidak otomatis dapat mengantarkan dia menjadi pemenang dalam perebutan politik elektoral.
Menurutnya, popularitas dan kemenangan bukan satu paket. Tapi penetrasi untuk mendapatkan popularitas, para kiai lebih mudah dan bagus.
Alumni program doktor jurusan Pemikiran Politik Islam tersebut menjelaskan, saat ini masyarakat tidak lagi membedakan apakah calon itu dari kalangan kiai atau non kiai.
Sebab banyak realitas yang menggambarkan pimpinan kepala daerah yang dari kalangan kiai juga memiliki kekurangan ketika menjabat.
“Politik praktis sebenarnya meninabobokkan, sehingga banyak janji politik yang tidak dilaksanakan dengan baik,” terang dia.
Menurutnya, dalam menentukan pilihan masyarakat sudah cerdas, sehingga mereka akan melihat kualitas, wacana janji kampanye politik calon, bagaimana program dilaksanakan dan kemasan janji kesejahteraan kepada masyarakat dan lain sebagainya.
Di satu sisi lanjut dia, politik dari sisi praktiknya selalu dihadapkan dengan kepentingan partai dan sebagainya.
Tetapi dirinya masih menaruh kepercayaan terhadap trend pandangan positif dan optimis bahwa kiai melihat setiap orang dengan objektivitas.
Jika demikian, maka politik praktis tidak akan mendegradasi posisi kiai yang dinilai ‘yandzurunal ummah bi aini rahmah’. Sehingga ketika jadi pemimpin antara masyarakat yang satu dan yang lain tidak terjadi degradasi dan diskriminasi.
Dia berharap reposisi kiai terjun ke dunia politik akan menjadi pengontrol dan penyeimbang kekuasaan. Selanjutnya juga menjadi penegak moral masyarakat dan lain sebagainya .
Tapi realitanya tidak selalu begitu. Kadang di dunia politik praktis banyak orang terjebak pada pragmatisme.
“Sesudah terjun ke dunia politik, maka dia akan berpikir periode selanjutnya bisa dipilih agar lebih moncer lagi,” jelas dia.
Tidak Anti Kritik
Siapapun yang menjadi pemimpin, apakah itu walikota atau bupati, kiai atau bukan kiai, maka harus menerima kritik saran dari semua kalangan.
“Tidak perduli apakah dia dulu kiai atau tidak. Maka ketika jadi pemimpin, maka dia jadi pemimpin seluruh masyarakat yang ada di wilayah masing-masing,” tegas dia.
Saat seorang kiai berada di pucuk kepemimpinan politis, kemudian pekerjaan dan programnya tidak sesuai serta tidak memberikan dampak apapun pada kesejahteraan masyarakat, maka masyarakat wajib mengkritik.
“Baik itu gurunya atau siapapun. Saya kira bukan konteks dia sebagai seorang kiai dalam pucuk kepemimpinannya. Artinya, kritik itu wajib disampaikan, apakah dia dari kalangan kiai atau bukan. Tapi tentu dengan suara yang beretika, sopan dan sebagainya,” terang dia.
Menurutnya, harus ada garis demarkasi yang jelas antara dapur dimana dia sebagai kiai dan dapur dimana dia menjadi pimpinan kepala daerah.
“Maka mereka dia dengan latar belakang yang dia miliki, karena dia pemimpin seluruh masyarakat, tidak terkotak-kotak sebagaimana dulu masih di pesantren,” kata Dr Wildan. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ferry Agusta Satrio |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |