Politik Pilkada 2024

Kisah Muslimat NU, Barisan Militan Pendukung Khofifah Tanpa Syarat 

Kamis, 05 September 2024 - 14:05 | 12.88k
Ketua Pengurus Wilayah (PW) Muslimat NU Jawa Timur, Nyai Masruroh Wahid. (Foto: Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Ketua Pengurus Wilayah (PW) Muslimat NU Jawa Timur, Nyai Masruroh Wahid. (Foto: Lely Yuana/TIMES Indonesia)
FOKUS

Pilkada 2024

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Proyeksi kepemimpinan Khofifah Indar Parawansa Jilid II (2025-2029) bersama Emil Elestianto Dardak ditentukan oleh sejumlah faktor.

Selain dukungan koalisi partai politik, peran Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) tak boleh diabaikan begitu saja. Mereka kerap disebut para pengamat sebagai barisan militan pendukung setia atau istilahnya Khofifah Die Hard. Dan Khofifah Indar Parawansa adalah ketua umum selama empat periode. 

Advertisement

Muslimat NU bukanlah tim sukses, tetapi selalu ada di garda terdepan sebagai pasukan militan. Satu komando memberikan dukungan penuh tanpa syarat. Demikian prinsip yang mereka agungkan. 

Setia membersamai Khofifah dari masa ke masa. Mulai Khofifah bertarung dalam Pemilihan Gubernur Jatim dua periode sebelumnya. Running Pilgub Jatim 2008 dan 2013. Meskipun saat itu kalah, Muslimat tak goyah.

Ketua Pengurus Wilayah (PW) Muslimat NU Jawa Timur, Nyai Masruroh Wahid mengenang, beberapa bulan menjelang pemilihan gubernur 2018 silam.

Jatim sudah sibuk. Tetapi, Khofifah sama sekali belum menentukan sikap. Akhirnya karena dorongan berbagai pihak, ia mau tak mau melepaskan diri dari baju menteri sosial. Setelah keputusan penting tersebut, Muslimat di Jatim langsung bergerak.

Bu Nyai Masruroh, yang notabene dulunya adalah guru Khofifah saat menempuh pendidikan di Yayasan Pendidikan Khodijah Jalan Ahmad Yani Surabaya, merapatkan barisan struktural. 

“Kami membantu ibu karena ibu itu ketua kami. Ketua Umum PP Muslimat. Jadi, kalau ibu maju kemudian Muslimat mendukung, itu ya memang seperti mendukung diri kita sendiri. Itu yang selalu saya sampaikan kepada seluruh warga Muslimat,” kata Bu Nyai kepada penulis beberapa waktu lalu.

“Kami tidak mau dikatakan tim sukses, karena kami memang bukan tim sukses," sambungnya.

Dukungan kepada Khofifah seperti mendukung diri sendiri. Bu Nyai seringkali memberi pesan kepada barisan, mulai dari cabang hingga ranting, agar, mereka jangan sampai merasa mendukung orang lain. Perjuangan berdasarkan semangat yang sama. 

Karena situasi politik cukup panas saat itu, pasukan 'hijau daun pupus' ini selalu menjadi peredam kegelisahan Khofifah.

Bu Nyai Masruroh memaknai dukungan itu sebagai bagian dari perjalanan ideologi dan spiritual. Jika Khofifah jadi, secara otomatis Muslimat bangga.

“Dukungan Muslimat kepada ibu itu itu tanpa syarat apapun, tidak pernah berkata apapun,” Bu Nyai sejenak terdiam. 

Khofifah adalah simbol Muslimat. Mereka tak pernah bertanya,“oleh piro?” untuk menyumbangkan suara. Padahal, momentum politik adalah 'transaksi politik'. Penuh perhitungan dan kompensasi, begitu istilahnya. Akan tetapi, tidak demikian dengan Muslimat. Dukungan mereka atas dasar keikhlasan dan kebanggaan.

“Simbol Muslimat harus kita menangkan, kita dukung, kita angkat. Kalau berhasil, kita mendapat nilai yang patut kita syukuri,” ucap Bu Nyai.

Bu Nyai tak pernah lupa. Pada Pilgub Jatim 2008, Khofifah bersama mantan Kasdam V/Brawijaya Brigjen Mujiono bertarung melawan empat pasangan calon yaitu, Sutjipto-Ridwan Hisjam (SR), Soenarjo-Ali Maschan Moesa (Salam), Achmady-Suhartono (Achsan), dan Soekarwo-Saifullah Yusuf (KarSa). Pilgub berlangsung tiga putaran. 

Namun yang maju dalam putaran kedua adalah Khofifah dan Soekarwo. Persaingan putaran kedua ini sangat ketat, tapi akhirnya yang berhasil memenangkan Pilgub Jatim 2008 ialah Soekarwo-Saifullah Yusuf (KarSa) dengan perolehan suara 50,11 persen. Sementara Khofifah harus legowo dengan suara 49,89 suara.

“Sebetulnya ibu kuat sekali. Saya nggak tahu, kok begitu quick count keluar menang, tapi kok real count nya kalah, saya nggak tahu teori mana yang membenarkan seperti itu. Baru kali itu saya tahu, quick count menang, real count kalah,” kisah Bu Nyai. 

Tentu saja hitungan tersebut mengagetkan. Tapi, apa daya Muslimat? Mereka tak bisa berbuat apa-apa atau sekadar berpikir, harus bertanya kepada siapa? Apalagi Muslimat bukanlah partai partai politik.

Muslimat, kata Bu Nyai, bukanlah kekuatan politik. Mereka tidak memiliki alat untuk komplain dan menuntut apapun. Namun mereka, barisan Muslimat NU, tetap setia memberikan dukungan.

“Kalau bukan Bu Khofifah, mungkin kami juga belum tentu mendukung. Kenapa? Kita mendukung itu karena kompetensinya, karena kemampuannya, karena elektabilitasnya, dan karena kita yakin beliau mampu dan bisa,” Bu Nyai berkata tegas.

Optimalisasi dukungan kepada Khofifah juga mereka tunjukkan pada Pilgub Jatim 2013. Khofifah berpasangan dengan mantan Kapolda Jatim Irjen Pol Herman Suryadi Sumawiredja.

Lagi-lagi, Khofifah harus berhadapan dengan petahana, Soekarwo. Lawan terkuatnya pada pertarungan Pilgub 2008. Khofifah harus kembali menelan pil pahit kekalahan satu putaran. 

Soekarwo kembali menang dengan memperoleh 8.195.816 suara (47,25 persen). Sementara Khofifah harus puas dengan 6.525.015 suara (37,62 persen).

Dukungan ketiga, Pilgub 2018 merupakan dukungan paling optimal. Muslimat lebih intens data pemilih 43 cabang dari 38 kabupaten kota. Termasuk Pulau Bawean, Kabupaten Gresik dan Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep.

Memenangkan Khofifah Bukanlah Hal Mudah 

Muslimat mengantongi data lengkap sampai ke bawah. Bu Nyai Masruroh ingat betul, memenangkan Khofifah bukanlah hal yang mudah. Karena saat itu terjadi pembelahan dukungan.

Secara logika, orang-orang menganggap Khofifah pasti kalah. Tapi, ini memang di luar nalar. Karena kekuatan, kesungguhan, keyakinan semata, bahwa Khofifah, ibu mereka, pasti bisa dan menang. 

“Dan juga karena prihatinnya ibu-ibu Muslimat. Riyadhah nya,” ucap Bu Nyai.

Riyadhah atau latihan-latihan kerohanian itu berjenjang sampai wilayah, cabang, anak cabangdan ranting. Muslimat percaya kekuatan doa. Sumber segala kekuatan.

“Kan yang menentukan pemimpin itu Allah, bahwa Allah memberikan sesuatu kekuasaan itu kepada yang Ia kehendaki. Kemudian memuliakan orang juga sesuai kehendaknya Dia. Menghinakan orang juga sesuai kehendaknya Dia,” Bu Nyai mengutip Firman Allah dalam Quran, Surat Ali Imran 26-27.

Karena kekuatan keyakinan spiritual itulah, Muslimat tidak melihat lawan Khofifah. Seolah hanya menghadapi pasukan kecil saja. 

Berikhtiar menggalang kekuatan, sambil berdoa. Mereka tak pernah bertanya-tanya. Bahkan, jika ada undangan rapat dini hari, langsung berangkat dari berbagai daerah. Kompak dan tulus.

Bu Nyai Masruroh Wahid merasa iba. Ia terus memotret perjalanan tersebut dalam ingatan. Perjalanan Ibu-ibu Muslimat memang luar biasa ikhlas dan cinta pada Khofifah. Bayangkan, empat juta Kader Muslimat. 

Pada akhirnya, mereka bisa tersenyum melihat kemenangan Khofifah sebagai Gubernur Jatim 2019-2024. Kemenangan ini membawa barokah manfaat. 

Khofifah memang bukan cuma modal nama. Bukan pemimpin aji mumpung. Kehadirannya seperti oase. Memberikan manfaat luar biasa bagi kemajuan organisasi kala itu. Nah, tentu saja Muslimat yakin, jika Khofifah jadi pemimpin, tak akan kalah dengan kandidat yang lain. 

Apalagi, Khofifah dikenal sebagai Kader NU tulen. Sejak muda tergabung sebagai Anggota Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU). Saat itu tahun 1989. 

Begitu pula ketika kuliah di Pendidikan Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga Surabaya. Ia aktif sebagai Pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Ia kemudian menjabat Ketua Umum PP Muslimat NU selama empat periode sejak tahun 2000.

Pada Pilgub Jatim 2024, nama Muslimat NU masih diprediksi menjadi 'senjata' Khofifah dalam mendongkrak perolehan suara. Bahkan, Khofifah telah merapatkan barisan melalui sejumlah agenda pertemuan akbar. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES