Positive News from Indonesia

Agama Cinta Gus Dudung Abdurrachman, Sang Jenderal Bernasab Sunan Gunung Jati

Selasa, 21 September 2021 - 05:58 | 277.96k
Letjen TNI Dudung Abdurachman (Agung Pambudhy/detikcom)
Letjen TNI Dudung Abdurachman (Agung Pambudhy/detikcom)

TIMESINDONESIA, JAKARTALAGI-LAGI Gus Dudung Abdurrachman. Sosok berpangkat Letnan Jenderal yang kini menjadi Pangkostrad itu membuat heboh lagi. Sejagat dunia maya. Dengan pernyataannya yang membuat polemik. 

"Hindari fanatik berlebihan terhadap suatu agama, karena semua agama itu benar di mata Tuhan." Begitu katanya. Namun, sebelum kalimat itu, titik tekan pesan tersebut terletak pada sikap bijak bermedsos. Khususnya bagi prajurit. 

Advertisement

Kurang lebih begitu. Disampaikan saat memberi motivasi pada prajurit Yon Zipur 9 Kostrad/Lang-Lang Bhuana Kostrad. Di Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (13/9/2021). 

Saat itu Gus Dudung bicara sebagai Panglima Kostrad. Dengan pakaian dan tongkat komando. Lengkap dengan seragam dan tanda bintang 3 di pundak. Letjen TNI Dudung Abdurrachman.

Kontan saja pernyataannya bikin heboh. Ada yang mempermasalahkan. Banyak pula yang membelanya. Sejenak jagat maya terfokus padanya. Melupakan sedikit penat Pandemi Covid.

Gus Dudung Abdurrachman lagi. Begitu yang ada di benak ini. Pikiran pun langsung mengembara. Paling pendek ke sekira pertengahan November 2020. 

Kala itu media tersentak dengan video viral pencopotan semua baliho dan spanduk bergambar HRS. Baliho sang imam besar FPI yang bertebaran di ibu kota. Dengan foto dan kalimat yang heroik. 

Dengan tegas dan gagah berani, serombongan pasukan TNI keliling ibu kota. Mencopoti. Tanpa tersisa sekalipun. 

Sebelumnya tak ada pencopotan seperti ini. Kalau pun dicopot, baliho dan spanduk itu berdiri lagi. Dicopot lagi, terpasang lagi.

Tapi kali ini beres. TNI tegas. Untuk kesatuan dan persatuan bangsa. 

Banyak yang mengecam tindakan itu. Terutama para pendukung FPI. Juga para pentolan kelompok alumni 212. Yang demo memenuhi sekitaran Monas itu era Gubernur DKI, Ahok.

Namun dengan ketegasannya, Gus Dudung Abdurrachman yang kala itu menjadi Pangdam Jaya, pasang badan. 

"Ada yang berbaju loreng menurunkan baliho Habib Rizieq? Catat! Itu perintah saya," tegas Gus Dudung. Itu ia sampaikan menjawab pertanyaan wartawan seusai apel pasukan di Monas, pada Jumat (20/11/2020).

Gus Dudung tegas. Bahkan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran pun mendukungnya. Dua pimpinan di DKI ini saling support. 

Kecaman para pendukung HRS pun langsung mengarah ke Dudung. Dari pengikut yang politisi, menjadi penceramah, pengurus, hingga para buzzer. 

Pula simpatisan yang sesungguhnya banyak yang tidak tahu menahu apa itu FPI. Namun termakan hoaks dan hasutan.

Gus Dudung bergeming. Ia bahkan keliling Jakarta bersama pasukannya. Lengkap dengan panser dan senjata lengkapnya. Bahkan masuk ke Petamburan. Kawasan basis FPI

Dan, akhirnya papan nama FPI dicopot. Di markas besarnya. Semuanya. Tak tersisa!

"Ini negara hukum, semua warga negara harus taat kepada hukum. Ini akan saya bersihkan semua. Tidak ada itu baliho yang mengajak revolusi dan segala macam," tegasnya kala itu.

Makin meradanglah para pendukung HRS saat itu. Tapi banyak pula masyarakat dan ormas yang mendukungnya. Dan, akhirnya tindakan Dudung-lah yang benar. FPI akhirnya dibubarkan pemerintah. 

Hanya, kekesalan akibat itu masih terasa. Sesekali para pendukung HRS masih bersuara. Pun para kelompok 212. Sepertinya mereka memendam rasa pada sosok Dudung ini. Dak tahu rasa apa itu. Semoga rasa cinta.
 
Patriotisme Sang Kakek Buyut

Letjen Dudung menjadi buah bibir. Positif sekali. Kecuali mungkin beberapa dari mereka yang tidak senang dengan ketegasannya.

Publik banyak yang bertanya. Kenapa tidak dari dulu ada ketegasan itu? Mengapa baru sekarang?

Di sinilah sosok Dudung yang sesungguhnya muncul. Saya pun mencari-cari tahu siapa Dudung. Yang belakangan di kalangan aktivis gerakan Islam Nahdliyin memanggilnya Gus Dudung Abdurrachman. 

Apalagi setelah pernyataannya soal agama itu. Yang lagi-lagi dibuat bahan bakar menyerangnya.

Dari rekan dan penelusuran saya, Gus Dudung ini bukan orang yang minim ilmu agama. Ia lahir dari lingkungan keluarga yang beragama kuat. Bahkan ilmu thariqatnya juga ada. Pula kanuragan.

Patriotisme Dudung diasah sejak kecil. Ia hidup di lingkungan TNI. Sang ibu, Ny Nasyati adalah PNS di lingkungan Bekangdam III/Siliwangi. Sedang bapaknya, Nasuha Abdurrachman merupakan tokoh agama yang disegani.

Dudung kecil lahir di Bandung, 19 November 1965. Putra tokoh yang biasa di lingkungan agama yang kuat dan ibu dari darah tentara. Nasuha Abdurrachman dan Nasyati. 

Bahkan konon, sang kakek buyut Dudung ini masih sambung nasab ke Sunan Gunung Jati, Syekh Sultan Syarif Hidayatullah.

Sunan Gunung Jati adalah salah satu wali songo tanah Jawa. Ia lahir tahun 1448 Masehi. Putra dari Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam dan Syarifah Mudaim. 

Syarifah Mudaim ini adalah nama muslim dari Nyai Rara Santang, putri Prabu Siliwangi. Raja Kerajaan Pajajaran yang kesohor itu. 

Dari sejumlah keterangan dan silsilah keluarga Dudung, Sunan Gunung Jati ini memiliki cucu Pangeran Syeikh Pasiraga dari ayah Pangeran Trusmi (Sumbu Mangkurat) dan Nyai Mas Babadan. 

Syekh Pasiraga, keturunan Sunan Gunung Jati ini, menjadi tokoh penyebar Islam di Depok. Dari merekalah lahir Muharom Wira Subrata yang merupakan nasab kakek buyut Dudung Abdurrachman. Sehingga secara nasab sambung ke sang waliyullah Sunan Gunung Jati itu.

Melihat nasab ke atasnya yang sambung dengan salah satu wali terkemuka tanah Jawa itu, tak heran Gus Dudung memiliki kekhasan dan kelandepan. Yoni istilah Jawanya. Karena sel kanuragan kakek buyutnya itu tentu masih ada dalam salah satu bagian sel tubuh Dudung.

Keluarga Dudun juga masih ngurip-nguripi pesantren. Bahkan keluarganya yang mewakafkan tanah untuk pengembangan Pondok Pesantren Majaalis Al-Khidhir di Bogor yang diasuh oleh Syaikh Muhammad Al-Khidhir.

Dengan nasab yang baik itu performa Dudung pada agama dan bangsa sudah tak perlu diragukan lagi. Sebagai orang yang punya nasab wali, ia pasti akan membela ajaran kakek buyutnya. Dan, sebagai tentara, ia akan membela bangsanya. Sampai tetes darah terakhir.

Tempaan hidup kedua orang tua Dudung juga sangat kuat. Sejak kecil sudah diajari mandiri. Bahkan saat ditinggal sang ayah, si yatim Dudung membantu ibunya.

Ia kerja paruh waktu. Dari loper koran hingga jualan jajan. Di lingkungan Kodam Siliwangi. Dan, daerah sekitarnya.

Tempaan hidup yang sangat kuat itu membuat jiwanya makin kuat. Dudung pun tumbuh menjadi sosok yang berbeda dengan anak usianya.

Bahkan dengan jiwa tentara sejak kecil, Dudung pun akhirnya mampu masuk AKABRI. Ia mampu lulus dengan baik. Di kesatuan Infanteri. Dan, kini Letjen Dudung Abdurrachman memimpin Kostrad. Sebagai panglima.

Wahdatul Adyan dan Anti Hoaks

Perdebatan tentang semua agama sama (wahdatul adyan) sebenarnya sudah ada sejak Ibnu Al Arabi menyampaikan itu. Di era kekinian, tema itu sesungguhnya sudah dianggap selesai. Walau di kalangan mahasiswa dan penikmat pemikiran Islam masih saja menjadi perbincangan dan perdebatan yang seru. 

Kendati sesungguhnya telah selesai dengan lakum diinukum waliadiin. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Lalu ada, lana a'maluna walakum a'malukum. Bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu. 
 
Itu adalah substansi dasar toleransi beragama. Al Quran menyebutkan potongan sebuah ayat dalam Surat Al Kafirun dan Al Baqarah 139 di atas itu, sebagai landasan penegasan bahwa keragaman agama di dunia ini merupakan suatu keniscayaan (sunnatullah). 

Dengan kata lain, Allah tidak menghendaki adanya satu agama saja yang eksis di muka bumi, meskipun sesungguhnya Dia punya kuasa untuk menciptakan situasi dan kondisi yang demikian. Oleh karenanya, membangun pola pikir dan sikap dalam menyikapi keragaman keagamaan sangat penting. Tujuanya agar tidak ‘kagetan’ ketika melihat perbedaan di sekitar kita.

Namun dalam konteks perdebatan politik keislaman dan keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini, semuanya menjadi tidak selesai. Lalu, dipolemikkan. Kendati pada substansinya, karena politik agama yang kental.

Saat hidup di tengah kebhinnekaan ini, beragama yang baik seperti halnya beragama ala wali songo. Termasuk berislam. Beragama dengan lembut dan penuh cinta.

Lakum madzhabukum wa lana madzhabuna. Atau, Lakum partaiukum walana partaiuna. Semua saling menghormati.

Dan, apa yang disampaikan Gus Dudung Abdurrahman di depan prajuritnya itu sesungguhnya menjadi sebuah kewajiban. Apalagi tentara adalah alat negara. 

Ada pesan yang tersirat dalam pidato Gus Dudung itu. Bahwa dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, sesungguhnya tidak boleh fanatik berlebihan atas nama agama. Tapi yang tetap wajib adalah fanatik pada aqidah, tauhid, dan ritualnya. 

Berdoa dan shalatlah sesuai agama masing-masing yang rajin dan fanatik sehingga khusyuk menghadap Tuhannya melalui ibadah. 

TNI adalah benteng. Jika benteng itu jebol hanya karena fanatisme sebuah agama, maka kebhinnekaan nusantara yang ika ini akan tercerai berai. 

Apalagi dalam konteks amanat Dudung pada prajuritnya itu sebelumnya diikuti oleh kewaspadaan tentang hoaks atas nama agama. Maka akan sangat pas konteksnya jika dihubungkan dengan fanatisme agama.

Nusantara ini nyaris terpecah belah oleh hoaks atas dasar agama. Apalagi menjelang dan pasca pilpres. Pula saat munculnya kelompok-kelompok garis keras atas nama agama. 

Ditambah algoritma Echo Chamber di media sosial dan mesin internet. Nyaris membuat nusantara tercinta ini babak belur. Bahkan bisa terbelah.

Maka, ketika Gus Dudung Abdurrachman memotivasi prajuritnya dengan pesan anti hoaks dan tidak fanatik agama, itu menjadi sebuah pesan yang wajib. Karena memang sesungguhnya beragama yang baik itu adalah dengan beragama dengan cinta. Apapun agama kalian. 

Terus tegas Gus Dudung Abdurrachman. Sering-seringlah sambangi makam Sunan Gunung Jati, kakek buyut Jenderal di Cirebon. Untuk bertanya dan berdialog kembali makna agama cinta wali songo. Tabik Gus! (*)

Lereng Argopuro, 19-9-2021

***

*) Penulis adalah Khoirul Anwar.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Khoirul Anwar
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES