Mengenal Kearifan Lokal Masyarakat Banjar Lewat Kitab Sabilal Muhtadin
TIMESINDONESIA, MALANG – Keberagaman budaya dan adat istiadat di Indonesia merupakan salah satu kekayaan yang perlu dipahami dan dihargai. Salah satu cara untuk memahami adat masyarakat Banjar adalah melalui kitab Sabilal Muhtadin karya ulama terkemuka, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Kitab Sabilal Muhtadin memiliki peran penting dalam mengungkapkan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Banjar. Karya ini merupakan salah satu rujukan utama dalam mempelajari kehidupan dan kearifan lokal masyarakat Banjar.
Advertisement
Syekh Muhammad Arsyad, seorang ulama yang berasal dari Martapura, Banjar, telah meneliti adat dan kebudayaan masyarakat Banjar. Melalui karyanya ini, ia menjelaskan berbagai aspek kehidupan masyarakat Banjar, termasuk tradisi, adat istiadat, nilai-nilai sosial, dan tata cara dalam kehidupan sehari-hari.
Kitab Sabilal Muhtadin memberikan gambaran yang mendalam tentang adat masyarakat Banjar dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam kehidupan mereka.
Karya ini menjadi jendela bagi siapa pun yang ingin memahami lebih dalam tentang kebudayaan dan adat istiadat yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam masyarakat Banjar.
Masyarakat Banjar sangat menghormati dan menjunjung tinggi kitab Sabilal Muhtadin sebagai panduan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kitab ini menjadi acuan dalam mengatur hubungan sosial, upacara adat, dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
Melalui karya monumental ini, Syekh Muhammad Arsyad telah berperan penting dalam melestarikan adat dan kebudayaan masyarakat Banjar. Kitab Sabilal Muhtadin menjadi salah satu sumber penting bagi para peneliti, akademisi, dan masyarakat umum yang ingin mengenal lebih dekat adat istiadat masyarakat Banjar.
Masyarakat Banjar, terutama mereka yang tinggal di pinggiran sungai, memiliki kearifan lokal unik dalam membangun jamban terapung di atas rakit. Praktik ini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka yang mengikuti perubahan arus aliran air sungai. Hal ini juga telah diakui dan dibahas dalam tulisan ulama terkenal, Al-Banjari.
Dalam Sabilal Muhtadin, ia menyatakan bahwa tidak menjadi haram jika menghadap atau membelakangi arah kiblat saat menggunakan jamban terapung di atas rakit tersebut jika dindingnya sudah melewati 2/3 hasta atau lebih. Pemikiran hukum ini berkaitan erat dengan kearifan lokal masyarakat Banjar yang hidup di sekitar sungai dan menjadikan rakit sebagai tempat pembuangan kotoran.
Selain itu, ada pula masalah yang berkaitan dengan kearifan lokal dalam proses pemakaman menggunakan tabala, yaitu sebuah wadah atau peti yang terbuat dari kayu. Al-Banjari menulis bahwa menanamkan mayat di dalam tabala dianggap makruh dan bid'ah, kecuali dalam keadaan tertentu. Misalnya, jika tanah kuburan berair, rusak, atau ketika mayat adalah seorang perempuan yang tidak memiliki mahram yang hadir. Juga, jika ada ancaman binatang buas yang mengganggu tanah kuburan, penggunaan tabala dianggap wajib untuk melindungi mayat.
Beberapa kebiasaan yang berkaitan dengan penghormatan terhadap kuburan antara lain adalah mengangkat kuburan lebih tinggi dari yang seharusnya, membangun pagar dan melukis makam, membangun rumah di atas kuburan, serta duduk dan makan di kuburan. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai hal-hal ini, menjelaskan bahwa beberapa kebiasaan tersebut bertentangan dengan ajaran agama.
Dalam konteks menyajikan makanan untuk para peziarah, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari menjelaskan bahwa pembawa makanan seharusnya adalah orang desa yang memberi makan keluarga almarhum. Hal ini dilakukan agar keluarga almarhum dapat makan dengan baik, mengingat mereka sibuk dengan urusan kematian dan tidak memiliki waktu untuk memasak. Namun, disarankan untuk tidak menyiapkan makanan dengan niatan untuk mengekspresikan kemarahan atau kesedihan.
Dalam upaya melestarikan kearifan lokal dan menjaga warisan budaya masyarakat Banjar, penting bagi generasi muda untuk memahami dan menghargai praktik-praktik seperti jamban terapung, penggunaan tabala dalam pemakaman, bangunan di atas makam dan makanan untuk para peziarah. Hal ini juga dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat lainnya tentang keragaman budaya dan adat istiadat yang ada di Indonesia.
Dengan demikian, pemikiran hukum yang terkandung dalam kitab Sabilal Muhtadin karya Al-Banjari menggambarkan betapa pentingnya kearifan lokal dan nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat Banjar. Melalui pemahaman dan penghormatan terhadap kearifan lokal ini, keanekaragaman budaya Indonesia dapat terjaga dan dihargai.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |