In Memoriam Cak Noordin Djihad: Oase Istiqamah dalam Gurun Jurnalisme
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Rintik hujan Kamis sore (4/1/2024) seperti mengerti dan menjadi tanda mendungnya suasana grup-grup wartawan Malang Raya. Sejak pukul 17.30 an, ucapan duka deras menyerbu aplikasi. Menyeruak jauh ke dalam batin.
Ya, kabar duka datang dari guru, sahabat, teman, rekan seperjuangan, dan saudara seprofesi kami, Noordin Djihad. Ia meninggal dengan tenang di rumahnya. Sekitar pukul 17.00.
Advertisement
Banyak sekali kenangan yang saya ingat pada diri jurnalis senior ini. Semuanya baik. Tidak ada kesan tidak baik pada dirinya.
Saya sendiri biasa menyapanya Cak Noordin. Kami berkawan sejak saya mahasiswa. Waktu itu almarhum masih menjadi jurnalis Surya. Sedang Mbak Diana, istrinya jurnalis Surabaya Post. Keduanya total hidup berkarya di profesi ini.
Dedikasi Tak Tergoyahkan
Bagi saya, Cak Noordin adalah seorang jurnalis yang bukan hanya mengukir kata-kata, tetapi juga menanam integritas dalam setiap sisi kehidupan. Dia meninggalkan dunia ini dengan warisan yang tak ternilai; sebuah dedikasi yang tak tergoyahkan untuk mencari dan menyebarkan kebenaran informasi.
Noordin bukan sekadar jurnalis; dia adalah seorang penyair realitas, yang kepiawaiannya dalam mengolah kata sebanding dengan ketajamannya dalam menelisik fakta. Bersama Mbak Diana, istrinya yang tak kalah gigih dalam mewartakan kebenaran, mereka menjadi duo yang harmonis, menyebarkan informasi dengan cinta dan kepedulian.
Bersama, mereka melewati gelombang tantangan dan terpaan angin perubahan zaman. Mereka tetap teguh pada prinsip dan dedikasi untuk jurnalisme yang adil dan beretika.
Dalam kekalemannya, Cak Noordin memiliki kekuatan luar biasa. Kekuatan itu bukan berasal dari suara keras atau kata-kata yang memekik. Tapi dari ketenangan dan kedalaman pemikirannya.
Dia adalah sosok ngemong. Pembimbing yang dengan sabar dan teliti mengajarkan yunior-yuniornya untuk melihat dunia tidak hanya dari apa yang tampak, tetapi juga dari sudut pandang yang lebih dalam dan reflektif.
Filosof kuno seperti Socrates telah lama mengajarkan kita tentang pentingnya kehidupan yang direnungkan. Dalam kata-kata Socrates, "Hidup yang tidak direnungkan tidak layak dijalani." Cak Noordin menjalani hidupnya sebagai sebuah perenungan yang tak henti.
Setiap artikel, setiap laporan, bukan sekadar tugas atau pekerjaan; itu adalah bagian dari dialog batinnya sendiri. Pencariannya akan makna, kebenaran, dan keadilan.
Di sisi lain, saat kita berbicara tentang kematian bukan sebagai akhir, tetapi sebagai bagian integral dari kehidupan. Martin Heidegger, filosof eksistensial, menegaskan bahwa "kematian bukanlah kejadian; itu adalah kemungkinan."
Dalam kematian Cak Noordin, kita tidak hanya melihat sebuah akhir, melainkan sebuah transendensi. Perjalanan kata-kata dan prinsipnya dari yang nyata menjadi abadi.
Meneladani Cak Noordin
Kehidupan Cak Noordin adalah perpaduan antara kedamaian dan keberanian. Dia tak pernah gentar menghadapi kekuatan yang ingin menyembunyikan kebenaran, namun selalu dengan cara yang bijaksana dan dipertimbangkan. Dia mengajarkan kita bahwa keberanian bukan tentang suara yang paling keras, tetapi tentang keberanian untuk tetap tenang di tengah badai. Keberanian untuk terus berjalan meski jalan tampak berliku dan penuh rintangan.
Di setiap sudut redaksi, di setiap rapat editorial, di setiap sisi kota yang pernah dijelajahinya, Cak Noordin meninggalkan jejak. Jejak-jejak itu bukan hanya dalam bentuk tulisan atau suara, tetapi dalam bentuk perubahan yang ia bawa. Perubahan semangat yang ia tanamkan pada generasi muda. Perubahan dalam nilai-nilai yang akan terus hidup jauh setelah ia pergi.
Hari ini, kita berdiri di tepian waktu, menatap ke belakang pada jejak langkah Cak Noordin, dan ke depan pada jalan yang masih harus kita tempuh. Kita mengenangnya bukan hanya seorang jurnalis, tetapi seorang guru, seorang sahabat, seorang pejuang kebenaran. Kita mengenang tidak hanya kehilangan, tetapi juga warisan yang tak terhingga. Sebuah warisan yang mengajarkan kita tentang keberanian, kejujuran, dan kebaikan.
Dalam memorial ini, kita diajak Cak Noordin untuk tidak hanya berkabung, tetapi juga untuk merenung. Untuk memahami bahwa setiap kata yang kita tulis, setiap cerita yang kita bagi, setiap tindakan yang kita ambil, adalah bagian dari warisan yang kita ciptakan.
Kita diajak untuk menjadi lebih baik. Untuk terus mencari kebenaran. Terus berjuang untuk keadilan, dan untuk terus menghidupkan api kebaikan yang pernah dinyalakan Cak Noordin.
Noordin Djihad telah pergi, namun cahaya yang ia pancarkan akan terus bersinar. Dalam kekalemannya, dalam kata-kata dan perjuangannya, kita menemukan kekuatan. Kita menemukan inspirasi untuk terus melangkah, terus belajar, dan terus berkontribusi.
Karena seperti yang pernah ia tunjukkan, kebaikan, kebenaran, dan keadilan adalah cahaya yang tidak akan pernah padam. Api yang tidak akan pernah mati.
Sebagai penutup, marilah kita memetik hikmah dari hidup Cak Noordin. Marilah kita menjadikan setiap tantangan sebagai peluang untuk bertumbuh, setiap kesulitan sebagai kesempatan untuk menjadi lebih kuat, dan setiap momen sebagai waktu untuk berbuat baik.
Seperti Cak Noordin, marilah kita berkontribusi pada dunia ini. Tidak hanya sebagai individu, tetapi sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar. Komunitas yang peduli, yang berdedikasi, dan yang selalu berusaha untuk menjadi lebih baik.
Maka, mari kita mengenang dan melanjutkan perjalanan yang telah dimulai Cak Noordin. Marilah kita menjadi bagian dari narasi yang lebih besar. Narasi yang penuh dengan cinta, harapan, dan dedikasi.
Narasi yang suatu hari nanti, akan kita wariskan juga. Sebagai bagian dari perjalanan panjang umat manusia menuju kebaikan dan kebenaran. Sugeng tindak Cak Noordin Djihad, Sampean tiyang sae. Semoga damai menyertaimu di perjalananmu yang baru Cak. Alfatihah. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Khoirul Anwar |
Publisher | : Rifky Rezfany |