Kopi TIMES

Etnis Arab Jadi Provokator?

Rabu, 15 Mei 2019 - 11:08 | 134.89k
Dr H Moh Syaeful Bahar, M.Si, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)
Dr H Moh Syaeful Bahar, M.Si, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, SURABAYAJUDUL di atas agak sensitif. Terkait etnisitas, jika tidak dikelola dengan baik, bisa menjadi isu SARA. Tapi saya tertarik menulisnya, karena penting dan menarik untuk didiskusikan. 

Ini terkait etnis yang cukup banyak jumlahnya di bumi pertiwi. Jumlah mereka signifikan. Mereka berdiaspora. Hampir tiap kota, terutama di Jawa, Sumatera, Maluku, Kalimantan dan Sulawesi selalu ada komunitas orang Arab. Mereka berkumpul dalam satu daerah yang biasanya, bernama Kampung Arab. 

Mereka adalah para pedagang, saudagar, dokter, cendekiawan, pengacara, musisi, guru, kaum profesional, tokoh agama, olahragawan, wartawan, gubernur, menteri dan bahkan, di masa lalu, mereka adalah para pejuang kemerdekaan. Para saudagar Arab, bukan hanya membiayai perjuangan, mereka juga angkat senjata, turun ke medan perang mengusir penjajah.

Jejaring mereka sangat kuat, meskipun keretakan di dalam ikatan mereka juga ada. 

Sebagian datang dari Hadramut, mereka inilah yang membawa ajaran Islam Sunni, sebagaimana jamak dipraktekkan oleh umat Islam Indonesia. Juga ada yang datang dari Saudi, Sudan, Maroko dan Mesir.

Beberapa tokoh nasional juga adalah keturunan etnis Arab. Sebutlah, kakak beradik cendekiawan muslim, Habib Prof. Dr. Quraish Shihab, adiknya, Habib Dr. H. Alwi Shihab, tokoh sufi Indonesia Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan, Anies Baswedan Gubernur DKI, Habib Dr. Rizieq Shihab , Ahmad Albar dan masih banyak lagi tokoh nasional keturunan Arab. Ini membuktikan bahwa mereka telah memberi warna dalam blantika dan romansa di negeri ini.

Namun, beberapa hari yang lalu, eksistensi etnis Arab ramai diperbincangkan. Penyebabnya adalah pernyataan Jend. (Purn) AM Hendropriyono, mantan Kepala BIN. 

Jend Purn AM Hendropriyono menyatakan dan meminta agar etnis Arab tak jadi provokator. Pernyataan ini tak ayal memantik pertanyaan dan bahkan juga kemarahan sebagian orang. Apa benar begitu? Apa Jend. Purn. AM. Hendropriyono tidak keseleo lidah? Dan beberapa pertanyaan lain. Meskipun pernyataan ini telah diluruskan, namun menurut saya, masih penting didiskusikan. Terlepas benar atau tidak benarnya pernyataan Jend Purn AM Hendropriyono. Kenapa? Karena ini menyangkut masa depan Indonesia. Indonesia yang berkeadilan tanpa harus memandang (lagi) apa etnis, suku, ras dan agama seorang warga negara di hadapan negara. 

Saling Sengkarut People Power

Saya kira, pernyataan Jend Purn AM Hendropriyono berdasar data, sekuat apa datanya, itu urusan lain, tapi saya yakin dia punya data. Tidak mungkin, tokoh sekaliber dia, mantan kepala BIN, membuat pernyataan ngawur tanpa data.

Sekilas, jika pernyataan itu dialamatkan pada beberapa sosok seperti Habib Rizieq Shihab, maka pernyataan tersebut menemukan dasar. Beberapa pernyataan Habib Rizieq memang cendrung mengarah pada ajakan people power. People power yang konstitusional, begitu kata HRS. 

People power yang didasari oleh semangat amar ma'ruf nahi mungkar. People power karena pemerintahan Jokowi telah melakukan kejahatan demokrasi, melakukan kecurangan yang sistematis, massif dan terstruktur. Begitu kata HRS. Tidak ada jalan lain untuk mengingatkan pemerintah selain jalan people power.

Tafsir pada kata dan semangat people power inilah yang mengakibatkan silang sengkarut terjadi. People power itu konstitusional apa tidak? Karena alasan apa people power harus terjadi? ini pertanyaan utamanya. Ini yang harus diluruskan.

People power pernah sukses di Filipina, Iran dan bahkan juga di Indonesia. Itu, jika people power dimaknai sebagai sebuah gerakan massa yang menuntut pemerintahan yang berkuasa untuk menyerahkan kekuasaannya pada rakyat. 

Penguasa dianggap gagal, sehingga rakyat, dengan kekuatan massa menuntut penguasa tidak lagi mengendalikan kekuasaan negara. Markos di Filipina dan Soeharto di Indonesia, adalah contoh pemimpin yang dipaksa turun oleh rakyatnya sendiri melalui gerakan people power.

Apakah people power legal? Apakah people power benar konstitusional? Apakah people power benar dibutuhkan di saat sekarang? Jawaban dari pertanyaan ini yang berbeda antara pemerintah dan kubu pendukung people power. 

Konstitusi kita jelas menyatakan bahwa mengemukakan pendapat, berkumpul dan berserikat, mengkritisi pemerintah, berbeda pendapat, menuntut hak adalah kegiatan yang legal dan boleh dilakukan oleh siapapun, dan memang begitu seharusnya. 

Jika ingin demokrasi tumbuh berkembang, jika sebuah negara ingin menjadi negara yang maju demokrasinya, maka, berilah ruang yang cukup bagi kelompok oposisi menyuarakan pendapat. Karena itu adalah salah satu inti dari berdemokrasi.

Bagi pemerintah, people power memiliki resiko-resiko turunan yang tak mudah diantisipasi, chaos misalnya. Pendapat pemerintah ini juga didukung oleh beberapa orang pengamat politik dan pengamat sosial. 

Apalagi, ketika semangat yang melatari people power ini adalah agama. Maka, semakin besar kemungkinan seseorang yang terlibat di dalamnya melakukan apapun, karena dimotivasi oleh ganjaran, pahala.

Beberapa video yang beredar cepat di you tube menunjukkan hal itu. Di beberapa forum (mungkin) pengajian, beberapa orang penceramah, dengan semangat tinggi, sesekali meneriakkan takbir, menggiring dan mengajak umat Islam untuk perang. 

Bahkan dia, sang penceramah yang akan memimpin sendiri peperangan itu, seandainya Jokowi menang Pemilu. Mereka begitu yakin, bahwa Prabowo, jago mereka, akan keluar sebagai pemenang di Pemilu 2019. Jikapun Jokowi menang, mereka meyakini, pasti menang dengan cara curang. Karena kecurangan itu pula, mereka siap perang. 

Pekikan takbir sang penceramah disambut teriakan takbir dari jamaah. Gelora dan semangat jamaah terbakar. Emosi mereka tersulut. Jika dalam jumlah massa yang lebih besar, tentu akan sangat sulit mengendalikan emosi dan pergerakannya. Ini yang dikhawatirkan pihak pemerintah.

Sedang kubu pendukung people power menyatakan, ini cara yang paling efektif mewadahi kekesalan masyarakat karena prilaku pemerintah (kata mereka rezim) yang tak kunjung adil. Mereka tak lagi mau berdialog, karena dianggap sia-sia. 

Kecurangan demi kecurangan dalam tahapan Pemilu tak mungkin diadukan ke MK, karena MK dan seluruh perangkat penyelenggara Pemilu telah dianggap pro pemerintah, boneka pemerintah. 

Politik identitas, Bibit Kejahatan Diskriminasi

Namun tulisan ini tidak untuk membahas people power lebih jauh. Biarlah, rakyat yang akan menjadi hakim, siapa yang benar, siapa yang benar-benar berjuang demi rakyat, antara pemerintah (kubu 01) dan kelompok pendukung people power (kubu 02). 

Tulisan ini lebih ditujukan pada bagaimana cara menghindari prilaku diskrimintif, yang dapat dilakukan oleh negara atau pelaku bukan negara.

Kembali ke pernyataan Jend. Purn. AM. Hendropriyono. Jika dipahami sekilas, pernyataan tersebut memiliki resiko yang tak ringan, berbahaya. Bisa memantik disharmoni. Tapi pernyataan tersebut juga berlatar belakang prilaku 'destruktif' yang harus dikendalikan. 

Tak seharusnya alasan kecurangan Pemilu diselesaikan dengan people power. Sudah ada mekanisme yang mengatur untuk mengadukan kecurangan Pemilu. Tahapannya jelas, peraturannya juga sudah jelas. 

Sayapun yakin, people power tak akan benar-benar terjadi. Banyak alasan atas keyakinan saya ini. Misal, gerakan people power yang diwacanakan tak mendapat dukungan masyarakat kampus, mahasiswa. Padahal, dalam sejarah people power di Indonesia, selalu saja, mahasiswa yang menjadi pelaku utamanya. Selama mereka belum bergerak, saya yakin tak akan ada people power. 

Berikut juga dukungan rakyat. Rakyat tampak enggan mengikuti seruan ini. gampangnya, NU dan Muhammadiyah sebagai representasi umat Islam di Indonesia, tak mendukung ajakan people power ini.

Tingkat kesalahan (jika dianggap kesalahan) yang dilakukan oleh pemerintah, tak menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Persoalan yang melatari bukan persoalan sembako, namun sengketa Pemilu. Masyarakat tidak terlalu peduli dengan isu politik ini. Selama mereka masih bisa bekerja, menafkahi keluarga, mereka akan tetap tenang di tempat kerja masing-masing.

Hal yang merisaukan saya adalah isu SARA yang sangat dominan dalam perhelatan Pemilu kali ini, terutama isu etnis dan agama. Seakan-akan, jika tidak mendukung paslon ini, bukan muslim yang taat, jika tidak mendukung paslon itu, bukan nasionalis yang hebat. 

Perang pernyataan terkait hal ini sudah menjadi menu harian kita selama tahapan Pemilu dilaksanakan. Datangnya bulan Ramadhan tak cukup menjadi alasan orang-orang yang berseteru untuk sejenak berhenti saling ejek dan saling serang medsos. Parah, tingkat permusuhannya sudah akut.

Penggunaan isu dan penguatan politik identitas adalah prilaku kekanak-kanakan yang justru akan mendegradasi kualitas demokrasi kita. Rakyat tidak diajak cerdas memilih pemimpin, tapi diajak menjadi emosional karena ikatan primordial. Tak penting lagi visi misi, tak butuh lagi program kerja yang cerdas, tak utama lagi rekam jejak seorang calon, yang penting, dia didukung oleh agama, didukung oleh Allah, selesai persoalan. Begitu, kira-kira narasi yang dibangun. 

Dengan narasi ini pula, dikotomi menjadi jelas, siapa lawan siapa kawan. Yang tidak sama dalam hal agama, dia lawan, siapa yang sama dalam hal agama, dia kawan. 

Seharusnya tidak begitu. Karena cara berpikir yang dikotomis ini, pada ujungnya akan melahirkan prilaku diskriminatif. Prilaku yang tak diajarkan dalam agama kita. Prilaku yang sangat dibenci oleh para pendiri bangsa kita. 

Cara berpikir, kita dan mereka, sana dan sini, akan menumbuhkan sikap tak adil. Padahal, sikap adil adalah prasyarat utama sebuah negara bisa berdiri tegak. Hukum berdiri tegak atas semua lapisan masyarakat, tak runcing ke bawah dan tak tumpul ke atas, distribusi pembangunan di berikan secara merata, tidak hanya Jawa saja, tapi luar Jawa juga merasakan pembangunan, pendidikan dan kesehatan menjadi hak dasar bagi siapapun warga negara. Orang miskin juga punya hak untuk menjadi pandai dan sehat. Pandai dan sehat tidak lagi menjadi monopoli orang kaya.

Untuk itu, para founding fathers negeri ini menulis Pancasila. Pancasila menegaskan dalam sila ke lima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Jangankan negara, ukuran seorang bertaqwa atau tidak, dalam Islam, juga diukur dari sikap adil. Al Qur'an mewanti-wanti, agar jangan sampai karena ketidaksukaan kita pada seseorang atau pada sekelompok orang membuat kita tak bisa bersikap adil para mereka. 

Etnis Arab, etnis penabar kedamaian

Kembali ke etnis Arab. Saya kira, masih banyak tokoh nasional yang kebetulan keturunan Arab yang jauh dari kesan "provokator". Artinya, apa yg disampaikan oleh Jend Purn AM Hendropriyono tidak bisa digeneralisir, digebyah uyah. 

Al Habib Prof Dr KH Quraish Shihab dan Al Habib Maulana Muhammad Lutfi bin Ali bin Yahya adalah dua contoh sempurna tokoh yang menebar kedamaian. Disusul kemudian oleh generasi di bawah mereka, seperti almarhum Al Habib Mundzir al Musawa, Al Habib Jindan dan Al Habib Ahmad bin Jindan bin Salim, juga Al Habib Jamal Baagil. 

Mereka berempat adalah murid dari Al Habib Umar bin Hafidz Tareem Yaman. Mereka pewaris cara dakwah Habib Umar yang sangat humanis, santun dan menyejukkan. Mereka tak pernah mencaci, tak pernah membenci. Mereka menyebarkan dakwah Islam dengan cinta. 

Mereka selalu tersenyum. Bahkan kepada para penjahat dan pendosa yang memusuhi Islam, mereka masih santun. Para habib ini, menganggap bahwa mereka (para pendosa) adalah objek dakwah yang harus diajak ke jalan tuhan. Dakwah adalah mengajak, karena mengajak ya harus dengan cara yang menyenangkan, cara yang menenangkan. Begitu kira-kira prinsip dakwah mereka.

Akhirnya, saya sebagai santri, tetap akan terus sangat hormat kepada orang Arab, apalagi para dzurriyah nabi, para habib, habaib. Sebagaimana guru-guru says mengajarkannya. Terutama pada para habib yang mengajarkan Islam dengan cara yang santun, lemah lembut. 

Seorang teman bertanya, bagaimana dengan HRS? Saya hormat HRS. Saya akan tetap hormat, harus! Karena dia dzurriyah nabi, di darahnya mengalir darah Nabi. Tapi saya tak setuju dengan metode dakwahnya. Wallahu a'lam. (*)

* Penulis, Dr H Moh Syaeful Bahar, M.Si, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES