Kopi TIMES

Berhala 4.0

Rabu, 22 Mei 2019 - 12:43 | 72.73k
ILUSTRASI. (FOTO: tribunnews)
ILUSTRASI. (FOTO: tribunnews)

TIMESINDONESIA, MALANGRAMADHAN bulan mulia karena ada kewajiban puasa. Puasa yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada manusia beriman ini merupakan jalan mencapai ketakwaan, sebagaimana firmanNya ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibakan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”(QS, Al-Baqarah:  183). Derajat ketakwaan seperti diregulasi wahyuNya ini baru ditunai manusia berpuasa, manakala pribadinya bisa terbentuk menjadi ”sosok transformatif” di tengah masyarakat.

Perintah itu mdenunjukkan, bahwa sudah banyak manusia yang mengimplementasikan ritual puasa, yang puasanya gagal mengantarkan dirinya sebagai sosok pengubah. Sosok ini pantas melekat padanya sebagai representasi  pribadi yang semula masih serba kurang, berpenyakitan, atau mengidap berbagai bentuk virus menjadi pribadi yang tangguh, militan,  atau berintegritas. Pribadi ini sebagai cermin keteguhan dalam beragama, yang keberagamaannya diabdikan  dalam jagad keilahiahan maupun realitas kehidupan kemanusiaan.

Beragam kesenangan atau tawaran bersifat materialistik dan biologis, hanya dianggap sebagai penghias sementara yang tidak mengalahkan atau “mematikan” Tuhan dalam kehidupannya. Keabsolutan Tuhan tetap dimenangkan dalam hirarkhis orientasi tertingginya, sehingga dalam keseharian kehidupannya, keteguhan sebagai manusia beriman tidak tergoyahkan.

Saat magnet kebutuhan keduniawian (hedonisme), vulgarisme, dan kulturalisme mencoba hadir sebagai “berhala-berhala gaya baru” (era 4.0), yang bermaksud menguasai kesadaran moral, psikologis,  dan intelektualnya, maka dalam dirinya tetap menyala dan membara kekuatan ilahiah yang menangkal, mencerahkan, atau membebaskannya.

Fenomena di masyarakat, berhala-berhala era 4.0 telah membuat manusia kehilangan kecerdasan moral dan spiritualnya.  Sangat mudah ditemukan manusia-manusia yang menasbihkan kesibukan memburu karier, tak kenal lelah berkompetisi memburu harta, tak  merasa perlu doktrin keadilan, kejujuran,  kesamaan derajat, dan kemanusiaan untuk memuja produk iptek demi semata merelakan jadi mesin untuk memuaskan kepentiangan gaya hidupnya.

Manusia yang terjebak jadi pemuja berhala-berhala era 4.0 ini seperti gemar menyebar hoak dengan memanfaatkan medsos dan perburuan harta dengan cara korupsi, sejatinya adalah gambaran sosok yang kalah dan takluk, yang oleh agama disebutnya sebagai ”pecundang” (muflisuun), yang membuat hidupnya berada dalam keterpenjaraan keterhinaan.

Pakar hukum Islam Kontemporer Yusuf Qardhawi pernah mengingatkan, bahwa memenang teguh atau konsisten pada kebenaran dan kejujran (etika) di zaman sekarang ibarat memegang bara api. Tidak mudah orang menjalani hidup di jalan lurus akibat besarnya dan beragamnya duri yang mengujinya. Ada saja beragam pesona duniawi seperti kekuasaan yang menipu dan jelas jelas-jelas menawarkan sesuatu yang menjerumuskan, yang tetap diburu dengan cara-cara kotor.

Puasa punya kesejatian esoteris dalam bentuk memberikan kekuatan tambahan besar (istimewa) pada manusia, yang jika dijalani secara konsisten dan mengindahkan panduan moral, apapun tantangan yang menghadang dan hendak menerjang (menjerumuskan) perjalanan kehidupan, tidak sulit dilawan atau dikendalikannya.

Di dalam sanubari orang yang berpuasa, yang kesehariannya dijalankan dengan melafadzkan nama-nama Tuhan atau menjadikan “Tuhan” selalu hidup dalam dirinya, tentulah berbagai bentuk penyakit mentalitas dan gaya hidup permisif, konsumeristik,  atau berkecenderungan pada ”berhala-berhala baru” bisa secepatnya disembuhkan (dibebaskan). Manusia akan kembali menjadi makhluk, dan bukan sebagai ”Khalik” yang menasbihkan absolutisme dirinya sendiri.

Dalam puasa, manusia yang banyak berelasi vertikal (shalat malam) misalnya berarti berusaha maksimal menjalin dan menguatkan komunikasi dengan sang Pencipta. Komunasi demikian ini tentulah mampu mengairi kehampaan batin, menyeimbangkan jiwa yang labil, dan kestabilan emosi. Manusia yang terbentuk dengan cara demikian akan lahir menjadi pembebas diri dari keterjebakan dan “keterjajahan”  yang siap menjatuhkannya dalam ranah keterhinaaan berlapis-lapis.

Seiring dengan pembebasan diri itu, puasa juga mendidik manusia menjadi agen pembebas diantara  relung-relung kehidupan masyarakat yang sarat beban. Umumnya, manusia merasa sudah cukup pengabdiannya kepada Tuhan atau agama dengan kalkulasi matematis seperti dapat pahala besar, memperoleh balasan surga, dan disayang oleh Tuhan, padahal apa yang diperbuat sebenarnya masih kecil atau belum seberapa jika dibandingkan dengan besarnya karunia Tuhan yang diperolehnya.

Proyek keumatan ini membutuhkan stamina spiritual yang bebasiskan nilai-nilai kemanusiaan. Proyek riil kemanusiaan hanya bisa diatasi oleh manusia yang bisa mengedukasikan dirinya sebagai “khalifah” yang punya sensitifitas dan responsibilitas tinggi terhadap problem kerakyatan.

Banyaknya dan seringnya “bencana struktural” terjadi yang mengakibatkan lahirnya dan menguatnya berbagai bentuk beban negara seperti tak berujung dan kian komplikatif yang menyulitkan kehidupan masyarakat, adalah “arena juang” yang tidak boleh diabaikan, apalagi dieliminasikan oleh orang yang sedang berpuasa, apalagi kalangan elit kekuasaan.

Kecuali kalau mereka yang sedang berpuasa ini ternyata telah menjadi mesin kekuatan berhala era 4.0, yang bisa menyenangkan dan memuaskan kebutuhan biologis instan dan egoisme individual dan kelompok eksklusifnya secara kriminalistik. Nabi Muhammad SAW mengingatkan ”banyak orang yang berpuasa yang puasanya sia-sia, yakni mereka yang suka pada perbuatan palsu”.

Puasa yang kita jalankan akan kehilangan maknanya, jika proyek besar ”kemanusiaan” di masyarakat itu tidak tergarap atau berhasil ditransformasi secara maksimal. Puasa yang bermakna hanya bisa diraih manusia yang hidupnya tidak dikalahkan magnet hegemoni berhaya era 4.0 yang dibuktikan dengan melabuhkan transformasi pengabdian kemanusiaannya pada komunitas yang kehilangan keberdayaannya.

Membiarkan sebagian anggota masyarakat meregang nyawa akibat kelaparan, malnutrisi, berpenyakitan,  atau terbiarkan dirajam kesulitan mendapatkan hak pangan misalnya, sementara sebagian elit kekuasaan  asyik berpesta pora sambil menyebar hoak dengan pola pragmatisme dan kapitalisme yang sekali berbuka puasa bisa menghabiskan uang rakyat bernilai ratusan juta rupiah, maka kita layak digolongkan sebagai pendusta-pendusta agama atau ”pembohong atas nama Tuhan”.

Dalam tataran itu, puasa yang dijalankan bukan hanya gagal memasuki ranah esoterisme agama, tetapi juga gagal menjadi pembebas penyakit-penyakit social. Stigma sebagai pendusta agama merupakan identitas kotor yang menjatuhkan kredibilitas diri dan ajaran Islam, karena stigma itu membuat agama hanya berlaku di klas dan budaya formalitas, sementara esensi agama terdegradasi. (*)

 

*) Penulis: Abdul Wahid, Pengajar Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan Pengurus AP-HTN/HAN

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES