Kopi TIMES

Setelah Revolusi Mental Spiritual, lalu Menularkan Nur lewat Mudik

Selasa, 04 Juni 2019 - 19:15 | 132.71k
KH Miftachul Ahyar, rais Aam Syuriah PBNU
KH Miftachul Ahyar, rais Aam Syuriah PBNU

TIMESINDONESIA, JAKARTAKEPADA para mukminim dan mukminat, muslimin dan muslimat, shaimin shaimat, Nahdliyin Nahdliyat, kita telah menyudahi sebuah revolusi mental spiritual yang tanpa ada pengekangan-pengekangan dan pemaksaan, tapi tumbuh dari sebuah kesadaran, yaitu puasa Ramadhan. Yang kita harapkan dengan puasa bisa menemukan jatidiri kita. 

Karena kalau kita ingin mengetahui siapa kita, puasa harus bisa memahami arti puasa itu. Puasa adalah untuk melahirkan kembali identitas kita, siapa kita sebenarnya. 

Ada sebuah syair yang mengatakan, “Hai pelayan jasad sebelas bulan melayani jasad shingga kita lupa siapa kita. Dari barat ke timur, lebih banyak mengurusi jasad, urusan insaniyah kita kecil sekali, redup dan mungkin hilang.” 

Di Ramadhan ini sebulan penuh kita dimasukkan ke dalam sebuah candradimuka, pendidikan untuk menemukan kembali identitas kita, menuju kembali ke kemanusiaan kita, siapa kita ini. 

Sebulan saya kira merupakan pelatihan yang cukup dan itu tiap tahun datang. Coba angen-angen kembali. Selama ini seberapa ruginya dan seberapa ukurannya kerugian itu hanya karena dalam sebelas bulan itu kita melayani jasad, fisik kita. 

Padahal pelayanan kepada fisik, tidak ada keuntungan sama sekali. Kemanusiaan kita tidak akan semakin menguat, justru kerugian yang ada, yang kita dapatkan selama ini. 

Dalam sebuah syair dikatakan, adakah kamu mencari sebuah keuntungan dari sebuah pelayanan yang hanya sebuah kerugian yang didapatkan. 

Kepada para pemudik, dalam bahasa Arab, ada bahasa yang dekat dengan kata mudik yaitu adhaa yudhiu artinya menyia-nyiakan. Itu adhaa kalau pakai 'ain di akhir. Kalau pakai hamzah artinya adhaa artinya menyinari. 

Karena kerja di Jakarta lama, mudik, dihabiskan, foya-foya, senang-senang, unjuk kekayaan. Tapi ada juga yang pulang, menularkan, nur, cahaya. Dia sebagai pemudik orang yang menerangi. Itu seharusnya. 

Karena apa? Puasa itu tidak main-main. Suatu amalan yang di samping Allah yang akan menangani balasannya karena setan tak menunggangi amalan puasa ini. Nah, itu, jadi dan itu adalah sebuah revolusi mental spiritual untuk kita mengenali diri kita siapa kita sebenarnya. 

Mudah-mudahan mudik kita semua ini mudik yang dalam rangka menularkan kebaikan-kebaikan, penerangan-penerangan, ada semacam pencerahan di daerah-daerah kita, di tanah kelahiran kita, di desa-desa kita. 

Insyaallah kalau itu bisa kita lakukan puasa ini menjadi puasa yang sukses, bukan puasa yang sering terjadi, bahkan rasulullah mengatakan, banyak orang yang berpuasa, dia tidak mendapat pahala dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga. 

Berati sering terjadi puasa datang, kelaparan masal, kehausan massal tidak dengan nilai, karena puasanya puasa yang hampa. Saya kira semua perlu belajar berpuasa. Yang ucapannya sama dengan tak beda, ngomongnya bohong, ucapannya kasar, barangsiapa yang berpuasa, tapi tak meninggalkan kebiasaan jeleknya, Allah tidak butuh puasa orang seperti itu. 

Selamat Idul Fitri, kembali kepada fitrah kita menyamakan menganggap sama dengan yang lain. (*)

* Penulis adalah KH Miftachul Ahyar, rais Aam Syuriah PBNU.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES