Kopi TIMES

Memaknai Sekolah Gratis

Rabu, 12 Juni 2019 - 16:11 | 216.81k
Moh. Syaeful Bahar (FOTO: TIMES Indonesia)
Moh. Syaeful Bahar (FOTO: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa menepati janji politiknya. Tak lama setelah dilantik sebagai Gubernur Jawa Timur, Khofifah mengeluarkan kebijakan pendidikan gratis bagi siswa SMA dan SMK negeri di Jawa Timur terhitung tahun ajaran baru 2019/2020. Kebijakan ini sesuai dengan janji politik Khofifah ketika kampanye di pemilihan Gubernur Jawa Timur tahun lalu.

Kebijakan ini sudah dianggarkan melalui APBD Jawa Timur di tahun 2019. Praktis, kebijakan ini dapat direalisasikan sejak tahun ajaran 2019/2020. 

Hal yang menjadikan kebijakan ini semakin menarik adalah ide sistem solidaritas yang diusung oleh Gubernur Khofifah. Bahwa mereka yang telah memiliki kemampuan untuk membiayai sekolahnya secara mandiri, tidak perlu menggunakan bantuan dana APBD melalui program Sekolah Gratis. 

Saya kira, sistem solidaritas ini dapat menjadi stimulan bagi siswa atau orang tua siswa yang dinilai mampu, untuk memberikan kesempatan lebih luas bagi mereka yang memang tidak beruntung, tidak mampu secara ekonomi mengakses bantuan dari dana APBD Jawa Timur.

Apresiasi dan dukungan atas kebijakan ini mengalir deras. Cerdas, tepat, jitu dan solutif. Demikian pujian yang disampaikan oleh banyak pihak pada kebijakan Gubernur Khofifah. Saya sendiri sangat senang dengan kebijakan ini. Meskipun dengan catatan-catatan. 

Tulisan ini adalah sebagian dari catatan-catatan yang saya maksud.

Sekolah Gratis; Tanggung Jawab Negara

Sebenarnya, pendidikan gratis memang menjadi tanggung jawab negara. Terdapat dua tanggung jawab dasar yang melekat pada negara, terkait pendidikan. Pertama, negara bertanggungjawab menyediakan dan menfasilitasi penyelenggaraan pendidikan bagi warga negara. Kedua, negara bertanggungjawab membiayai pendidikan bagi warga negara. 

Tak tanggung-tanggung, tanggung jawab ini tertulis dengan jelas di UUD 1945 hasil amandemen. Tepatnya pada pasal 31 UUD 1945.

Akses untuk mendapatkan pendidikan adalah merupakan hak setiap warga negara. Negara wajib memenuhi hak tersebut. Menyelenggarakan dan menyediakan fasilitas pendidikan serta membiayai pendidikan dasar adalah merupakan bentuk pelayanan dasar yang wajib negara sediakan (public service obligation). 

Pendidikan setara dengan kesehatan. Sama-sama merupakan pelayanan dasar. Kedua-duanya adalah merupakan ukuran (indikator) tentang maju tidaknya sebuah negara, sebuah daerah. Jika pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan telah baik, maka hampir dipastikan, sebuah negara atau sebuah daerah akan memiliki raport baik pula. Misal, dalam ukuran IPM (indeks pembangunan manusia), kesehatan dan pendidikan memiliki posisi sangat menentukan.

Hampir bisa disimpulkan bahwa, tak akan pernah ada masyarakat yang maju (developed society), ketika tak ada masyarakat yang terdidik (educated society). Pendidikan adalah kata kunci. 

Oleh karena itu, semua negara dan atau semua daerah, akan berlomba-lomba meningkatkan pelayanan pendidikan untuk warganya. Tujuannya, pasti untuk meningkat kualitas sumber daya manusia di negara atau daerah tersebut.

Namun, untuk mewujudkan masyarakat terdidik bukan hal mudah, penuh tantangan dan rintangan. Misal, salah satu problem yang biasa muncul di setiap negara atau daerah adalah kesempatan yang sama, merata bagi semua warga, apalagi, bagi sebuah negara atau daerah yang tak memiliki sumber dana yang cukup kuat, maka, problem kesempatan yang sama bagi warga negara atau warga daerah untuk mengakses pendidikan yang berkualitas menjadi masalah yang pelik.

Padahal, jika mengutip pendapat Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan asal Brazil, bahwa kesempatan mengakses pendidikan adalah hak semua warga negara. Pendidikan harus diberikan kepada siapapun, tanpa mengenal diskriminasi. Pendidikan tidak boleh hanya untuk mereka yang berada di posisi elit dalam status sosial masyarakat, dan mengenyampingkan kelompok alit.

Karena itu, pemerataan pendidikan menjadi perlu ditegaskan dalam sebuah kebijakan. Secara teoritik, konsep pemerataan pendidikan mencakup dua aspek, equality dan equity. Aspek equality menekankan pada persamaan hak untuk memperoleh pendidikan, sedangkan aspek equity bermakna keadilan dalam memperoleh pendidikan yang sama (James S. Coleman, 1966).

Saya kira, kebijakan pendidikan gratis yang diteken oleh Gubernur Khofifah adalah salah satu ikhtiar untuk mewujudkan kesempatan yang sama dan serta sebuah wujud ikhtiar memberikan keadilan bagi masyarakat Jawa Timur. Tentu, selain berupaya mewujudkan amanat UUD 1945 pasal 31.

Pendidikan Gratis Jangan Jadi Bumerang

Kesimpulannya, kebijakan Pendidikan Gratis adalah ikhtiar yang sangat cemerlang, dan kita, masyarakat Jawa Timur, wajib mengawal dan mendukung kebijakan ini, tentu dengan tetap bersikap kritis dan proporsional.

Sebagai sebuah kebijakan, Pendidikan Gratis tak lepas dari celah yang dapat mendistorsi tujuan pendidikan sendiri. Beberapa hal yang penting dicatat dan dijaga agar kebijakan ini tak menjadi bumerang adalah, di antaranya; pertama, semangat dan tanggungjawab orang tua (wali murid) dapat tereduksi. Karena sekolah gratis, para orang tua tak lagi memiliki konsentrasi yang tinggi terhadap hasil pendidikan anak. Orang tua menjadi lengah, bahkan bisa acuh karena merasa tak rugi, tak ada yang hilang, jikapun kualitas pendidikan anaknya tak baik. Sebagian orang tua akan berkesimpulan bahwa tak masalah tak berkualitas, toh semuanya gratis. Ini tentu bahaya, sangat berbahaya. 

Jila merujuk pada konsep segitiga pendidikan, posisi orang tua sama pentingnya, atau bahkan lebih penting dari posisi guru/sekolah serta masyarakat. Tanpa dukungan orang tua, hampir mustahil apa yang dibentuk oleh sekolah dan guru akan berhasil. Apalagi, jika ukuran keberhasilan pendidikan diukur dari indikator karakter siswa.

Kedua, semangat dan target capaian yang dimiliki oleh siswa. Karena sudah tak lagi diberi "beban" sukses dan berhasil dari orang tua, maka, semangat dan upaya siswa untuk berprestasi menjadi kendor. Para siswa terancam asal-asalan, asal sekolah, asal masuk kelas, asal lulus. Tak ada target capaian "berprestasi" yang mereka kejar, toh semuanya gratis. 

Ketiga, terangkai dari kasus yang pertama dan kedua, yang ketiga, yaitu semangat guru untuk memberikan yang terbaik untuk siswa juga terancam tereduksi. Sangat besar kemungkinan, karena tak ada lagi semangat dari orang tua dan siswa, semangat gurupun menjadi drop, turun tingkat. Toh, orang tua dan siswa tak menuntut yang tinggi, buat apa dibuat target yang tinggi, toh semuanya gratis. Kesimpulan-kesimpulan pendek semacam ini, bisa saja lahir dari para guru.

Nyatanya, problem pendidikan gratis juga dialami oleh berbagai negara, bahkan negara Maju seperti Jerman, Perancis dan Swedia. Meskipun, dengan problem yang berbeda-beda, namun pemicunya dipercaya adalah kebijakan pendidikan gratis.

Untuk itu, agar supaya kebijakan Pendidikan Gratis yang telah dicanangkan oleh Gubernur Khofifah ini berjalan sesuai maksud mulianya, maka, semua pihak, terutama orang tua, masyarakat dan sekolah terus menerus menjaga ghirah (semangat) untuk menjaga kualitas pendidikan.

Salah satu caranya adalah menjaga komunikasi dan mau berkolaborasi untuk bersama-sama mengawal proses pendidikan yang berkualitas. Terbuka untuk saling memberi dan mengisi tentang bagaimana seharusnya pendidikan tetap berjalan dalam semangat  ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani

* Penulis, Moh Syaeful Bahar, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Bondowoso

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES