Kopi TIMES

Mahkamah Konstitusi: Gawang Demokrasi Indonesia

Senin, 17 Juni 2019 - 12:27 | 65.67k
ASIP IRAMA, Ketua Himpunan Aktivis Milenial Indonesia, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, (Foto: Moh Aidi/Times Indonesia)
ASIP IRAMA, Ketua Himpunan Aktivis Milenial Indonesia, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, (Foto: Moh Aidi/Times Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Jamak dipahami, Indonesia adalah negara berlandaskan pada hukum yang dikenal dengan istilah rechtstaat atau the rule of law. Karena itu, Negara Indonesia dibentuk bukan sekadar berdasar pada kekuasaan belaka (mochtaat). Sementara, hukum yang berlaku harus terumus secara demokratis sehingga dapat dikehendaki dan diterima oleh rakyat. Kenyataan inilah yang mensyaratkan keharusan dan ketundukan semua warga negara terhadap hukum yang berlaku.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang menganut trias politica, hukum ditegakkan oleh lembaga yudikatif. Lembaga ini secara fungsional berperan sebagai kontrol jalannya roda pemerintahan, tentu dengan menjadikan hukum sebagai acuan fundamental. Melalui pemahaman ini, seluruh persoalan dan perselisihan yang berkaitan dengan hukum harus juga diselesaikan melalui prosedur hukum. 

Setiap persoalan yang menyangkut variabel hukum harus diselesaika melalui kelembagaan hukum. Sengketa hasil Pilpres 2019, misalnya. Menempuh jalur hukum merupakan jalan terakhir bagi kandidat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Dalam konteks ini, lembaga yudikatif yang bertugas untuk mengadili ialah Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun, alih-alih mempercayai prosedur hukum, kontestasi politik 2019 diwarnai dengan sikap acuh terhadap penegak hukum. Bahkan, kuasa hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi secara implisit menuduh Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah Kalkulator. Tentu, pernyataan ini merendahkan martabat Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga formil negara.  

Kritik supaya MK tidak hanya menjadi Mahkamah Kalkulatur bukan perkara baru ihwal bagaimana MK memutus sengketa hasil pemilu. Ada banyak contoh yang bisa dijadikan cerminan, utamanya mengenai keputusan perselisihan hasil pilkada.

Kritik yang menyebut Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah Kalkulator didasari pada seringnya mahkamah penting ini menggunakan paradigma pembuktian yang sifatnya menghitung ulang perolehan suara (kuantitatif) ketimbang konstitusionalitas penyelenggaran pemilu. Sehingga, memunculkan hasil pemilu yang kemudian disengketakan di MK (kualitatif).

Singkatnya, boleh disebut bahwa perdebatan antara Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah Kalkulator dengan Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution sekaligus sebagai the guardian of democracy  telah hadir sejak lama. Namun faktanya, seiring waktu Mahkamah Konstitusi telah banyak memutus perkara perselisihan hasil pilkada yang melampaui batasan agar tidak sekadar menjadi 'Mahkamah Kalkulator' untuk menegakkan keadilan dalam pemilu.

Demikian itu bisa kita lihat, misalnya, dari putusan Mahkamah Konstitusi nomor 41/PHPU.D-VI/2008 pada perkara perselisihan hasil pilkada Jawa Timur. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Kontitusi menyatakan bahwa lembaganya tidak bisa dipasung oleh bunyi undang-undang. Akan tetapi, harus berpijak dan menggali rasa keadlian dengan senantiasa berpegang tehung pada makna substantif dari undang-undangnya tersebut. Putusan di atas, mempunyai keterkaitan erat dengan proses penegakan hukum pemilu.

Gawang Konstitusi

Dalam konteks Pilpres 2019, pasangan Prabowo-Sandiaga Uno melakukan gugatan hasil Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mengklaim bahwa telah terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Sebagai lembaga yang berdiri atas dasar prinsip konstitusional, MK dapat menerima klaim kubu Prabowo-Sandi soal dugaan terjadinya kecurangan TSM selama ada bukti yang legitimate. Namun, selama tidak ada bukti dan hanya sebatas asumsi, maka MK dapat menolaknya. Pada titik ini, kita dapat menarik benang merah bahwa dikabulkannya gugatan tergantung pada kekuatan bukti yang dibawa saat persidangan.

Sebagai lembaga yudikatif, Mahkamah Konstitusi tidak hanya hadir untuk memutus sengketa Pemilu. Lebih dari itu, Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan tujuan mulia: 'gawang' demi menjamin konstitusi sebagai hukum tertinggi agar dapat ditegakkan. Sebelum dibentuknya Mahkamah Konstitusi, produk legislatif seburuk apapun tetap berlaku tanpa ada koreksi. Sebab, produk legislatif bisa dipengaruhi oleh kepentingan tertentu pembentuk untuk menyimpang dari undang-undang dasar.

Atas dasar itu, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang (judical review). Konsep judical review sendiri adalah hasil dari perkembangan pemerintahan demokratis yang didasarkan pada ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental right).

Di samping melakukan judical review, wewenang Mahkamah Konstitusi ialah memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengkata pemilu, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan wakil presiden.

Dengan demikian, tuduhan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah Kalkulator tampak hanya sebagai sikap untuk merendahkan marwah lembaga ini. Padahal, dalam memutus perkara, Mahkamah Konstitusi tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Stigmatisasi negatif terhadap Mahkamah Konstitusi juga bisa diartikan sebagai pengejawantahan dari ketidakpercayaan pada lembaga hukum di Indonesia. Hal ini memendam bahaya laten yang dapat berdampak buruk bagi iklim demokrasi  serta dapat mengacaukan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Proses persidangan sengketa hasil Pilpres 2019 di MK tidak hanya berguna pada penuntut, tetapi juga bagi pasangan terpilih. Bagi pasangan terpilih, jika keputusan MK tetap menyatakan menang, maka akan menambah legitimasi dan menghapus bayangnan keraguan dari isu kecurangan.

Dengan begitu, keputusan MK yang bersifat final dan mengikat menjadi potongan puzzle yang penting untuk melengkapi proses demokrasi di Pilpres 2019. Karenanya, semua pihak harus menghormati proses hukum di MK.  Kita yakin, para hakim di Mahkamah Konstitusi adalah seorang negarawan dan mempunyai integtitas yang kuat. Meraka  pasti mendengar suara murni mayoritas rakyat bangsa ini sebagai satu-satunya dasar untuk mengambil keputusan.

Tugas masyarakat tentu terus mengawal proses persidangan agar berjalan secara transparan dan adil. Langkah tersebut adalah wujud penghormatan kepada lembaga hukum dan proses demokrasi. Tidak ada partisipasi terbaik dalam demokrasi kecuali dengan menghormati konstitusi dan menjalankan tertib sosial. Semoga.(*)

*) Penulis, ASIP IRAMA, Ketua Himpunan Aktivis Milenial Indonesia

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES