Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Kebangkrutan Warga Desa

Selasa, 25 Juni 2019 - 15:03 | 51.26k
Zainal Muttakin, Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Publik Universitas Islam Malang. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)
Zainal Muttakin, Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Publik Universitas Islam Malang. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – ADA penanda sidang sengketa Perolehan Hasil Pemilihan Umum mereda. Nafas melega. Lalu seorang dokter mancanegara ikut duduk semeja. Dan bertanya, Setelah Pemilu 2019 selesai, anda mau kerja di mana?

Namanya juga dokter mancanegara. Apa yang ia tanyakan pasti bercabang. Mengalir ke mana-mana. Maklumlah, di Indonesia lapangan kerja agak langka. Maka, jawaban saya harus masuk akal. Akhirnya, dengan penuh percaya diri saya jawab, Saya mau pulang kampung. Balik ke desa. Gotong royong membersihkan jalan desa. Membenahi Musholla.

Dia diam tertegun. Lalu bertanya lagi, Mengapa anda tidak menetap di Jakarta?

Bagi saya Jakarta sudah luar biasa. Biarlah yang lain bekerja di sini. Saya memilih pulang. Bekerja di desa. Toh sebagian Pulau Jawa juga menggelar karpet kuasa. Melakukan pemilihan kepala desa. Saya punya tanggung jawab besar di sana. Tanpa ragu saya menjawab.

Sebuah langkah yang tepat. Semoga harapan anda dimudahkan. Sukses selalu buat anda. Tambahnya.

Terima kasih banyak, Dok. Saya menimpal.

***

Hajatan pemilihan Kepala Desa memang pesta bermakna. Meski jauh dari Jakarta, hasilnya serantai dengan kualitas Nusantara. Tak jarang dijumpai narasi dari desa untuk Indonesia. Faktanya sejak empat tahun desa telah diberi perlakuan istimewa. Diselimuti anggaran leluasa. Ratusan hingga ribuan juta. Tujuannya, supaya berdaya. Masyarakatnya sejahtera.

Ihwal anggaran desa kadang berbuah malapetaka. Iktikad mulia berujung bencana. Kata Indonesian Corruptions Watch (ICW), tahun 2018 korupsi anggaran desa menjadi lima besar penyumbang terbesar kerugian uang negara. Apa tidak gila?

Tindakan penggelapan uang negara merata. Selalu terjadi. Di mana saja. Padahal ajakan preventif dan pemberantasan kurang apa. Setiap detik. Setiap menit. Setiap jam. Setiap hari. Setiap saat. Mengemuka. Tapi, aneh juga. Mengapa masih tega. Merugikan keuangan negara.

Bagi Sumartini politik uang seni memperoleh kemenangan di perebutan kekuasaan. Seringkali menjamur  kala drama kontestasi diperagakan. Maka, absah. Korupsi dana desa berkaitan dengan pemilihan kepala desa. Rentan terwujud karena kontestan menggalang jual beli suara. Meminta warga menukar hak pilihnya dengan angka. Bukan dengan cita-cita.

Politik uang dilarang. Tidak boleh dibiarkan. Berbahaya bagi warga. Desa seharusnya ditanami pendidikan politik berharga. Harga yang mereka patok bukan karena nominal angka. Warga mesti mengedepankan rasa logika terarah. Membangun pemilihan penuh makna hingga menghasilkan pemimpin berkualitas. Bila tidak, percuma kita berteriak mengutuk kerugian negara. Semua upaya menyelamatkan desa sia-sia. Kebangkrutan warga desa karena politik uang itu nyata. (*)


*) Penulis: Zainal Muttakin, Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Publik Universitas Islam Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin
Sumber : TIMES Malang

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES