Foto

Museum Wayang Beber Sekartaji: Menghidupkan Pancasila Melalui Seni

Minggu, 02 Juni 2024 - 10:57 | 34.28k

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Indra Suroinggeno, pendiri sekaligus kepala Museum Wayang Beber Sekartaji, tampak sibuk mempersiapkan acara Merti Wayang Beber Pancasila. Dengan rambut panjang yang diikat kain hitam, senada dengan kaos dan kain yang melilit pinggangnya, Indra wira-wiri di depan museum yang ia inisiasi sejak tahun 2017.

Di atas panggung yang terletak di halaman parkir, berbagai wadah berisi sesaji dan ubarampe sudah tertata rapi. Sebagai seorang pemimpin, Indra bertanggung jawab memastikan semua persiapan berjalan lancar sebelum acara dimulai pada Sabtu (1/6/2024) pukul 10.00 WIB.

Sementara itu, di jalan depan museum, anak-anak sudah duduk di atas terpal biru sejak pagi, asyik menggambar dan mewarnai pola Pancasila. Lomba mewarnai dan menggambar ini adalah salah satu rangkaian acara Merti Wayang Beber Pancasila, yang juga mencakup kirab dan pertunjukan reog. Pementasan wayang beber sendiri akan berlangsung hingga tengah malam.

Saya tiba di Padukuhan Kanutan sejak pukul delapan pagi untuk menyaksikan kirab Merti Wayang Beber Pancasila. Tahun ini adalah kali kedua acara ini diadakan, bertepatan dengan peresmian Pusat Pelestarian Bhineka Tunggal Ika Kampung Pancasila, yang juga digagas oleh Indra Suroinggeno. Peresmian ini ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih.

Museum Wayang Beber Sekartaji didirikan pada tahun 2017 dengan masterpiece wayang beber Pancasila. Menurut Indra, wayang beber Pancasila mengisahkan cerita dari Lontar Kakawin Sutasoma yang selaras dengan sila-sila dalam Pancasila.

Indra menjelaskan bahwa kisah pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa," menggambarkan Tuhan yang tidak bisa dibayangkan dengan ego manusia. Kisah ini menceritakan masa kecil Sutasoma yang mencari tahu siapa Tuhan dan belajar bahwa Tuhan ada dalam setiap senyuman dan perbuatan kasih.

Dalam kisah kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab," Sutasoma tumbuh dewasa dan menyadari bahwa masyarakat sekitarnya memiliki hukum adat yang berbeda-beda. Pada babak berikutnya, Sutasoma meninggalkan semua hal duniawi dan memahami bahwa segala sesuatu, besar atau kecil, harus bersinergi.

Kemudian muncul Sabdo Palon Nayagenggong yang memberikan "rembuk manunggal rasa," yang kemudian menjadi sila keempat, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan." Dengan wedaran ini, Sutasoma berpetualang memberikan pengajaran ke tempat-tempat lain.

Sila terakhir, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," diwakili oleh Sutasoma yang berada dalam bahtera di lautan dunia, memahami bahwa semua kasta sebenarnya satu dan mulia. Kesatuan ini menciptakan keadilan tanpa ketimpangan.

Wayang beber Pancasila juga menyoroti peran perempuan yang luar biasa di Indonesia. Indra menegaskan bahwa leluhur telah mencitrakan kehidupan yang ada di Nusantara dengan pesan untuk menjaga keharmonisan dan tidak memaksakan diri menjadi orang lain.

Pada babak terakhir, gambar anak-anak sebagai simbol generasi masa depan mengingatkan bahwa mereka akan menjadi pemimpin kita. Indra menekankan pentingnya kebijaksanaan di atas kebaikan dan kebenaran.

Padukuhan Kanutan mendukung kebhinekaan dengan nama-nama jalan yang berkaitan dengan jiwa Pancasila, seperti Jalan Pancasila, Jalan Proklamasi, Jalan Garuda, Jalan Merdeka, dan Jalan Darmaatmaja. Indra menekankan bahwa nilai-nilai Pancasila dijaga dengan baik di kampung ini, mengingatkan akan semakin memudarnya pengamalan Pancasila di luar sana.

Indra mengungkapkan bahwa dua tahun terakhir, Padukuhan Kanutan menjadi satu-satunya tempat yang menyelenggarakan acara Merti Wayang Beber Pancasila, bukan merti desa.(*)


Fotografer : Redaksi
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Adhitya Hendra
Reaksi Anda
KOMENTAR

FOTO LAINNYA

KOPI TIMES