Kopi TIMES

Ada Askab, Ada Papdesi, Ada Apa Banyuwangi Sebenarnya?

Senin, 20 Januari 2020 - 08:41 | 285.17k
Ainur Rizqiyah, mahasiswa Pasca Sarjana UIN Malang
Ainur Rizqiyah, mahasiswa Pasca Sarjana UIN Malang

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Konsep pemimpin berasal dari kata asing Leader. Atau kepemimpinan berawal dari kata leadership. Ahmad Rusli dalam kertas kerjanya, pemimpin dalam Kepimpinan Pendidikan (1999) menyatakan bahwa pemimpin adalah individu manusia yang diamanahkan memimpin subordinat (pengikutnya) ke arah mencapai matlamat yang ditetapkan.

Sedang Miftha Thoha dalam bukunya Perilaku Organisasi (1983 : 255), menyebut pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok tanpa mengindahkan bentuk alasannya.

Di dalam Al Quran, konsep pemimpin salah satunya disebutkan dengan istilah Khalifah. Kata khalifah sebagai kata yang menunjukkan pemimpin. Hal ini tercermin dalam Q.S. Shad (38) ayat 26. Dalam ayat tersebut, Allah menunjuk Dawud sebagai pemimpin di muka bumi dengan tugas untuk memutuskan perkara dengan adil dan tidak mengikuti hawa nafsu.

Selain dalam Q.S. Shad (38) ayat 26, Al Quran menyebut kata khalifah sebanyak 127 kali. Kata tersebut memiliki banyak makna. Namun dalam konteks ayat yang ditujukan kepada Nabi Dawud tersebut, orientasinya ditujukan kepada penguasa.

Berdasar beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan, pemimpin adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain dan diberikan amanah dalam memimpin suatu kelompok tertentu dengan memiliki tujuan serta bekerja bukan berdasarkan ego pribadi, tetapi untuk kebaikan bersama.

Sebagai masyarakat yang hidup di negara demokrasi, pastinya kita perlu memiliki kriteria seorang pemimpin ideal yang harapannya dapat membawa kebaikan untuk kemaslahatan bersama. Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang mampu membawa misi kelompoknya ke arah yang baik dan tetap teguh merangkul semua anggota kelompok.

Dalam sebuah artikel yang berjudul ‘Ciri-ciri Karakter Pemimpin yang Ideal dan yang Tidak Ideal’ disebut bahwa terdapat 7 karakter utama pemimpin ideal. (1) Pemimpin yang Cerdas, (2) Pemimpin yang Berinisiatif, (3) Pemimpin yang Bertanggung jawab, (4) Pemimpin yang Dapat Dipercaya, (5) Pemimpin yang Jujur, (6) Pemimpin yang Rela Berkorban, (7) Pemimpin yang Dicintai dan Mencintai Kelompoknya.

Selain itu John C. Maxwell, dalam bukunya yang berjudul ‘Indispensable Qualities of a Leader’ juga menjelaskan ciri-ciri yang penting dan harus dimiliki agar seorang pemimpin bisa sukses membawa anggota timnya menuju kesuksesan. Di antaranya ada Karakter, Kharisma, Komitmen dan Komunikasi.

Dari berbagai rujukan diatas, seorang pemimpin sudah selayaknya dan sepatutnya dapat memiliki beberapa kriteria sebagai pemimpin yang ideal. Karena jika tidak, kebijakan yang diambil akan membawa dampak buruk bagi kelompok maupun wilayah yang dipimpinnya.

Disini kenapa penulis membahas terkait pemimpin yang ideal, karena saat ini penulis sedang mengalami keresahan terhadap konflik pemimpin yang ada di Kabupaten Banyuwangi. Kampung halaman sekaligus tanah kelahiran.

Beberapa hari ini di media massa baik cetak maupun media online beredar kabar tentang sebuah konflik yang melibatkan dua organisasi Kepala Desa (Kades) se-Bumi Blambangan. Dua organisasi tersebut adalah Asosiasi Kepala Desa Banyuwangi (Askab) dan DPC Persatuan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (PAPDESI) Banyuwangi.

Mirisnya, konflik tersebut ‘ujug-ujug’ muncul pasca Musyawarah Kabupaten (Muskab) Askab, yang menghasilkan ketua baru, periode 2020-2025. Yakni Anton Sujarwo, Kades Aliyan, Kecamatan Rogojampi.

Yang cukup menggelikan ketika dicermati, Ketua DPC Papdesi Banyuwangi, yang mendadak eksis tersebut adalah Kades Gumirih, Kecamatan Singojuruh, Murai Ahmad, mantan Ketua Askab sebelumnya. Atau dengan bahasa gampangnya, Murai Ahmad ini adalah senior Anton Sujarwo, dalam kepemimpinan Askab.

Dan yang nyaris membuat seluruh masyarakat Banyuwangi, mengernyitkan dahi, masing-masing perwakilan pengurus Askab maupun Papdesi, yang pastinya sama-sama Pak Kades, malah memberikan statement yang saling membenarkan dan menyudutkan. Tak main-main, perang urat syaraf tersebut dilakukan melalui media, baik cetak maupun online. Akhirnya masyarakat pun jadi bingung, harus bangga, tertawa atau dicuekin saja.

Hal itu menurut hemat penulis tidak sepantasnya dilakukan, mengingat mereka adalah pemimpin didesanya masing-masing. Yang seharusnya bisa memberikan contoh yang baik dan bisa menjadi pelopor persatuan dan kesatuan negara yang dalam unit terkecilnya adalah desa.

Tentunya, akan ada dampak kurang baik jika hal tersebut tidak segera diakhiri, baik secara individu, kelompok. Apalagi tahun ini adalah jelang Pemilihan Bupati (Pilbup) Banyuwangi. Karena bisa saja dimanfaatkan oleh oknum dan kelompok yang memiliki kepentingan tidak baik.

Lagi-lagi, penulis juga harus kembali berdoa. Semoga konflik yang mencuat bukan karena adu kuat guna menarik simpati para pihak yang berkepentingan dalam pemenangan salah satu kandidat dalam kontestasi Pilbup Banyuwangi, mendatang.

Sebagai generasi muda dan akademisi, penulis ingin agar organisasi Askab dan DPC Papdesi Banyuwangi segera melakukan pertemuan dan duduk bersama agar konflik yang saat ini berlangsung tidak berkepanjangan. Selain itu, di atas sudah dijelaskan bahwasanya sebagai pemimpin yang ideal salah satunya adalah pemimpin yang dicintai dan mencintai kelompoknya. Maka dari itu perlu dibuktikan dengan tindakan dan bagaimana menyelesaikan konflik ini dengan cinta. (*)

*) Penulis adalah Ainur Rizqiyah, Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Malang

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES