Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Kita dan Matshushita

Senin, 17 Februari 2020 - 14:58 | 95.74k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA), Pengurus AP-HTN/HAN dan Penulis sejumlah buku Terorisme.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA), Pengurus AP-HTN/HAN dan Penulis sejumlah buku Terorisme.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Ketika kita menjadi pilar negara, tentulah idealisasi belajar kita bukan pada Nicollo Machiavelli, sang penggagas teori “het doel heiling de middelen” (segala macam cara digunakan, asalkan keinginannya tercapai), melainkan pada setiap sosok manusia dari kalangan manapun yang hidupnya diabdikan untuk “memberikan yang terbaik” pada bangsa, negara, dan umat manusia. Diantara sosok ini adalah Konosuke Matshushita.

Konosuke Matshushita, seorang pendiri dan pemimpin bisnis raksasa kelas dunia Group Matshushita, di samping dirinya adalah seorang entrepreneur dan pendidik, ternyata ia juga seorang filsuf yang sangat popular. Ia telah menulis sebanyak 46 judul buku, mulai tahun 1953 hingga 1990. Di akhir hayatnya, ia menyumbang 291 juta US Dollar dari kas perusahaan untuk kepentingan kemanusiaan. Ia meninggal pada usia 94 tahun.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Motto bisnisnya (Konosuke Matshushita) adalah “life isn’t only for bread” atau hidup bukanlah sekedar untuk sepotong roti. menarik prinsip yang diajukan Matshushita ini,  bahwa hidup bukanlah sekedar untuk memburu dan mendapatkan sepotong roti. Apa gunanya hidup jika hanya demi untuk sepotong roti? Apa enaknya sepotong roti digunakan sebagai tujuan utama kehidupan?  Betapa tidak berartinya hidup seseorang jika hanya sekedar menjadi pemburu yang ujung-ujungnya berebut sepotong roti?

Persoalannya, mengapa dalam hidup ini, masih demikian banyak manusia yang mengerahkan segenap kemampuannya, berani terlibat friksi berdarah, meramu dan mengobral fitnah dimana-mana, atau kehilangan sakralitas dalam pola hidupnya, hanya gara-gara sibuk berburu dan ingin mendapatkan sepotong roti?

Sepotong roti adalah bagian dari jenis makanan atau menu yang memang sering dikonsumsi oleh manusia, baik dari kalangan anak-anak maupun dewasa. Bahkan di Negara-negara Barat misalnya, roti ditempatkan sebagai makanan favorit, konsumsi istimewa, atau menu berstrata elitisme.

Meski begitu posisinya sepoting roti, tidaklah lantas “sepotong roti” tidak  layak dijadikan sebagai  pengingat peran sakralitas setiap pilar negara. Bagi Matshushita,  “sepotong roti” ini sejatinya secara filosofis ditafsirkan seabagai jabatan (kekuasaan), sehingga jika memang “sepotong roti” ditempatkan sebagai kebutuhan utama yang dikejar atau sekedar diduduki tanpa makna, maka derajatnya tujuan hidup bermasyarakat dan berngara menjadi terjagal.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Kalau hidup hanya demi “sepotong roti”, maka hal itu layak diidentikkan, bahwa seseorang yang sedang mendapatkan amanat kekuasaan menggadaikan hidupnya tidak lebih dari harganya “sepotong roti”, atau apa yang dicari, dikumpulkan, dan dipuja-pujanya terbatas memenuhi kebutuhan perut, mengikuti irama selera, atau terjebak dalam konsumerisme dan aksesorisme struktural, sementara yang lebih hakiki, atau setidak-tidaknya  perut bangsa, kebutuhan pangan rakyat, dan kemaslahatan publik lainnya terabaikan dan dikorbankan.

Dalam tafsir lain diingatkan, bahwa memburu dan menghegemoni “sepotong roti” sebagai representasi dari menikmati menu asasi yang mengenyangkan dan memuaskan yang identic dengan “menidur-pulaskan” makna tanggungjawab pada aktifitas kehidupan yang lebih makro. Ketika perutnya sendiri yang kenyang misalnya, sibuk dalam konsumerisme dan hedonisme, atau berkejaran dengan waktu secara permanen demi kebutuhan perut, rasanya sikap cerdas dalam membaca kemaslahatan bangsa menjadi terkikis.

Dalam kondisi sebagian  rakyat masih belum seluruhnya berdaya dan sejahtera secara ekonomi seperti sekarang ini, khususnya di zona pinggiran dan pedalaman, tidak sedikit kita temukan gaya hidup anggota masyarakat, khususnya elemen strategis negara yang diperbudak oleh pencarian kepentingan duniawi dan pemborosan sumber-sumber konsumsi secara spektakuler dengan alasan “mumpung lagi berkuasa” . 
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Terkadang, mereka jadikan anatomi tubuhnnya sebagaimana layaknya tong besar yang diisi, disuapi, dan dimasuki berbagai jenis makanan secara liberalistik. Mereka ”eksploitasi” dirinya dengan berbagai model gaya memenuhi kebutuhan ekonomi yang mencerminkan ambisi besar dan keserakahan yang tidak mengenal titik nadir.

Lucunya, saat NKRI terusik atau terancam terkoyak akibat ada sedikit perlawanan atau ”pemberontakan” dari zona pedalaman atau pinggiran, elit negara yang sibuk menikmati ”sepotong roti” (kelezatan kursi), dengan santainya memainkan politik verbalitasnya. Mereka menyebut, kalau kinerja inteljen perlu ditingkatkan, nasionalisme masyarakat kecil belum mapan, atau ada kekuatan asing yang sedang ”bermain api”, dan berbagai bentuk apologi yang bersifat  restoratif  politik esklsusif.

Sudah demikian sering kita saksikan gaya berdalil yang asal mendalihkan NKRI sedang terancam oleh golongan yang tak puas pada negara, padahal  dirinya sebagai ”rasul” negaralah yang mengakibatkan tumbuh suburnya prustasi, kekecawaan, atau sikap paranoid seseorang atau sekelompok orang di masyarakat.

Mereka itu idealisasinya mereevaluasi, bahwa sejatinya sumber kriminogen yang bisa merekahkan NKRI itu beragam, diantaranya bisa berasal dari dirinya yang kurang serius menunjukkan kecintannya pada dan demitanah air.

Pemilik modal besar seperti Matshushita telah memberikan pelajaran, bahwa di samping hidup manusia atau elemen negara itu tidak seharusnya menahbiskan dan mengabsoutkan perburuan ”sepotong roti” sebagai hak, juga berkewajiban mengabdikan segala kemampuan atau keunggulan yang dimilikinya untuk membebaskan segala bentuk beban yang menyulitkan rakyat.

Kecerdasan dan kearifan elemen elit negara itu bisa diukur dari dimensi komitmen pengintegrasian kesahihan struktural dan kemanusiaannya. Tidak layak disebut sosok elit yang arif dan cerdas kalau hidupnya hanya diabdikan demi membesarkan dan mengenyangkan partai, kroni, keluarga, dan perutnya sendiri.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Tidak akan pernah mencuat dan menguat gerakan anti NKRI sepanjang elemen negara ini benar-benar menunjukkan kinerja berbasis nasionalisme. Selama rakyat di wilayah pinggiran tetap dipinggirkan dan rakyat di pedalaman belum terawat dengan ”pemanusiaan” maksimal, maka identitas NKRI akan tetap terancam sepanjang hidup pertiwi ini.

***

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA), Pengurus AP-HTN/HAN dan Penulis sejumlah buku Terorisme.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*)Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES