Kopi TIMES

Buku dan Fakta yang Tak Pernah Berdusta

Kamis, 20 Februari 2020 - 07:36 | 60.39k
Ferika Sandra, Mahasiswa Jurusan Perpustakaan dan Ilmu Informasi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
Ferika Sandra, Mahasiswa Jurusan Perpustakaan dan Ilmu Informasi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Kebebasan berpendapat yang dibatasi secara terstruktural, sistematis dan masif pada masa orde baru tentunya menjadi pengalaman pahit bangsa ini. Tidak hanya kebebasan berpendapat dalam hal pemikiran saja, bentuk kebebasan berpendapat dimuka umum dengan membuka mimbar bebas ataupun aksi turun kejalan juga mendapat tindakan represif.

Ironisnya bentuk pembatasan dalam kebebasan ini juga masuk keranah literasi. Puncaknya pelarangan buku marak terjadi pada masa orde baru menambah catatan buruk terhadap kebebasan intelektual masyarakat. Bukan sekedar rumor saja bahwa pembatasan kebebsan berpikir seseorang selalu dibatasi kala itu.

Fakta dilapangan sejak zaman orde baru upaya-upaya penerbitan tulisan yang dianggap “kiri” selalu menjadi momok bagi pemerintahan.

Alasannya pun tak logis, selalu yang diutarakan dengan dalih keamanan negara serta mengancam ideologi bangsa dan merusak nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme.

Kala itu, tak sedikit ditemukan kasus pembredelan, pelarangan, hingga pembakaran buku yang notabene merupakan hasil pemikiran setiap orang dalam mengkritisi keadaan pemerintahan. Namun tulisan tersebut justru dianggap berbeda oleh pemangku kebijakan orde baru.

Dampaknya beratus-ratus eksemplar buku karya penulis terbaik di Indonesia dengan pemikiran yang dianggap tabu malah menjadi korban. Akibatnya keberadaan buku tersebut menjadi hantu menakutkan bagi pemerintah yang berkuasa. Pun begitu, faktanya kini buku tersebut justru menjadi rujukan mahasiswa baik dalam maupun luar negeri.

Ruang Gerak Terbatas

Penulis mencotohkan  buku-buku milik sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang sempat dicap sebagai buku terlarang, dibredel hingga dibatasi peredarannya. Untungnya meski kebebasan terampas hingga diasingkan di Pulau Buru namun hal tersebut justru tak membuat daya kepenulisannya meredup. Walakin kita kini bisa menikmati karya monumental tetralogi buru.

Idealnya kebebasan berpikir yang dibatasi tentunya sangat menyalahi hak manusia untuk berkembang dan berpikir secara leluasa. Maraknya pelarangan buku yang terjadi justru membatasi ruang gerak dan pengetahuan seseorang untuk berbagi pandangan dam gagasan. 

Padahal, seharusnya setiap orang bisa mengakses segala macam bentuk informasi untuk menambah pengetahuan mereka. Namun realitas dilapangam berbeda, alih-alih menambah khasanah ilmu pengetahuan. Masyarakat justru dipenjarakan intelektualnya dengan pelarangan buku yang dianggap membahayakan.

Dewasa kini, meski pelarangan buku tidak semasif masa dulu, namun upaya-upaya ketakutan akan bangkitnya hantu komunis selalu menjadi bahan pemberitaan dibelbagai media. Pun tak semasif dulu, namun minat dan ketertarikan generasi saat ini akan buku menjadi hal yang perlu ditelisik kembali.

Jika era dulu banyak pembaca menyembunyikan buku yang dilebeli berhaluan kiri dengan memberikan sampul kertas kalender. Kini justru upaya-upaya pembacaan karya tersebut sepi peminat. Bahkan tak sedikit perpustakaan besar yang memiliki banyak sumber referensi justru sunyi senyap.

Angin Segar Teknologi

Meski tak bisa dibandingkan generasi dulu dengan saat ini dengan pesatnya kemajuan teknologi. Namun seharusnya ada linieritas yang bisa ditarik garis lurus yang bisa diaplikasikan agar  adanya teknologi juga bisa menjadi angin segar dalam dunia literasi negeri ini. Termasuk kunjungan perpustakaan yang idealnya meningkat dengan berbasis aplikasi.

Berbicara perpustakaan, kebebasan seseorang dalam mencari dan mengolah berbagai macam informasi tanpa dibatasi juga merupakan salah satu tugas seorang pustakawan. Pada sebuah perpustakaan ideal sudah menjadi hal yang wajib untuk menyediakan berbagai macam sumber informasi. 

Michael Gorman ahli pustakawan dunia dalam buah pikirannya yang terkenal dengan istilah New Five Laws of Library Sciencen perlu menjadi telaah tersendiri. Utamanya point keempat yaitu “protect free access to knowledge” yang berarti melindungi segala macam bentuk kebebasan intelektual. 

Bahwasannya perpustakaan yang menyediakan sumber informasi tidak memiliki hak untuk melarang dan membatasi kebutuhan informasi pembaca. Pustakawan juga memiliki kewajiban memberikan segala macam pelayanan dengan baik walaupun terkadang tidak sesuai dengan individu mereka.

Terhasut tidaknya seseorang terhadap infomasi yang dianggap kiri merupakan keputusan dari setiap orang yang menentukan seperti apa sikap yang akan diambil. Meminjam adigium Pram bahwa 'seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan'. (*)

*)Penulis: Ferika Sandra, Mahasiswa Jurusan Perpustakaan dan Ilmu Informasi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES