Kopi TIMES

Polemik RUU Omnibus Law, Gaya Bercinta Urusan Negara?

Selasa, 25 Februari 2020 - 13:11 | 148.02k
Fadhlir Ramdhani, (Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang). (Grafis: TIMES Indonesia)
Fadhlir Ramdhani, (Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang). (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Polemik RUU Omnibus Law sedang ramai dan menjadi pebincangan hangat di hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia. RUU Omnibus Law merupakan suatu rancangan undang-undang yang dibuat khusus untuk memayungi sejumlah undang-undang yang sudah ada sebelumnya.

Power yang dimiliki oleh Omnibus pun bukan hisapan jempol semata, bedanya dengan Undang-Undang lain yang sudah ada yaitu Undang-Undang yang terdahulu hanya fokus membahas satu masalah dalam satu Undang-Undang saja. Sedangkan Undang-Undang omnibus law sendiri ia bersifat mengatur banyak hal dalam satu Undang-Undang.

Saat omnibus law ini disahkan maka undang-undang ini akan menjadi satu-satunya acuan, dan dapat mengalahkan undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Itulah kenapa Undang-Undang ini sering disebut sebagai Undang-Undang sapu jagad dengan kekhususannya yang dapat menyapu bersih Undang-Undang yang sudah ada sebelumnya dan menyasar sejumlah
isu-isu besar yang sedang terjadi

Pasalnya kehadiran undang-undang ini juga disebut-sebut akan mengatasi sejumlah masalah yang ada di tanah air, mulai dari penyederhanaan perizinan investasi, penciptaan lapangan kerja, menuntaskan isu kemanusiaan.

Namun dalam prespektif  kritis yang berbeda jika kita melihat lebih dalam lagi, hadirnya  rancangan undang-undang ini juga memiliki kesan bahwasanya pemerintahan yang bertajuk negara demokrasi ini semakin menggiring kita kepada arah pemerintahan yang sentralistik, dan negara yang otoriter karena adanya omnibus law ini sama halnya dengan status dan wewenang negara berada pada puncaknya "superior", berarti sama dengan negara kuat masyarakat lemah.

Lebih menukik mengenai RUU Omnibus Law yang menjadi payung atas seluruh Undang-Undang, dalam kontra rasional terhadap polemik RUU Ketahanan Keluarga lebih tepatnya dapat kita pertanyakan realisasinya ketika nanti RUU ini telah disahkan oleh DPR. Pertama perkara
penindakan terhadap orang yang melanggar aturan-aturan yang sudah diatur didalam RUU baru ini. Seperti dalam pasal 85 dan 86 yang mengatur tentang pelarangan Bondage Discipline Sadism and Masochism (BDSM) atau kekerasan seksual dalam rumah tangga.

Berikut pernyataan singkat mengenai beberapa pasal dalam RUU Kontroversial salahsatunya pasal 85 dan 86 tentang (BDSM). "ya diatur, kalo enggak diatur jangan sampai kekejaman seksual dalam rumah tangga akan terus terjadi" penjelasan mengenai pasal kontroversi dalam RUU Ketahanan Keluarga oleh Anggota  komisi lll DPR RI dari fraksi PAN sekaligus pengusul RUU ketahanan Keluarga Ali Taher Parasong (KOMPAS.com)

Kembali pada proses penegakan hukum di beberapa pasal yang diatur dalam RUU baru ini pasal 85 dan 86 yaitu bagaimana nanti cara pihak yang berwajib dapat mengetahui dua orang pasangan yang melakukan BDSM pada saat kedua orang tersebut menyepakati untuk melakukan hal itu?
Karena jika berbicara tentang RUU berarti secara tidak langsung harus ada upaya pencegahan yang patut dilakukan lalu bagaimana pencegahan tersebut dilakukan?

Bila hanya menunggu laporan yang masuk tentang kekerasan dalam hubungan seks antar pasangan, itu sifatnya terlalu naif dan samahalnya seperti membiarkan kejahatan seksual itu terus terjadi tanpa mengetahui proses pencegahan dan pengentasannya.

Selain itu bagaimana nanti nasib single mother atau seorang istri yang merawat dan membesarkan anak-anaknya seorang diri. Karena dalam RUU Ketahanan Keluarga ini juga mengatur tentang peranan wanita yang dirasa memperpanjang budaya patriarki di bangsa ini.

Peranan wanita di tekan habis-habisan seperti yang dipertegas dalam RUU Ketahanan Keluarga pasal 25 ayat 3 yang dimana seorang suami yang bertindak sebagai kepala rumah tangga dan istri wajib mengurusi rumah tangga. Hal ini terkesan diskriminatif untuk kalangan wanita yang statusnya adalah single mother.

Karena pada saat keadaan finansial keluarga terguncang lalu siapa yang akan beperan untuk mencari nafkah demi sesuap nasi untuk kehidupan hidup sehari-hari

Seperti yang ada dalam pasal 25 RUU Ketahanan Keluarga yang berisikan 3 poin yang terlalu menyempitkan peranan wanita hanya sampai pada lingkup domestik keluarga saja yaitu; (a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya), (b. menjaga keutuhan keluarga; serta) (c. memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama dan ketentuan perundang-undangan)

Oleh sebab itu daripada hanya mengurusi gaya bercinta sepasang orang seperti ini yang sifatnya privat dan bukan barang umum untuk dibahas di khalayak ramai, alangkah baiknya negara sebagai entitas utama suatu bangsa terutama dalam menjalankan roda pemerintahan lebih berfokus kepada pengentasan kemiskinan, KKN, dan krisi air bersih yang makin marak terjadi ditanah air. (*)

***

*) Oleh: Fadhlir Ramdhani, (Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki
Sumber : TIMES Malang

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES