Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Pesan Mao Tze Tung

Selasa, 25 Februari 2020 - 12:10 | 69.22k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA).
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Mao Tze Tung pernah memberikan pelajaran berharga pada politisi dunia, bahwa “politik itu perang tanpa mengeluarkan darah, dan perang itu politik yang menuntut ongkos darah”.

Tokoh pembaharu Cina itu mengingatkan kalau di dalam jagad politik itu rawan permainan, kompetisi, dan laga bersuhu panas menegangkan, yang mengisyaratkan bisa menghadirnya terjadinya suatu peperangan dahsyat yang mengorbankan banyak pihak, ada yang ditumbalkan, menumbalkan diri, atau dikorbankan habis-habisan.

Dalam ranah politik yang diadagiumkan oleh Tung itu,  jelas politisi yang ikut dalam permainan bukan hanya pandai berakting, bikin skenario, dan tunjukkan kepiawaiannya, tetapi juga bisa jadi “penyamun” profesional, yang mempolitisai atau merekaysa peran-perannya yang bertolak belakang dengan aspirasi rakyat, yang menggunakan sumberdaya rakyat secara “tidak halal”.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Logikanya “para penyamun” bisa datang dari manapun, khususnya yang berelasi dengan kekuasaan. Ketika seseorang sudah berani merebut atau diberi amanat untuk memanggul kekuasaan, maka dirinya harus “rela” distigma publik sebagai subyek berniscayakan menjadi “penyamun”.   

Dimanapun kekuasaan diamanatkan, disanalah sumber “bencana” bisa bermunculan, baik yang berhubungan dengan diri, anak, istri, suami, atau kerabat lainnya, maupun yang berhubungan dengan kepentingan rakyat.

Kepentingan rakyat itu bisa saja “dibahasakan” sebagai kepentingan paling manis dan memikat seiring dengan dahsyat dan eksklusifitasnya kepentingan seseorang atau sekelompok orang yang sedang terbuai dalam pertarungan memperebutkan dan memapankan kekuasaan.

Di antara salah satu aktor atau kekuatan politik yang benar-benar mampu menempatkan ajaran Tung sebagai “madzhab” nya adalah para kandidat yang bermaksud merebut kursi di ranah Pilkada, karena aktor ini cukup piawai memainkan peran politisasi yang bisa saja berujung mengorbankan atau menumbalkan  kepentingan strategis rakyat.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kita sudah demikian sering disugi kasus dimana para kandidat pemimpin, yang tiba-tiba berurusan dengan hukum akibat “pemanfaatan” sumberdaya yang bukan menjadi sumberdayanya sendiri.

Ketika masih Orde Baru, Sosiolog kenamaan asal UGM, Loeqman Sutrisno (almarhum) pernah  menempatkan jaringan “tikus” kekuasaan itu sebagai penyebab lahirnya dan menguatnya negeri ini menjadi “republik drakula” (republic of vampire), karena mulai dari jabatan yang paling rendah hingga yang paling tinggi (di lingkaran lembaga strategis negara) telah dijadikan ajang atau pestanya komunitas vampir yang bernafsu memperkaya diri dan memapankan kekuasaannya tanpa mempertimbangkan berlakunya etika, agama, dan sumpah jabatan dengan cara berlomba saling menghisap, menyedot, dan menguliti kekayaan rakyat.

Kekayaan rakyat yang dipercayakan kepada negara telah menjadi obyek yang rawan penyimpangan, karena orang-orang yang mendapatkan amanat mengontrol, mengendalikan, dan “membaca”nya dengan nurani lebih disibukkan membangun koalisi atau praktik-praktik bercorak jaringan mafioso struktural.

Kalangan politisi pemburu dan “pelestari” kekuasaan lebih disibukkan mencari celah-celah politik yang bisa digunakan sebagai kendaraan untuk meningkatkan taraf hidupnya, memacu syahwat mengisi pundit-pundi kekayaan, atau sibuk berkolaborasi dengan kekuatan “tertentu”, yang ditargetkan bisa memenuhi dan memuaskan kepentingan ekonominya

Dalam Buku yang ditulis Eko Prasetyo berjudul ‘Kejahatan Negara diceritakan, bahwa ada anggota dewan yang baru satu tahun atau belum lama “berselancar di Senayan:, tiba-tiba sudah punya kekayaan miliaran rupiah, padahal sebelum merebut dan menduduki kursi itu, dirinya tergolong hidup jauh dari mapan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Adanya dugaan publik yang bersifat miring pun sangatlah wajar, mengingat mereka secara eksplosif dan instan bisa menjadi orang kaya baru (OKB) atau orang kaya mendadak (OKM). Selain bergaji besar, mereka ini juga diduga terlibat dalam skandal, mafia, atau jaringan yang berafiliasi simbiosis mutualisme, saling menguntungkan dan diuntungkan, sementara rakyat diposisikan sebagai golongan terpuruk dan menempati strata sebagai masyarakat yang dikalahkan (losser community). Dugaan ini menjadi tidak sepenuhnya salah saat sejumlah elitis “dipaksa” berurusan dengan hukum sebagai bagian dari “sang penyamun” atau sosok yang terlibat dalam penyulapan kepentingan rakyat.

Kekayaan itu bisa diperolehnya dengan cara memperbanyak agenda politik, yuridis, dan ekonomi, memproduk masalah mudah bangsa menjadi sulit, dan merekayasa yang sulit menjadi bagian dari proyek politik mission imposible-nya. Rajinnya memproduk aktifitas ini berharga mahal, karena dalam setiap aktifitasnya selalu dibuatkan payung hukum untuk membenarkan pos anggaran, yang besarnya irasional dan tidak manusiawi jika disandingkan dengan kondisi ekonomi rakyat yang masih puluhan juta dam kondisi sedang kehilangan keberdayaannya ini.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES