Kopi TIMES

Sumpah dan Distorsi Demokrasi

Sabtu, 14 Maret 2020 - 09:38 | 104.48k
Abdul Wahid.
Abdul Wahid.

TIMESINDONESIA, MALANG – Merefleksi rezim Orde Baru (Orba), terdapat banyak “luka” di dalamnya, khususnya praktik penyelenggaraan kekuasaan atau pemerintahan yang menciptakan distorsi demokrasi. Secara verbalitas, para elitnya sibuk menyampaikan kosakata demokrasi dalam relasinya dengan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan, padahal sejatinya tidak demikian. Manajemen kekuasaannya lebih dominan memanjakan peran elitis sebagai “pemilik” kekuasaan, sementara rakyat tidak lebih dari penoton yang terkondisikan menerimanya dengan “merana”.

Penyelenggaraan pemerintahan, termasuk pemerintahan di daerah yang terjerumus dalam penyimpangan tersebut telah mengakibatkan problem serius dalam kehidupan demokrasi di negara ini. Hak-hak rakyat yang tidak terkawal atau terlindungi dengan baik oleh kekuatan hukum telah menjadikan hak-hak rakyat rawan dan gampang dikorbankan oleh keserakahan elit kekuasaan.  Negara hukum akhirnya hanya menjadi suatu konsep ideal “di atas kertas”, tetapi jauh dari keberpihakan kepada rakyat.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dapat terbaca misalnya tentang realitas pemerintah di daerah layaknya “preman-preman struktural” yang kehilangan nuraninya, karena dengan gampang melakukan penggusuran dan perampasan hak rakyat atas tanah miliknya.

Di rezim itu, konsep demokrasi yang sejatinya menjanjikan model pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat  hanya ada dalam konsepsi yang kehilangan makna (meaningless), tetapi tidak terwujud di dalam realitasnya. Hal inilah yang layak disebut sebagai pelanggaran terhadap demokrasi. Pelanggaran terhadap demokrasi ini sebagai bentuk pencemaran moral pula terhadap kewibawaan Indonesia sebagai negara hukum.

Cita-cita membangun negara yang kuat dengan dukungan pemerintahan yang bersih, diantaranya melalui kekuatan elemen legislatif, dalam hal  ini DPRD jelas sekali menjadi kebutuhan mendasar bagi masyarakat dan negara, karena  DPRD merupakan elemen utama yang sudah mengikatkan dirinya dalam kontrak moral, yuridis, dan politik dalam penyelenggaraan demokrasi. Penyimpangan yang terjadi di rezim Orba seharusnya tidak perlu terulang di rezim reformasi ini, karena di rezim ini DPRD adalah mitra kekuasaan dengan eksekutif, dan bukan sebagai “warga kelas dua”  

Sekarang, di rezim reformasi ini, seharusnya perubahan-perubahan mendasar, kalau tidak dibilang radikal sudah mendesak atau bahkan sangat “darurat” dilakukan oleh semua komponen negara ini, karena  rakyat sudah sangat mendambakan perubahan yang lebih  cepat.

Rakyat sudah cukup lama hidup dalam kesulitan, seperti kesulitan ekonomi, kesulitan memperoleh pendidikan yang layak, kesulitan mendapatkan pekerjaan, dan lainnya. Akumulasi kesulitan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, karena dapat memicu dan memacu timbulnya kerawanan-kerawanan sosial, yang justru potensial mengancam perkembangan demokrasi di Indonesia.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Salah satu subyek demokrasi yang pernah melakukan pelanggaran di rezim Orba terhadap demokrasi adalah DPRD. Unsur legislatif di tingkat local ini pernah menjadi kekuatan yang turut menciptakan distorsi demokrasi degan serius, sehingga demokrasi layak disebut gagal menjadi  kekuatan moral politik bernegara yang ideal. 

Dalam ranah teoritis, demokrasinya tetap ideal, namun dalam realitas penyelenggaraan kekuasaan hanya dalam wacana, artinya dalam realita terbatas dijadikan simbol-simbol penyelenggaraan kekuasaan supaya terlihat sebagai pengabdi negara yang setia mengemban misi penegakan demokrasi.

Di era reformasi ini, secara yuridis DPRD telah diberikan kedudukan yang lebih strategis baik dalam tugas, fungsi, dan kewajibannya.  Strategisnya tanggungjawab ini wajar seiring dengan besarnya hak-hak yang diberikan oleh negara kepadanya, khususnya dalam hal kesejahteraan.

Di awal menempati posisi, DPRD sudah diingatkan secara moral mengenai tanggungjawabnya dalam menegakkan demokrasi dan membangun pemerintahan yang bersih mrlalui  sumpah yang yang diucapkannya dengan lantang  dalam kalimat berikut: :"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota (ketua/wakil ketua) Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya;bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan;bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara;bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia."  

Sumpah tersebut merupakan suatu perikatan moral politik kenegaraan, bahwa DPRD punya tanggungjawab  besar dalam membangun demokrasi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government).

Secara religiusitas, siapapun yang menduduki kursi di DPRD, punya tanggungjawab dalam relasinya dengan amanat Tuhan dan rakyat. Demokrasi yang dijalankan (dijaga) atau diwujudkan merupakan produk jihad kekuasannya yang berimplikasi dengan banyak kepentingan istimewa, khususnya di ranah pembaruan kehidupan rakyat di segala sektornya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Rakyat yang diwakilinya, karena telah memilihnya dalam Pemilu, idealnya merupakan represntasi perjuanganya secara totalitas sebagai unsur penyelenggaraan kekuasaan di daerah. Sedangkan kekuasaan di daerah inilah yang menjadi cermin penyelengaraan kehidupan kenegaraan secara makro. Tinggal sekarang bagaimana DPRD mewujudkan sumpahnya dalam realitas tugas, kewenangan, atau peran-perannya.

 

*) Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Sejumlah Buku

*)Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

______________
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES