Tentang Alasan Korban Kekerasan Seksual Enggan Melapor Hingga Peningkatan Kasus

TIMESINDONESIA, MALANG – Tak bisa dipungkiri bahwa memang masih banyak korban kekerasan seksual yang enggan melapor kepada lembaga resmi, seperti pihak perguruan tinggi ataupun penegak hukum.
Merujuk pada survey Kemendikbud RI di tahun 2020, sekitar 77 persen kekerasan seksual terjadi di wilayah perguruan tinggi atau kampus. Lalu sekitar 63 persen korban kekerasan seksual ternyata enggan untuk melaporkan kasusnya.
Advertisement
Komnas Perempuan melalui Komisionernya, Dewi Kanti Setianingsih saat dihubungi TIMES Indonesia membeberkan beberapa hal alasan korban kekerasan seksual enggan untuk melapor.
Pertama, tentu sebagian besar korban kekerasan seksual ini merasa takut jika ia menceritakan atau melaporkan kasus yang ia alami. Korban takut malah dirinya akan dikucilkan oleh lingkungan sekitar dan mendapatkan stigma negatif.
"Korban ini kan sering dipersalahkan. Biasanya dengan peristiwa yang dialami itu dia sendiri takut bahkan untuk berbicara kepada keluarga terdekatnya sendiri," ujar Dewi, Minggu (12/12/2021).
Kemudian, lanjut Dewi, adapun perspektif penegak hukum seringkali memang tak berpihak kepada korban. Secara umum, ketika korban melaporkan kasusnya, penegak hukum tak punya keberpihakan kepada korban.
Lebih herannya, malah tuduhan yang dilakukan oleh penegak hukum kepada korban, atas dasar suka sama suka dan menganggap tak perlu dilaporkan.
"Tuduhannya, kamu itu memang suka sama suka, jadi kenapa mesti melapor. Seperti itu jadi perspektif penegak hukum sendiri tidak mau mendengar korban," ungkapnya.
"Ia (penegak hukum) tidak mau memahami psikologis korban dan kadang-kadang juga dalam pembuatan berita acara. Jadi lebih menekan pada korban gitu. Kurang pendekatan humanis," imbuhnya.
Tak hanya itu, fasilitas melalui laporan pada penegak hukum, dinilai sangat minim berbagai kasus kekerasan seksual bisa terselesaikan dengan tuntas.
"Ketika menempuh upaya hukum pun selalu dianggap kurang cukup bukti. Itu hambatannya kenapa korban tidak berani mengungkapkan kasusnya," katanya.
Kemudian, secara garis besar, kebanyakan korban memang tak mendapat dukungan penuh dari keluarga hingga lingkungan sekitar untuk bisa 'speak up' atau menyuarakan apa yang menjadi haknya atas kasus yang dialami.
Alasannya, hal ini pun hampir sama dengan wilayah perguruan tinggi atau kampus. Selain layanan pengaduan yang memang tak maksimal dan kebanyakan tak menyelesaikan masalah para korban secara tuntas.
Kebanyakan keluarga hingga perguruan tinggi pun pasti tidak menginginkan nama keluarga ataupun nama perguruan tingginya tercoreng akibat kasus kekerasan seksual jika disuarakan kepada masyarakat umum.
"Misalnya dia sudah mengalami pemerkosaan, ketika dia mencoba bersuara di lingkungan terdekat, seperti keluarga. Terkadang keluarga juga memvonis dia yang tidak menjaga pergaulan," tuturnya.
"Apalagi di dunia pendidikan. Seakan-akan bakal mencemarkan nama baik lembaga pendidikannya. Lalu di tempat kerja, sering diposisikan sebagai yang dipersalahkan, dikucilkan bahkan stigma negatif," imbuhnya.
Tentunya, alasan bagi para korban kekerasan seksual yang enggan melapor selain dari layanan yang memang kurang maksimal, stigma dari lingkungan korban berada hingga keluarga pun menjadi alasan utamanya.
"Kan masih ada selalu menjudge korban bahwa dia bersuara itu akan menghambat, mencoreng nama keluarga, mencoreng nama lembaga atau tempat bekerjanya," tegasnya.
Dengan itu, para korban kekerasan seksual ini, terkadang secara psikis juga mengalami trauma yang cukup hebat. Selain trauma atas peristiwa yang dialaminya, bertambah lagi trauma stigma-stigma negatif yang dimana terkesan merugikan banyak pihak.
"Secara psikis ya ada trauma takur mencemarkan nama baik keluarga di stigma sebagai perempuan yang tidak baik dan dikucilkan dari masyarakat hingga selalu dipersalahkan," bebernya.
Dengan itu, menurut Dewi, yang perlu ditingkatkan secara nyata adalah tenaga-tenaga konseling yang ada. Ketika keluarga terdekat tak bisa mendukung, tentu mau tidak mau, lembaga konseling lah satu-satunya jalan untuk memberikan penguatan secara psikologis kepada korban.
"Kami sendiri Komnas Perempuan juga terbatas. Yang tak bisa kita selesaikan kasus per kasus, tentu kita memberikan rujukan kepada lembaga di daerah. Jadi kita bermitra ke setiap daerah untuk memberikan konseling dan mendampingi korban," ujarnya.
Perlu diketahui, kejadian serupa pun akhir-akhir ini sering muncul melalui media sosial yang cukup viral dan menyita perhatian. Salah satunya adalah kasus yang menimpa almarhumah Novita Widyasari.
Novita dipaksa aborsi sebanyak dua kali oleh mantan kekasihnya yang kini telah mendekam dipenjara. Ia memilih harus mengakhiri hidupnya, karena memang tak mendapatkan support dari lingkungan sekitar.
Terlebih, melalui thread yang dibagikan melalui media sosial, pemaksaan aborsi tersebut pun juga dilakukan oleh keluarga mantan kekasihnya. Terlebih Novita pun tak mendapat dukungan dari siapapun dan hanya bisa bercerita melalui media sosial sebelum ia meninggal dunia.
Merujuk dari kisah Novita yang viral, tentu menjadi salah satu bukti bahwa kenapa aparat penegak hukum tak bisa melakukan tindakan secara tegas. Dari kasus tersebut pun, munculnya keviralan kisah Novita, aparat penegak hukum baru bertindak dan hal tersebut pun disayangkan oleh banyak kalangan.
"Banyak kekosongan ruang-ruang perlindungan akses keadilan untuk korban. Sehingga, mau tidak mau ini menjadi bom waktu," tandasnya.
Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia Meningkat Dua Kali Lipat Menurut Komnas Perempuan
Namun, melirik data dari Komnas Perempuan meski banyaknya alasan korban kekerasan seksual enggan melapor. Kini, justru kasus tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat.
Dewi membeberkan, data laporan kasus kekerasan seksual yang diterima oleh Komnas Perempuan peningkatan kasus dari tahun 2020 ke 2021 ini naik hingga lebih dari 100 persen.
Dari data 2020 di bulan Januari hingga November, ada sebanyak 2154 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan.
Lalu, di tahun 2021 ini, dari bulan Januari hingga November, ada sebanyak 5700an kasus yang telah diterima oleh Komnas Perempuan.
"Jadi selisihnya sampai 3500an. Saya kita ini juga jadi beban tanggungjawab bersama. Ketika kasus meningkat dan sistem layanan itu tidak disiapkan secara terpadu, maka hal ini sangat-sangat tidak memadai dan akan semakin meluas korban-korban lainnya," jelasnya.
Dengan tingginya kasus ini, sebenarnya bukan berarti punya cukup ruang untuk korban bisa melapor. Namun, kata Dewi, dari pola yang dipetakan, hampir seluruh korban awalnya tak berani melapor hingga akhirnya menyampaikan pengaduannya.
"Ini terkadang didampingi kerabat atau lembaga layanan. Dengan minimnya infratruktur layanan, setidaknya akses keadilan bagi korban harus lebih mudak," ucapnya.
"Maka dari itu, kami terus menerus mendorong pemerintah juga untuk segera pengesahan RUU PKS. Karena secara peraturan perundang-undangan, masih ada kekosongan hukum," imbuhnya.
Terakhir, itikad mulia bagi para korban kekerasan seksual yang melakukan pengaduan kepada Komnas Perempuan, sebagian besar mereka tak ingin ada kasus-kasus serupa menimpa perempuan lainnya.
Tak hanya ingin pelaku diberi sanksi berat, para korban kekerasan seksual ini tak ingin ada peristiwa terjadi seperti dirinya kepada orang lain. "Itu bagian yang betul-betul menguatkan dan kami hargai. Rata-rata suara yang ia sampaikan tidak ingin adanya keberulangan bagi korban lain," pungkasnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |