Gaya Hidup

Menilik Sejarah dan Makna Cap Go Meh di Kelenteng Eng An Kiong Malang

Senin, 06 Februari 2023 - 14:30 | 111.44k
Salah satu jemaat kelenteng melakukan sembahyang Cap Go Meh di kelenteng Eng An Kiong Malang (FOTO: Dinda Ayu Anggraeni/TIMES Indonesia) 
Salah satu jemaat kelenteng melakukan sembahyang Cap Go Meh di kelenteng Eng An Kiong Malang (FOTO: Dinda Ayu Anggraeni/TIMES Indonesia) 

TIMESINDONESIA, MALANG – Perayaan Cap Go Meh berlangsung meriah di Kelenteng Eng An Kiong Malang, Minggu (5/2/2023) kemarin. Kelenteng merupakan penyebutan tempat ibadah bagi umat “Tri Dharma” (Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme). Tidak hanya beribadah, para jemaat dan penduduk setempat juga turut datang menyaksikan sejumlah rangkaian perayaan Cap Go Meh.

Menurut sejarah, Cap Go Meh dimulai sejak abad ke-17 saat terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan. Semasa dinasti Han, raja secara khusus keluar istana untuk turut merayakan malam Cap Go Meh bersama dengan rakyatnya. Secara harfiah, Cap Go Meh berasal dari dialek Hokkian yang berarti malam ke-15 pada perayaan tahun baru Imlek (Xin Jia). 

"Kita memperingati sembahyang tanggal atau sembahyang Cap Go. Jadi setiap umat kelenteng kebanyakan pasti ada sembahyang di awal bulan tanggal 1 dan 15. Kalau di bahasa Hokkian, Ce It - Cap Go," tutur Kevin Christain Candra, Ketua Muda-Mudi Klenteng Eng An Kiong Malang. 

Jemaat melakukan ibadah di kelenteng sebagai bentuk permohonan keselamatan kepada Tuhan (Tian Gong) serta rasa syukur terhadap para dewa, malaikat maupun roh suci (Shen Ming) di tahun yang baru. 

"Sembayang tanggal 15 ini awal mulanya dari agama Ru (Rujiao) atau Konghucu yang mana fokusnya mengobservasi alam. Ketika tanggal 1, bulan belum menampakkan wujudnya namun di tanggal 15, bulan itu wungkul (penuh) atau purnama. Jadi, kita sembahyang ketika sebelum dan ketika puncak bulan purnama," ucap Kevin.

Cap-Go-Meh-di-kelenteng-Eng-An-Kiong-Malang-a.jpg

Kevin juga menjelaskan, sembahyang Ce It-Cap Go mulanya hanya ada di agama Konghucu sedangkan agama Buddha murni yang berasal dari India tidak melakukan ibadah ini. Akan tetapi terdapat agama Buddha yang berasimilasi dengan budaya sekitar Tiongkok. Aliran yang berasimilasi inilah yang turut melakukan sembahyang Ce It-Cap Go. Selain itu, masing-masing kelenteng memiliki keunikan dan ragam perbedaan dalam segi tata cara sembahyang maupun persembahan. 

"Rangkaian sembahyang bisa dikatakan setiap kelenteng memiliki budaya yang berbeda karena peribadatan ini sudah mengakar menjadi budaya di setiap kelenteng. Kalau di sini kita mempersembahkan jeruk bali, manisan, pisang, dan lain-lain. Di tempat lain bisa jadi berbeda. Yang jelas buah-buahan ini melambangkan permohonan. Kalau di bahasa Mandarin mengandung perlambang keberkahan, kebaikan, atau keberuntungan," lanjut Kevin. 

Tidak hanya keunikan ragam sembahyang, di masing-masing kelenteng juga memiliki dewa utama yang dijunjung tinggi. Dewa Fu De Zheng Shen merupakan dewa utama yang disembah di Kelenteng Eng An Kiong Malang. Dewa Fu De Zheng Shen diyakini dapat memberikan hoki, keberkahan, kekayaan dan kemakmuran. Mayoritas kelenteng yang memuja dewa Fu De Zheng Shen terletak di dekat pasar maupun pertokoan pecinan. 

"Tiap kelenteng yang disembah beda-beda, kalau di kelenteng Eng An Kiong Malang itu utamanya Fu De Zheng Shen. Fu itu kan artinya keberuntungan," ucap Samiran, salah satu jemaat di Kelenteng Eng An Kiong Malang. 

Selain beribadah dan berdoa ke dewa, perayaan Cap Go Meh di kelenteng Eng An Kiong juga diisi dengan kegiatan sosial seperti pemeriksaan kesehatan gratis dan pembagian lontong Cap Go Meh dengan penduduk setempat.

Masing-masing daerah memiliki keragaman dalam merayakan Cap Go Meh. Di Tiongkok umumnya merayakan festival ini dengan membawa lampion dan menyantap bola ketan. Berbeda dengan Indonesia khususnya di daerah Jawa, masyarakat etnis Tionghoa peranakan umumnya menyantap lontong Cap Go Meh. Makanan yang disantap ketika perayaan ini dimaknai sebagai perekat keluarga, saudara, dan rekanan. 

"Lontong Cap Go Meh, itu kan sesuai dengan tradisi Jawa, lontong kan masakan Jawa. Jadi misal kamu orang Tionghoa, juga tergantung dari daerah mana, bisa Hokkian atau Guangdong. Ada perbedaan, biasanya pakai ronde yang besar-besar. Namun tetap maknanya sama, berkumpul jadi satu," elas Samiran. 

Tidak hanya kegiatan sosial, ada juga kegiatan hiburan seperti pertunjukan barongsai dan kesenian wayang Potehi. Wayang Potehi merupakan wayang boneka yang terbuat dari kain. Kesenian ini berasal dari Tiongkok bagian selatan yang dibawa oleh perantau etnis Tionghoa yang datang ke Indonesia. Wayang Potehi sudah ada sekitar 3.000 tahun yang lalu dan telah mengalami akulturasi dengan budaya Indonesia. 

"Kalau kita lihat, pertunjukan ini sejatinya dihadapkan atau diarahkan ke dalam kelenteng. Pemaknaanya adalah wayang Potehi ini dipanggilkan untuk menghibur para dewa. Jadi seyogyanya wayang Potehi ini kita persembahkan untuk hiburan para Shen Ming atau dewa," kata Kevin. 

Selain pertunjukan wayang Potehi, ada juga pertunjukan barongsai, paduan suara, tari tradisional Cina hingga kesenian kaligrafi atau shufa. Setelah tiga tahun sempat absen dari kegiatan perayaan Cap Go Meh, Kevin mengaku pihaknya bersama bantuan dari umat sekolah Minggu maupun dari sie agama tertentu berinisiatif turut serta memeriahkan acara ini dan menyelenggarakan kegiatan lebih meriah dari tahun sebelumnya agar dapat berbagi kebahagiaan yang tidak hanya untuk internal jemaat kelenteng namun juga masyarakat sekitar. 

"Acara ini tidak hanya ditujukan untuk internal namun juga untuk masyarakat sekitar, dimana harapan besarnya adalah kita bisa membangun keharmonisan dengan saudara yang tidak seiman dengan kita. Jadi bisa dinikmati semua orang dan kita bisa bersuka cita bersama," tuturnya. (*) 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES