Kisah Kedai Namsun, Bangunan yang Menjadi Ikon Kampung Kayutangan Heritage

TIMESINDONESIA, MALANG – Sebagai kampung tematik dengan lebih dari 10 situs cagar budaya, Kampung Kayutangan Heritage memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke Kota Malang. Sejak disahkan sebagai Ibu Kota Heritage, Kayutangan memberikan lanskap sejarah dan budaya melalui arsitektur bangunan yang khas era kolonial Belanda.
Salah satu di antara situs-situs tersebut adalah Rumah Namsin atau yang saat ini dikenal dengan Kedai Namsun. Bangunan dengan gaya arsitektur Art Deco tersebut memiliki sejarah panjang sebelum akhirnya dipilih sebagai ikon Kampung Heritage Kayutangan.
Advertisement
Replika Rumah Namsin atau Kedai Namsun yang di pajang (FOTO: Nihrul Bahy Muhammad/TIMES Indonesia)
Jafferson, salah satu pemilik rumah ini mengatakan bahwa kakeknya merupakan tangan terakhir yang membeli bangunan ini.
“Dulu Cuma buat tempat tinggal. Tapi sempet lama kosong juga, 2016-an baru dicoba untuk diperbaiki. Dan baru jadi kedai di tahun 2022,” ungkap pria yang biasa disapa Jef ini.
Pertama kali memasukinya, akan terlihat kalau Kedai Namsun ini masih mempertahan keotentikan bangunan aslinya. Beberapa furnitur juga masih membawa nuansa rumah Belanda. Mulai dari lampu hias, lampu gantung, dan beberapa perabotan seperti kursi, meja dan lemari masih dipertahankan keasliannya.
Jaf menceritakan, kalau Rumah Namsin ini diperkirakan telah berdiri sejak 1915-1917-an, tapi belum diketahui dibangun oleh siapa dan digunakan untuk apa oleh pemiliknya.
Pada tahun 1924-1929 bangunan ini kemudian dibeli oleh Louis Cornelis Varhey, difungsikan untuk dealer motor. Beberapa merek yang dijual di antaranya Harley Davidson, Indian, Douglas, F.N, serta suku cadang mobil Ford.
Selanjutnya, pada tahun 1929-1932 bangunan ini dimiliki oleh Wolter William Ravenschlag, yang digunakan untuk toko piano bermerk Ibach.
“Mungkin karena krisis Malaise yang berlangsung pada tahun 1931, mengakibatkan bangunan tersebut dijual, dan akhirnya dibeli oleh Pieter Johan Van Doorene dari tahun 1931-1942,” terang Jef.
Saat di tangan Van Doorene itulah, menurut Jef, bangunan ini mengalami masa jaya-jayanya. Bangunan itu digunakan sebagai studio foto dan toko kamera. Pada nota yang ditemukan Jef, merk kamera yang dijual di antaranya seperti Fotax, Kodak, Agfa, dan Zeiss.
Namun, setelah Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, terjadi penangkapan dan penahanan warga Belanda oleh pemerintah Jepang. Bangunan ini pun dialihfungsikan untuk toko Tjwan Tjwan An.
“Saya sendiri belum tahu, nama pemilik toko tersebut dan berjualan apa.”
Baru pasca kemerdekaan, bangunan ini dibeli oleh Namsin, dan digunakan sebagai Toko Mesin Jahit Singer, Perancang Busana, dan Pabrik Es Comcom/es lilin.
“Itu berdasarkan keterangan warga sekitar, saya kurang tahu jenis es yang dimaksud. Tapi dari Es itulah, rumah ini dikenal sebagai Rumah Namsin karena merek Es-nya, Es Namsin.”
Baru pada 1970-an hingga saat ini, rumah yang beralamat di Jl. Basuki Rahmat No. 31 ini berpindah ke tangan Siho Ismanto/Suyono yang digunakan sebagai rumah pribadi di lantai atas, dan kedai di lantai bawah.
“Namsin artinya cahaya yang bersinar. Kemudian dimodidikasi jadi Namsun, yang artinya cahaya yang terus-menerus bersinar,” ungkap Jef.
Sementara alasan dipilihnya Rumah Namsin ini sebagai ikon Kampung Heritage Kayutangan, Jef mengaku karena bangunan ini yang menonjol di antara sekian rumah heritage di Kayutangan.
“Itu yang menawarkan Pak Candra, pemerhati budaya kota Malang, untuk menggunakan bangunan ini sebagai ikon," ucap Jef.
Pada masa-awal perumusan Kampung Heritage Kayutangan, Rumah Namsin ini dipilih sebagai ikon.
"Sekitar tahun 2017-2018,” ucap Jef. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |