Nyai Hafsah, Teladan Luhur di Balik Kejayaan Ponpes Zainul Hasan Genggong Probolinggo

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Di balik kejayaan Pondok Pesantren atau Ponpes Zainul Hasan Genggong, Kabupaten Probolinggo, ada sosok wanita yang tak hanya menjadi pendamping seorang ulama besar, tetapi juga menjadi pilar keteladanan bagi para santri dan masyarakat.
Beliau adalah Nyai Hj. Himami Hafsawaty, atau yang lebih dikenal sebagai Nyai Hafsah, istri dari KH Hasan Saifourridzall.
Advertisement
Sebagai seorang istri, ibu, pendidik, dan teladan, Nyai Hafsah dikenal dengan kelembutan, ketulusan, dan kebijaksanaannya. Dedikasinya dalam membangun dan membina pesantren membuat namanya terus dikenang hingga kini.
Takdir yang Telah Tertulis
Lahir pada 1936, Nyai Hafsah adalah putri dari KH Hadrawi Paiton, seorang ulama terkemuka yang juga sahabat KH Muhammad Hasan Sepuh Genggong. Sejak muda, takdirnya telah digariskan. KH Muhammad Hasan Sepuh pernah mengisyaratkan kepada KH Hadrawi,
“Saya sudah menikahi saudara sepupumu (Nyai Warsih), dan nanti Ahsan (nama kecil KH Hasan Saifourridzall) akan menikahi Hafsah.”
Namun, pada saat itu Nyai Hafsah sudah bertunangan dengan laki-laki lain. Tak disangka, hanya seminggu setelah pernyataan tersebut, tunangannya mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.
Peristiwa ini semakin menguatkan keyakinan bahwa Nyai Hafsah memang ditakdirkan mendampingi KH Hasan Saifourridzall, sebagaimana telah dikatakan KH Muhammad Hasan Sepuh, “Hafsah akan bersama Ahsan di dunia dan akhirat.”
Membangun dan Memperluas Pesantren
Pernikahan Nyai Hafsah dengan KH Hasan Saifourridzall menjadi awal dari kemajuan besar Pesantren Zainul Hasan Genggong. Bersama sang suami, beliau turut serta dalam pengembangan pesantren, baik dari segi perluasan tanah maupun pembangunan fasilitas.
Nama Pesantren Zainul Hasan diabadikan sebagai penghormatan kepada dua sosok utama:
1. Syaikh Zainal Abidin Al-Maghrabi – pendiri pertama pondok Genggong pada tahun 1839.
2. KH Muhammad Hasan Sepuh – ulama besar yang menjadi pelanjut utama pesantren.
Sejak wafatnya KH Muhammad Hasan Sepuh pada tahun 1955, KH Hasan Saifourridzall resmi menjadi pemimpin utama pesantren. Di bawah kepemimpinannya, pesantren semakin berkembang, termasuk dengan berdirinya pondok putri, yang berada di bawah bimbingan langsung Nyai Hafsah.
Dengan penuh kesabaran dan kelembutan, beliau membimbing para santri dalam beribadah, berjamaah, serta menanamkan akhlak santun dan penuh kasih sayang.
Kesetiaan dan Ketulusan Seorang Istri
Sebagai seorang istri, kesetiaan dan penghormatan Nyai Hafsah kepada KH Hasan Saifourridzall menjadi teladan bagi banyak orang. Beliau tidak pernah bertanya kepada sang suami, “Mau ke mana?” atau “Dari mana?”—sebuah bentuk kepercayaan dan penghormatan yang tinggi.
Bahkan, dalam berbagai kesempatan, beliau selalu menyambut suaminya pulang dengan penuh kelembutan.
Para sopir senior yang pernah melayani KH Hasan Saifourridzall menceritakan bahwa sering kali, saat kiai pulang larut malam, yang membukakan pintu adalah Nyai Hafsah sendiri, masih dalam balutan mukena, menandakan bahwa beliau baru saja selesai beribadah.
Ketika Nyai Hafsah wafat pada tahun 1990, KH Hasan Saifourridzall merasakan kehilangan yang begitu mendalam. Dalam dialek Madura, beliau pernah berkata,
“Mungkin seperti ini perasaan Rasulullah saat ditinggal wafat oleh Siti Khadijah.”
Perasaan kehilangan itu sering beliau ungkapkan dalam pidato-pidatonya, mengenang hal-hal kecil tentang sang istri, seperti makanan kesukaannya, hingga membuat para pendengar ikut larut dalam kesedihan.
Kelembutan dalam Mendidik, Kuat dalam Doa
Banyak kisah yang menggambarkan kelembutan dan kebijaksanaan Nyai Hafsah dalam mendidik para santri.
Suatu ketika, ada seorang guru tugasan dari pondok lain yang terkenal keras. Suatu hari, tanpa alasan yang jelas, ia menampar seorang santri putra di kelas. Dari balik jendela, Nyai Hafsah menyaksikan kejadian itu dan hanya berujar lirih, “Ya Allah, kok berani dia menampar santrinya Kiai Hasan Sepuh?”
Sikapnya yang penuh kasih sayang juga terlihat ketika ada seorang santri putri yang sakit tak kunjung sembuh. Orang tuanya datang memohon doa kepada Nyai Hafsah.
Setelah tamu itu pulang, beliau segera mengambil wudhu, mengenakan mukena, lalu menunaikan shalat dan berdoa khusus untuk kesembuhan santriwati tersebut. Tak lama, kondisi santri itu berangsur membaik.
Cara beliau menegur santri pun sangat halus. Pernah suatu malam, beberapa santri putri bernyanyi dengan suara lantang, membuat suasana pondok sedikit riuh. Bukannya menegur dengan keras, Nyai Hafsah justru mengirimkan kulak pisang melalui seorang abdi dalem dengan pesan,
“Nyai Hafsah kasihan sama kalian, takut kelelahan. Makan dulu, lalu istirahat.”
Para santri yang menerima kulak pisang itu sontak merasa malu dan tersentuh. Dengan cara yang lembut, Nyai Hafsah mengajarkan bagaimana menegur dengan penuh kasih sayang, tanpa harus melukai perasaan.
Meskipun telah berpulang, keteladanan Nyai Hafsah tetap hidup dalam ingatan para santri dan masyarakat sekitar. Kisah tentang kesabaran, keikhlasan, dan kebijaksanaan beliau menjadi inspirasi yang tak lekang oleh waktu. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |