
TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Menjelang lebaran 2025, pusat perbelanjaan di berbagai daerah mulai dipadati pengunjung. Di Probolinggo, Jatim, kondisi ini sudah terasa bahkan sejak sebulan sebelum Ramadan.
Chika, seorang pelayan Toko Diva Swalayan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, membenarkan lonjakan jumlah pembeli yang semakin meningkat, terutama pada akhir pekan.
Advertisement
"Di sini mulai ramai pengunjung sejak sebulan lalu sebelum Ramadan, dan sampai saat ini semakin bertambah, terutama di hari Sabtu dan Minggu," ujarnya sambil sibuk melayani pelanggan.
Lebaran dan Tradisi Berbelanja
Hari Raya Idul Fitri selalu identik dengan kebiasaan berbelanja. Mayoritas masyarakat berburu kebutuhan lebaran, mulai dari baju, tas, sepatu, hingga jajanan khas Idul Fitri. Tak hanya itu, tradisi memberikan angpao atau amplop berisi uang untuk sanak saudara yang lebih muda juga masih lestari.
Namun, bagi sebagian orang, tradisi ini bisa menjadi beban tersendiri, terutama bagi mereka yang mengalami masalah dalam ekonomi.
Gofal, seorang pengusaha pertanian di Kecamatan Krucil, tengah menghadapi situasi sulit akibat anjloknya harga bawang daun.
"Bulan ini harga bawang daun yang saya kelola turun drastis, dari Rp 14.000 menjadi Rp 4.000 per kilogram. Padahal bulan lalu masih di harga Rp 7.000," keluhnya.
Dengan harga yang terus merosot, penghasilan buruh tani di wilayahnya juga ikut terdampak. Saat ini, mayoritas pekerja buruh hanya menerima upah Rp 35.000 per hari, jumlah yang jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan lebaran.
Mudik, Halal Bihalal, dan Makna Lebaran
Selain berbelanja, tradisi lain yang tak terpisahkan dari Idul Fitri di Indonesia adalah mudik dan halal bihalal. Masyarakat berbondong-bondong pulang ke kampung halaman untuk bersilaturahmi dengan keluarga besar.
Gus Hafidzul Hakim Noer, pimpinan Majelis Selawat Syubbanul Muslimin, mengatakan, tradisi ini sebenarnya tidak ditemukan di negara-negara lain, termasuk di Yaman yang memiliki sejarah panjang dalam Islam.
Namun, maknanya tetap selaras dengan semangat Idulfitri, yaitu kembali kepada fitrah dan mempererat silaturahmi.
Terkait kebiasaan memakai baju baru saat lebaran, beliau menegaskan bahwa hal ini bukanlah kewajiban dalam Islam.
"Sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah memakai baju terbaik yang dimiliki, bukan harus membeli yang baru," jelasnya.
Meski demikian, Gus Hafidz menilai tidak ada salahnya jika seseorang ingin mengenakan pakaian baru sebagai bentuk penghormatan dan perayaan.
Begitu pula dengan tradisi menyuguhkan hidangan khas lebaran serta berbagi angpao kepada anak-anak kecil, yang pada dasarnya merupakan bentuk kebahagiaan dan kebersamaan.
Kembali ke Esensi Idul Fitri
Lebaran sejatinya bukan soal baju baru, makanan berlimpah, atau tradisi yang membebani. Esensi sejati Idul Fitri adalah kembali kepada kesucian, mempererat silaturahmi, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama.
Bagi yang mampu, membeli pakaian baru bisa menjadi simbol perayaan. Namun bagi yang tidak, mengenakan pakaian terbaik yang sudah dimiliki pun sudah cukup.
Pada akhirnya, Idul Fitri bukan tentang seberapa banyak yang bisa dibeli, tetapi seberapa tulus kita dalam berbagi dan memaafkan. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Muhammad Iqbal |
Publisher | : Rizal Dani |