Jelajah Taman Nasional Kutai: Menyusuri Warisan Hijau Kalimantan Timur

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di jantung Kalimantan Timur terbentang lanskap hijau yang menakjubkan: Taman Nasional Kutai (TNK). Kawasan konservasi ini lebih dari sekadar hutan tropis—ia adalah rumah bagi ragam flora dan fauna yang dilindungi serta saksi bisu dari perjalanan panjang pelestarian alam di Nusantara.
Salah satu pesona utamanya adalah kehadiran pohon ulin raksasa, si kayu besi Kalimantan, yang diperkirakan telah hidup selama lebih dari seribu tahun.
Advertisement
Ulin (Eusideroxylon zwageri) bukanlah pohon biasa. Ia tumbuh perlahan namun tangguh, menjadi simbol kestabilan dan keutuhan ekosistem hutan dataran rendah hingga kawasan perbukitan.
Menelusuri Jungle Park Sangkima, zona wisata alam yang ada dalam kawasan TNK, menghadirkan pengalaman petualangan menyegarkan.
Saat libur Lebaran, ratusan pengunjung memadati jalur trekking yang membelah hutan lebat. Dari loket tiket, pengunjung diarahkan oleh peta menuju jalur setapak yang dihiasi suara air sungai Sangkima, jembatan kayu ulin, dan rimbunnya pepohonan tropis.
Udara yang sarat aroma tanah dan dedaunan menyegarkan perjalanan. Puncak pengalaman itu adalah ketika berhadapan langsung dengan pohon ulin raksasa berdiameter lebih dari 2,5 meter. Ditemukan pada 1993, pohon ini terus tumbuh meski lambat, dan kini menjadi simbol abadi dari kekuatan dan ketahanan hutan Kutai.
Jalur trekking sepanjang lima kilometer menyuguhkan berbagai tantangan menarik, seperti Tanjakan Meranti dan Jembatan Sling yang bergoyang saat dilewati.
Titik-titik istirahat dan sebuah rumah pohon yang berdiri kokoh menawarkan sudut pandang menakjubkan dari ketinggian, memperlihatkan hamparan hijau hutan Kutai yang seakan tak bertepi.
Jejak Konservasi dalam Sejarah TNK
Jembatan Sling setapak yang menyebrangi sungai Sangkima pada Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Panjang trekking pada Sangkima Jungle Park di kawasan Taman Nasional Kutai sekitar lima kilometer. (ANTARA/Ahmad Rifandi)
Taman Nasional Kutai memiliki sejarah panjang dalam upaya pelestarian lingkungan. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda tahun 1932, kawasan ini ditetapkan sebagai Wildreservaat Koetai seluas dua juta hektare. Empat tahun kemudian, statusnya meningkat menjadi Suaka Margasatwa Kutai seluas 190.000 hektare, atas keputusan Kerajaan Kutai.
Kepala Seksi Pengelolaan TNK Wilayah I Sangatta, Budi Isnaini, menjelaskan bahwa perubahan status dan luas kawasan sepanjang dekade mencerminkan dinamika kebijakan tata ruang dan kesadaran konservasi yang terus berkembang. Pada 1982, TNK masuk daftar calon taman nasional, dan pada 1991 resmi menyandang status tersebut dengan luas 198.629 hektare.
TNK juga menjadi lokasi penting program reintroduksi orang utan, primata endemik Kalimantan yang terancam punah. Sejak 1995 dan 1997, upaya pengukuhan batas kawasan dilakukan untuk menjaga integritas wilayah ini.
Pada 2013, TNK ditetapkan sebagai bagian dari Koridor Keanekaragaman Hayati dan Bentang Alam Penanjung Kutai. Penetapan itu diperluas setahun kemudian mencakup wilayah Kalimantan Timur dan Utara. Tahun 2021, kawasan ini ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), menandai potensi besar TNK dalam wisata berbasis konservasi.
Walau dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur tahun 2024 terdapat pengurangan luas sekitar 400 hektare, Balai TNK memastikan perubahan itu berada di kawasan pemukiman dan tak mengganggu fungsi utama konservasi.
Taman Nasional Sebagai Laboratorium Alam dan Ruang Edukasi
Penetapan TNK bukanlah keputusan administratif belaka. Kawasan ini menyimpan fungsi vital dalam menjaga keanekaragaman hayati dan sebagai penyangga kehidupan. Menurut Budi, pemanfaatan kawasan pun sangat terbatas dan tidak mengakomodasi kegiatan industri, hanya diizinkan bagi masyarakat sekitar untuk keperluan tradisional seperti pengambilan rotan.
Masih sering disalahpahami sebagai hutan lindung, TNK sesungguhnya memiliki cakupan fungsi yang lebih luas. Jika hutan lindung fokus pada perlindungan hidrologi dan kesuburan tanah, maka taman nasional juga mencakup perlindungan satwa dan ekosistem langka.
TNK menerapkan sistem zonasi untuk mengatur fungsi tiap wilayahnya. Ada zona inti yang steril dari aktivitas manusia, zona pemanfaatan yang digunakan untuk wisata dan aktivitas tradisional terbatas, zona rehabilitasi untuk pemulihan ekosistem, serta zona penyangga yang melindungi dari tekanan eksternal.
Meski ada perubahan tata ruang, semangat menjaga TNK sebagai benteng terakhir pelestarian alam tetap terjaga. Taman Nasional Kutai kini menjadi wajah dari upaya konservasi berkelanjutan di Kalimantan Timur: tempat di mana alam, sejarah, dan masa depan berpadu dalam harmoni hijau yang lestari. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |