Psikolog Klinis UGM: Batasi Paparan Berita Negatif demi Menjaga Kesehatan Mental

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Derasnya arus informasi di era digital membawa dampak serius terhadap kondisi psikologis masyarakat. Berbagai pemberitaan negatif seperti konflik politik, aksi represif aparat, kasus korupsi, hingga tekanan ekonomi dinilai dapat memicu kecemasan kolektif jika dikonsumsi tanpa kendali.
Psikolog Klinis Universitas Gadjah Mada (UGM), Pamela Andari Priyudha, M.Psi, Psikolog, mengingatkan pentingnya menjaga kesehatan mental di tengah banjir konten yang kerap memicu stres. Ia menyebut paparan informasi negatif yang terus-menerus dapat memicu ketegangan psikologis kronis dan membentuk kondisi learned helplessness—yakni perasaan tidak berdaya meski sebenarnya masih ada solusi.
Advertisement
“Perasaan tidak mampu mengubah situasi bisa membuat seseorang apatis, frustrasi, bahkan depresi secara kolektif,” ujarnya, Rabu (9/4/2025).
Pamela menekankan pentingnya literasi digital sebagai kunci untuk menyaring dan memahami informasi secara kritis. Menurutnya, masyarakat masih kerap terjebak dalam kesimpulan instan hanya berdasarkan judul atau komentar, tanpa menelaah isi berita secara menyeluruh.
Rentan Terpapar: Siapa Saja yang Harus Waspada?
Kelompok yang dinilai paling rentan terhadap dampak berita negatif meliputi: Pertama, Lansia dan orang tua, yang terbatas dalam akses dan kemampuan digital. Kedua, Remaja dan anak muda, yang terlalu banyak menghabiskan waktu di media sosial. Ketiga, Masyarakat dengan literasi digital rendah, yang mudah percaya hoaks atau informasi tanpa sumber valid.
Tak hanya faktor informasi, menurut Pamela, kemampuan mengelola emosi juga sangat menentukan seberapa besar pengaruh negatif yang diterima seseorang.
“Individu dan institusi harus aktif mengedukasi masyarakat tentang cara mengelola emosi dan mengenali informasi yang sehat,” jelasnya.
Tips Psikolog: Cara Menjaga Kesehatan Mental dari Paparan Konten Negatif
Untuk membantu masyarakat tetap sehat secara mental di tengah derasnya informasi negatif, Pamela membagikan beberapa strategi yang dapat diterapkan:
Pertama, Batasi Konsumsi Berita
Jangan terlalu sering mengakses konten yang memicu kecemasan, terutama saat kondisi mental sedang tidak stabil.
Kedua, Cari Sumber yang Kredibel
Bandingkan informasi dari berbagai media terpercaya untuk mendapatkan gambaran yang objektif dan menyeluruh.
Ketiga, Jangan Reaktif
Tunda reaksi emosional terhadap berita sebelum memverifikasi fakta. Sikap rasional dan objektif sangat penting.
Keempat, Hindari Topik Emosional Berlebih
Jika merasa terganggu secara emosional, lebih baik menjauh sejenak dari isu-isu sensitif seperti konflik politik atau tragedi sosial.
Kelima, Konsumsi Konten Positif
Seimbangkan konsumsi informasi dengan konten yang membangun seperti kisah inspiratif, edukasi, dan hiburan ringan.
Keenam, Terapkan Self-Control
Fokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan, dan lepaskan hal-hal yang di luar kendali pribadi.
Bangun Dukungan Sosial: Dengarkan Tanpa Menghakimi
Pamela juga mengajak masyarakat untuk aktif memberikan dukungan emosional kepada orang terdekat yang sedang mengalami kecemasan. Salah satu bentuknya adalah menjadi pendengar yang baik, tanpa menghakimi atau memberi nasihat berlebihan.
“Terkadang, mereka hanya ingin didengar tanpa perlu dinilai. Kehadiran kita saja sudah cukup berarti,” ucap Pamela, yang juga mengajar di Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi UGM.
Namun, sebelum membantu orang lain, penting untuk memahami kondisi psikologis diri sendiri terlebih dahulu. Jika merasa belum siap, Pamela menyarankan untuk menghubungkan orang yang membutuhkan dengan tenaga profesional, seperti psikolog, psikiater, atau konselor.
Peran Kampus dan Komunitas: Benteng Ketahanan Mental di Era Digital
Menurut Pamela, lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam membangun ketahanan psikologis generasi muda. Kampus tidak hanya sebagai tempat menimba ilmu, tetapi juga harus mendukung perkembangan sosial dan emosional mahasiswanya.
Tak kalah penting, komunitas juga memegang tanggung jawab moral dalam menciptakan ekosistem digital yang sehat dan bebas dari misinformasi, ujaran kebencian, serta konten provokatif.
“Melalui kolaborasi, komunitas bisa membantu memverifikasi informasi, menyebarkan konten positif, dan menumbuhkan solidaritas sosial,” papar Pamela. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Sholihin Nur |