Renungan Kamis Putih-Jumat Agung: Kepemimpinan dalam Cinta yang Merunduk Hening

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Malam Jumat kala itu cukup sunyi. Angin malam Yerusalem berhembus pelan, seolah tahu akan hadirnya peristiwa besar yang akan mengubah dunia.
Di ruang atas yang sederhana, Yesus duduk bersama dua belas murid-Nya dalam Perjamuan Terakhir. Sebuah perjamuan yang akan tercatat, tak hanya dalam sejarah, tetapi dalam batin setiap jiwa yang mencari makna sejati dari cinta dan kepemimpinan.
Advertisement
Namun, bukan roti dan anggur yang menjadi pusat malam itu. Bukan juga nubuat akan pengkhianatan. Ada satu tindakan Yesus yang melampaui kebiasaan, yang melawan logika kekuasaan, namun menjelma menjadi lambang kasih yang abadi: Ia berlutut dan membasuh kaki murid-murid-Nya.
Kaki. Bagian tubuh yang menginjak tanah, menapak debu dan kotoran.
Di masa itu, hanya hamba rendahan yang bertugas membasuh kaki tamu. Tapi malam itu, Sang Guru yang diikuti ribuan orang, Sang Mesias yang diwartakan nabi-nabi, justru mengambil air, kain lenan, dan mulai mencuci kaki para pengikut-Nya satu per satu.
Yesus tahu persis siapa di hadapannya. Petrus, yang akan menyangkal-Nya. Tomas, yang akan meragukan-Nya. Bahkan Yudas, yang sudah menyusun rencana pengkhianatan.
Namun tak satu pun Ia abaikan. Karena kasih, bagi-Nya, bukan soal pantas atau tidak. Kasih, bagi Yesus, adalah soal keberanian untuk tetap melayani meski tahu akan disakiti.
Dari Lantai, Kepemimpinan Baru Didefinisikan
Yesus tidak sedang menciptakan drama. Ia sedang mengundang kita semua ke dalam sebuah logika baru kepemimpinan.
Sebuah alur bahwa kekuasaan sejati lahir dari kerendahan hati. Bahwa kepemimpinan sejati bermula dari keberanian untuk menjadi yang paling rendah demi meninggikan yang lain.
"Aku telah memberikan teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu." (Yohanes 13:15).
Sebuah pernyataan yang lebih dari sekadar ajakan. Itu adalah panggilan hidup. Panggilan untuk mengubah cara pandang tentang pemimpin.
Di dunia kita hari ini, di mana jabatan sering kali dijadikan tahta, dan kuasa menjadi alat untuk memerintah dari atas. Dan di sinilah Yesus justru memperkenalkan gaya yang bertolak belakang: pemimpin adalah pelayan, bukan penguasa. Pemimpin sejati turun ke lantai, bukan naik ke podium.
Dalam komunitas, kita mendambakan pemimpin yang hadir. Bukan hanya terlihat.
Seorang yang tidak sekadar memberi arahan dari belakang meja. Tapi berjalan di tengah rakyatnya, mendengar tanpa menghakimi, dan hadir tanpa pretensi.
Dalam organisasi, kita rindu sosok yang memberi makna pada kerja tim. Bukan hanya menuntut angka dan grafik.
Pemimpin yang rela turun tangan, ikut merasakan beban timnya. Dan tahu bahwa satu kalimat penguatan bisa menjadi bahan bakar bagi yang nyaris menyerah.
Di rumah, dalam keluarga, kita tahu bahwa yang paling mencintai bukan yang paling banyak bicara. Tapi yang paling dicintai adalah yang paling sabar mengerti.
Orang tua yang membimbing bukan hanya dengan aturan. Tapi dengan pelukan. Pasangan yang mencintai bukan hanya dengan janji, tapi dengan kesetiaan dalam hal-hal sederhana.
Kepemimpinan Yesus adalah kepemimpinan yang merangkul luka, bukan menjauh saat sulit. Kepemimpinan yang tahu bahwa membasuh kaki orang lain bukan merendahkan diri, tapi meninggikan kasih.
Sudahkah Kita Membasuh Kaki Hari Ini?
Dalam hidup ini, kita semua adalah pemimpin dalam lingkup kita masing-masing. Mungkin bukan dalam jabatan resmi, tapi dalam cara kita memberi teladan.
Maka mari kita bertanya dalam hati:
Siapa yang hari ini butuh kita hampiri, bukan untuk dinasihati, tapi untuk didengarkan?
Siapa yang diam-diam lelah, tapi tidak berani bicara, dan hanya butuh satu pelukan atau senyuman untuk bertahan?
Apakah kita berani merendahkan ego demi merangkul kembali yang pernah menyakiti?
Yesus tahu penderitaan yang menanti-Nya. Tapi Ia tidak menyibukkan diri dengan kecemasan pribadi. Ia memilih untuk melayani sampai akhir. Bahkan sampai membasuh kaki mereka yang akan meninggalkan-Nya. Bukankah ini puncak cinta dan kepemimpinan yang paling dalam?
Sebuah Undangan Abadi
Kamis Putih bukan hanya satu titik dalam kalender liturgi. Ia adalah panggilan hidup yang terus berdentang dalam hati yang peka: jadilah pemimpin yang tidak takut kotor karena cinta. Jadilah pemimpin yang tidak malu berlutut demi kasih. Jadilah pemimpin yang tidak menunggu dihormati, tapi mulai menghormati terlebih dahulu.
Dan ketika kita bersedia mengambil kain dan baskom kecil sebagai simbol pelayanan, maka sesungguhnya kita tidak hanya sedang meneladani Kristus. Namun, kita sedang menghidupkan kembali makna kepemimpinan yang manusiawi. Yang membumi. Yang menyentuh hati. Lalu, pada akhirnya, yang menyelamatkan.
Karena sesungguhnya, dunia tidak kekurangan pemimpin hebat. Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang berani membasuh kaki.
Kamis Putih dan Jumat Agung ini, mari kita tidak hanya mengenang, tapi memulai. Mulailah dari diri sendiri. Dari rumah. Dari kantor. Dari komunitas kecil.
Turunlah ke lantai, dan temukan kekuatan yang tidak ada di atas panggung, tapi juga ada dalam tangan yang melayani dan hati yang mengasihi. (*)
* Penulis adalah Ge Recta Geson. Founder AMRO Institute Surabaya
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Khoirul Anwar |
Publisher | : Rizal Dani |