Wawancara Khusus

Abdul Mukti Ro’uf: Perguruan Tinggi Pabrik Tenaga Kerja atau Kawah Pemikiran?

Jumat, 02 Mei 2025 - 14:20 | 10.04k
Dr. Abdul Mukti Ro’uf, MA., Dosen Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dr. Abdul Mukti Ro’uf, MA., Dosen Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di tengah gempuran tuntutan pasar kerja dan industrialisasi pendidikan, perguruan tinggi ditantang untuk kembali pada fitrahnya sebagai ruang pencarian kebenaran dan pembentukan manusia unggul, bukan sekadar pencari ijazah. 

Dalam wawancara ekslusif dengan TIMES Indonesia, Dr. Abdul Mukti Ro’uf, MA., Dosen Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, menegaskan bahwa universitas sejatinya bukan pabrik tenaga kerja, melainkan kawah candradimuka yang melahirkan insan pemikir yang sanggup menjawab kompleksitas zaman.

Advertisement

Menurut Mukti, saat ini banyak perguruan tinggi mengalami krisis identitas. Alih-alih menjadi rumah bagi perdebatan ilmiah yang mengguncang peradaban, kampus justru lebih sibuk melayani kepentingan administratif, tuntutan akreditasi, dan orientasi pragmatis demi menyuplai pasar kerja. 

Dasar Filosofis dan Visi Pendidikan Tinggi

Apa makna hakiki dari perguruan tinggi menurut Anda? Lebih sebagai penghasil tenaga kerja atau sebagai ruang pembentukan manusia berpikir?

Harus kembali ditegaskan bahwa lahirnya universitas atau perguruan tinggi adalah untuk menjawab tantangan peradaban umat manusia yang berubah dari waktu ke waktu sejak zaman kuno, pertengahan, dan modern. Karena itu, “manusia perguruan tinggi” adalah manusia yang berkemampuan untuk mengatasi masalah kemanusiaan yang kompleks. 

Karena kompleksnya, maka diperlukan kemampuan berpikir yang melampaui kemampuan yang bersifat teknokratik (hard skiil). Maka, perguruan tinggi tidak sama dengan pabrik yang mengeluarkan barang jadi. Ia mengeluarkan produk berupa “manusia berpikir” yang dengan pemikirannya bisa menghasilkan temuan sains dan teknologi.

Bagaimana Anda memandang relasi antara perguruan tinggi dan kebebasan berpikir dalam konteks universitas saat ini?

Terkadang ada yang salah kaprah dengan menganggap perguruan tinggi hanya untuk menghasilkan “manusia teknokrat” dan “manusia konkrit” dengan mengandalkan hard skiil (kemampuan teknis) dan mengabaikan kemampuan lainnya. Akibat yang bisa dirasakan hari-hari ini adalah keringnya perdebatan ilmiah yang “mengguncang” peradaban ilmu.

Banyak “manusia kampus”, diantaranya karena faktor regulasi pemerintah, dipaksa untuk sibuk memenuhi adminitrasi dan birokrasi pendidikan untuk kepentingan dan kemanjuannya sendiri. Karenanya, suasana yang terasa adalah fakumnya gagasan besar yang bisa merubah dunia. Alih-alih, berkontribusi pada perdaban ilmu pengetahuan, seringkali yang terjadi adalah kenyamanan di zona nyaman.

Apakah Anda melihat pergeseran orientasi universitas dari “pencari kebenaran” menjadi “penyedia jasa”? Apa dampaknya?

Ya. Memang, diksi “pencari kebenaran” yang bersifat filosofis itu dalam kenyataannya sering kalah bertarung dengan diksi “penyedia jasa” yang terkesan lebih konkrit dan berorientasi pada transaksi ekonomi. Jika itu yang terjadi, tanpa sadar sebenarnya universitas telah lari dari khittahnya sendiri sebagai ruang pemikiran yang diinstutusionalisasi. 

Jangan lupa, istilah “pencari kebenaran” harus dimaknai lebih terukur, yaitu kegiatan penelitian yang sungguh-sungguh sebagai ruh dari universitas. Dari sisi politik anggaran misalnya, kegiatan penelitian di perguruan tinggi masih jauh dari harapan. 

Jika kegiatan penelitian sebagai dervasi dari tugas mencari kebenaran masih menjadi “anak tiri” dari postur anggaran negara, maka jangan bermimpi berlebihan untuk mencapai target Indonesia Emas yang selama ini dinarasikan oleh negara. 

Mengapa? Karena kemajauan suatu bangsa selalu identik dengan kemajuan ilmu pengetahaun suatu bangsa itu sendiri. Itu sudah menjadi aksioma sejarah bangsa-bangsa dan peradaban dunia.

Struktur dan Kurikulum

Apakah kurikulum saat ini di universitas cukup mendorong berpikir kritis dan multidisipliner, atau justru terlalu diarahkan pada kebutuhan pasar kerja?

Nah, itu salah satu masalahnya. Kurikulum sebagai panduan akademik di perguruan tinggi, dalam prakteknya sering kebingungan dalam mersepons realitas yang kompleks. Karenanya sering berubah-rubah. Ada suasana tarik menarik antara tuntutan penyerapan tenaga kerja bagi para alumninya pada satu sisi dan proses memproduksi “manusia unggul”. 

Menurut pandangan saya, universitas pertama-tama harus fokus pada pembangunan dan pengembangan manusia berkualitas tanpa mengecilkan kebutuhan pasar kerja. Mengapa, karena teorinya, jika universitas mampu menghasilkan SDM yang berkualitas dengan spesifikasi ilmunya dengan pendekatan yang multi-disiplin, pasar kerja akan tersedia dengan sendirinya. Jadi bukan “ketakutan” pada pasar kerja. Tapi takutlah pada potensi lemahnya sumber daya manusia yang diciptakannya.

Bagaimana universitas menyeimbangkan antara spesialisasi ilmu dan pembentukan karakter serta wawasan kebangsaan?

Saya termasuk yang menganut paradigma integrasi antara sains, agama, dan karakter termasuk dalam hal ini adalah wawasan kebangsaan. Jadi, definisi “insan kamil” dalam konteks Indonesia menurut saya ketika terjadi “perserikatan” antara kapasitas ilmu, agama, dan akhlak kebangsaan. 

Dan itu menjadi tanggung jawab universitas yang mengemban amanat untuk memfasilitasi terbentuknya “manusia unggul”. Maka, apapun disiplin ilmunya di universitas, dimensi spiritualitas dan pengejawantahan budya asli Indonesia harus menjadi trade mark yang kuat.

Apa risiko dari universitas yang terlalu pragmatis dan terjebak pada orientasi industri?

Ya, universitas hanya sebagai pabrik yang hanya sekedar menyiapkan tenaga kerja industri. Padahal, hidup manusia tidak hanya di tempat kerja. Ia hidup di tengah-tengah masyarakat yang beragam.

Kebijakan dan Kepemimpinan Institusional

Sejauh mana peran pimpinan universitas dalam menjaga arah dan nilai dasar dari pendidikan tinggi?

Memang sekarang banyak tuntutan yang berubah. Tidak mudah bagi pimpinan perguruan tinggi untuk menyeimbangkan antara memelihara ruh perguruan tinggi sebagai produsen ilmu pengetahuan dan tuntutan kebutuhan dasar seperti kelayakan pekerjaan bagi para alumninya. 

Tetapi, sekali lagi, jiwa perguruan tinggi sebagai pabrik ilmu pengetahuan tidak boleh runtuh karena berbagai tantangan pragmatis. Maka pimpinan perguruan tinggi harus menjadi simbol universitas sebagai penjaga kebenaran ilmiah yang selalu kritis dan berintgritas.

Bagaimana kebijakan pemerintah dalam pendidikan tinggi memengaruhi arah perkembangan universitas?

Sebagian besar universitas merasa bahwa perhatian negara pada pertumbuhan dan perkembangan perguruan tinggi di Indonesia masih lemah. Meskipun ada kepastian hukum tentang alokasi dana pendidikan 20 persen dari APBN, dalam realisasinya masih banyak yang harus dievaluasi secara menyeluruh termasuk dalam hal kesejahteraan dosen. 

Bayangkan, ada demo para dosen yang menuntut tunjangan kinerjanya belum dibayar oleh pemerintah di tengah-tengah tragedi mega korupsi ratusan triluan oleh segelintir orang, ironis bukan?

Apakah ada tekanan dari luar, baik politik maupun ekonomi yang menggeser fungsi ideal universitas?

Harusnya tidak boleh ada yang menekan, termasuk negara. Kenapa, universitas itu bukan partai politik yang mudah dibawa masuk sebagai institusi partisan. Universitas itu bagian dari civil society yang harus terus menguatkan kualitas demokrasi. 

Karena itu, “manusia universitas” harus terus mewaraskan pikirannya sebagai salah satu pilar dari civil society. Jika terbawa masuk dan apalagi mudah ditekan, kepada siapa masyarakat akan berharap?

Peran Sosial dan Budaya

Bagaimana universitas bisa memainkan peran sebagai agen perubahan sosial, bukan hanya sebagai pabrik tenaga kerja?

Memang, universitas harus terus menjaga fungsi dan perannya sebagai agen perubahan sosial di tengah-tengah kompleksnya persaingan dunia kerja. Karenanya, universitas mendisplinkan diri sebagai juru bicara aktif bagi masyarakat sipil yang menyampaikan kebenaran. Universitas tidak boleh diam dan menutup mata atas perilaka yang menyimpang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apakah Anda melihat universitas masih menjadi tempat perdebatan intelektual yang bebas dan terbuka?

Nah, itu dia. Saya rasa kita jarang melihat perdebatan intelektual yang membahana seperti pada masa-masa lalu. Tapi mungkin karena eranya sudah berubah sehingga bentuk dan format perdebatannya sudah bergeser. Bisa jadi, bebrapa kanal media sosial dapat menjadi ruang perdebatan intelektual. Yang penting semangat intelektualitasnya tidak meredup.

Bagaimana universitas mendekatkan diri dengan persoalan masyarakat secara nyata, bukan hanya dalam teori?

Perguruan tinggi, dalam pundaknya ada tri dharma yang melekat: pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Karena itu, doktrinnya ilmu bukan untuk ilmu tetapi untuk kemaslahatan umat manusia. 

Tapi jangan salah, tindakan dalam bentuk konkrit tidak boleh melepaskannya dari pendekatan ilmu pengetahuan. Maka, kegiatan kegiatan pendampingan, advokasi adalah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari misi perguruan tinggi.

Pandangan Mahasiswa dan Dunia Kerja

Menurut Anda, bagaimana mahasiswa memaknai pendidikan tinggi? dan Apakah sebagai jalan untuk kerja atau tempat untuk menemukan jati diri dan ilmu?

Mengorientasikan perkuliahan untuk mendapat pekerjaan yang layak itu tidak salah. Tetapi, perguruan tinggi jauh lebih besar misinya setidakny ada lima, 1) memberikan pemahaman mendalam tentang bidang ilmu tertentu; 2) memeberikan kemampuan analitis dan berpikir kritis; 3) memberikan keterampilan komunikasi yang memadai; 4) memberikan ruang pergaulan dan jaringan sosial. Dan 5) menemukan jati dirnya (self discovery)

Apakah ada jurang antara harapan dunia kerja dan idealisme pendidikan universitas?

Selalu ditemukan jurang itu. Tetapi yang penting adalah tidak terjermus pada jurang itu, kan,hahaha. Saya kira sekarang ada upaya pemerintah untuk mengatasi jurang itu misalnya dengan merubah nama kementerian menjadi Kementerian Dikti- Saintek. 

Itu maksudnya agar perguruan tinggi dan dunia usaha berjalan simultan dan bekerja dalam kerangka mutal-benevit. Maka keduanya harus berkomunikasi dan berkolaborasi secara baik dan nyata. Pemerintah harus menjadi fasilitator yang baik untuk menjembatani jurang itu.

Apa yang seharusnya dilakukan agar lulusan tidak hanya “siap kerja” tetapi juga “siap berpikir dan hidup”?

Bekerja itu bagian dari hidup dan kehidupan. Kemampuan berpikir untuk hidup lebih baik dan bermanfaat itu yang utama. Doktrin perguruan tinggi adalah “doktrin kemanusiaan”. Karena itu, doktrin tentang pendidikan karakter menjadi yang utama selain mengasah kemapun teknis untuk menghadapi dunia pekerjaan. 

Coba bayangkan, banyak orang profesional di bidangnya tetapi tidak bisa mengatasi sifat dan kebiasaan koruptifnya. Banyak ahli hukum dihukum, ahli ekonomi ditangkap karena ilmunya. Ahli pertambangan menembang hanya untuk dirinya dan kelompoknya. Itu apa kalau bukan karakter/akhlak. Maka mengarusutamakan pendidikan karekter menjadi sangat pokok. Baru yang lain-lain.

Internasionalisasi dan Teknologi

Apakah tren globalisasi dan digitalisasi memperkuat atau justru mengikis fungsi intelektual universitas?

Arus zaman dan teknologi itu bukan tujuan. Ia hanya fase sejarah dan alat untuk memudahkan kehidupan manusia. Karenanya ia tidak boleh menjadi alat pengikis intelektual. Dengan intelektualitasnya manusia harus mampu menundukan zaman.

Begitu juga dengan teknologi. Ia dalah produk intelektual. Maka intelektualitas yang menjadi ciri utama yang melekat pada universitas harus menjadi “panglima” dalam mengelola berbagai tantangan zaman.

Bagaimana universitas di Indonesia bisa tetap relevan di tengah arus global sambil menjaga jati dirinya?

Sebagai suatu bangsa, ia tidak boleh terasing dari pergaulan dunia sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi pada saat yang sama, ia harus bergerak dari tradisinya sendiri. Sehebat apapun doktrin politik dan ekonomi dari negara luar, nasionalisme adalah filternya. 

Maka berkehidupan global harus berangkat dari kearifan lokal agar jati dirinya sebagai bangsa yang merdeka berdiri tegak di hadapan dunia. Universitas di Indonesia harus menjadi cermin dari komitmen kebangsaan itu. Universitas, sesuai dengan namanya harus mengglobal terutama dari hasi-hasil risetnya, tetapi harus tetap berdiri di atas nilai-nilai keindonesiaan yang kuat dan kokoh.

Evaluasi dan Harapan

Dalam 10 tahun terakhir, menurut Anda apakah fungsi universitas sebagai tempat berpikir semakin menguat atau melemah?

Saya kira ada kecnderungan melemah. Hal itu dapat dibuktikan dari rengking universitas di dunia. Tentu saja faktornya banyak. Tetapi saya meyakini bahwa kecerdasan orang Indonesia tidak kalah dengan negara-negara maju di dunia.

Yang membedakan barangkali iklimnya saja. Maka untuk menguatkan kapasitas universitas, penguatan iklim akademik yang menguatakan aktivitas riset harus menadapat perhatian bersama.

Apa reformasi utama yang Anda rasa paling mendesak agar universitas bisa kembali pada fitrahnya?

Menurut saya harus ada political will yang kuat dari negara terutama masalah keberpihakan anggaran. Bagaimana para dosen dan pekerja kampus tidak sibuk mencari pekerjaan tambahan di luar kampus hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Begitu juga dengan mahasiswa yang harus dijamin kesertaannya sebagai mahasiswa tanpa disibukan dengan kesulitan membayar UKT.

Jika Anda diberi kesempatan untuk merancang ulang universitas ideal, seperti apa bentuk, orientasi, dan peran utamanya?

Pertama, universitas harus berdiri tegak sebagai produsen ilmu pengatahuan dan pembangunan manusia unggul yang bisa memprediksi kehendak zaman. Untuk kebutuhan itu keberdaannya harus menjadi simbol negara.

Mungkin, di Indonesia “universitas bagus” itu cukup satu di setiap profinsi dengan kualifikasi A. Kampus lain bisa berkelas B dan C untuk menampung mahasiswa yang tidak bisa masuk di kampus kelaas A. 

Kedua, kurikulum universitas harus berorientasi pada karakter “manusia unggul Indonesia” dengan spesifikasi ilmu tertentu (hard skiil). Ketiga, universitas harus tetap menjadi rumah masyarakat sipil sebagai agen perubahan sosial dengan pendekatan multi-disiplin dengan paradigma integrasi. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES