
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Hidup ini seperti rumah. Ada ruang tamu yang rapi, harum, penuh senyum.
Ada pula dapur belakang. Penuh kepulan asap, panci gosong, cucian menumpuk, dan semacamnya. Ruang letih yang tak pernah dipamerkan.
Advertisement
Kita semua punya keduanya. Maka jangan hanya percaya pada aroma wangi dari ruang depan. Sebab di belakangnya selalu ada peluh yang tersembunyi.
Entitas apa pun - apa itu keluarga, organisasi, bangsa, bahkan diri kita sendiri - beroperasi dalam dua dunia: ruang depan dan ruang belakang.
Ruang depan adalah tempat senyum disusun, kesan dibentuk, dan kata-kata indah dilafalkan.
Di sinilah kita tampak "baik-baik saja." Ruang depan adalah etalase hidup. Bersih, terang, dan seringkali penuh pencitraan. Kita mengatur ruang ini agar pantas disaksikan dunia.
Tapi hidup yang sebenarnya tidak tinggal di situ. Ia tinggal di ruang belakang. Tempat letih mengendap. Tempat air mata jatuh tanpa suara.
Ya, itu adalah tempat di mana kita benar-benar menjadi manusia. Bukan hanya penampil peran dalam drama kehidupan
Ruang belakang bukan untuk konsumsi publik. Itu wajar. Karena hidup bukan pertunjukan. Ia adalah perjuangan yang kadang harus berlangsung dalam senyap.
Sayangnya, di era media sosial dan citra digital ini, ruang depan jadi terlalu megah. Kita sibuk mendekorasinya. Sibuk menciptakan kesan. Sibuk terlihat bahagia. Lupa membersihkan ruang belakang yang mulai penuh luka.
Padahal, urip kuwi lek pingin sumeleh, kudu ngerti mbotekane. Kalau ingin hidup tenang, pahami isi dapur.
Artinya, ketenangan tak datang dari impresi luar. Tapi dari kemampuan memahami proses dalam. Menerima kekacauan, menyapu debu luka, dan tetap tersenyum meski tak semua rencana berjalan.
Banyak orang terlihat bahagia, padahal sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Banyak yang terlihat gagah, padahal sedang lelah menjaga ruang belakangnya tetap tersembunyi.
Orang bilang sekarang; Garuda. Gagah di depan remuk di dada.
Maka jangan pernah iri pada mereka yang ruang depannya tampak mewah. Sementara, kita tidak tahu apa yang sedang mereka bereskan di belakang layar hidupnya.
Begitu pula sebaliknya. Jangan pamerkan ruang belakang kepada sembarang orang.
Karena tidak semua mata mampu memahami luka. Tidak semua telinga layak mendengar tangis. Tidak semua hati mampu menjaga rahasia.
Ada istilah Jawa yang sederhana tapi mendalam: sawang sinawang. Hidup ini hanyalah soal bagaimana saling melihat. Maka jangan hanya melihat dari luar. Dan jangan pula menilai orang dari belakang rumahnya. Karena semua kita, punya ceritanya masing-masing.
Sepi yang Bermakna
Menjaga ruang belakang adalah pekerjaan yang sepi, tapi penuh makna. Di sanalah kita ditempa. Di sana pula belajar rendah hati.
Dan dari sana pula lahir rasa syukur, saat menyadari betapa indahnya bisa bertahan, meski tak selalu dipuji.
Percayalah, hidup itu tidak bahagia terus. Tidak pula sedih terus. Bergantian. Ada siang, ada malam. Ada tawa, ada tangis. Dan semua itu perlu dipeluk dengan lapang dada.
Beberapa malam lalu, penulis bertemu Mbah Sis, sesepuh Tengger, Bromo. Kata beliau, kalau ingin anteng (pikiran, manah, rasa, otak dari hiruk pikuk dunia), naiklah ke Tengger.
Di sana pikiran kamu bisa seger. Dan hidup tak sampai klenger.
Kata Mbah Sis, di ketinggian, kita belajar memandang dengan bijak. Bukan dari ruang depan, bukan dari ruang belakang, tapi dari jarak yang utuh. Dari ketinggian batin yang menerima segalanya sebagai bagian dari kehidupan.
Jangan Buru-Buru Sempurna
Well, dalam menjalani hidup ini jangan buru-buru ingin terlihat sempurna. Jangan sibuk membandingkan ruang depanmu dengan milik orang lain.
Rawat ruang belakangmu dengan sabar. Percayalah, dari sanalah kebahagiaan sejati tumbuh.
Sebab hidup bukan soal tampilan. Tapi soal kejujuran kita pada proses.
Tidak ada rumah yang sempurna. Tapi ada rumah yang damai. Karena penghuninya saling memahami ruang depan dan belakang. Tentu, memahami dengan cinta, kesadaran, dan hati yang terus belajar. Matur nuwun Mbah Sis atas pencerahannya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |