Gaya Hidup

Renungan Minggu: Menjawab Panggilan Ilahi di Tengah Hiruk Pikuk Dunia

Minggu, 18 Mei 2025 - 07:02 | 11.65k
Ilustrasi
Ilustrasi
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Di sebuah kapel kecil yang diterangi cahaya lembut lilin, gema suara umat menyanyikan Mazmur terasa menyentuh relung hati. Udara penuh kekhusyukan. Serasa berhenti. Senyap. Seolah seluruh semesta ikut diam menyimak. 

Hari itu, Minggu Panggilan dirayakan. Perayaan bukan hanya sebagai agenda liturgi, tetapi sebagai momen penyadaran dan pencerahan bahwa tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini.

Advertisement

Minggu Panggilan bukan sekadar soal para pastor atau biarawan. Hari ini, Gereja menyerukan sesuatu yang lebih luas dan dalam; bahwa setiap orang, setiap dari kita, juga dipanggil. 

Termasuk mereka yang sibuk dengan tugas kantor. Mengasuh anak di rumah, mengajar di sekolah, mengemudi angkot, atau mengurus ladang.

Yesus Mengenal Kita, Sebelum Kita Sadar Siapa Diri Kita

Dalam Injil Yohanes 10, Yesus berkata dengan kelembutan seorang Gembala, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku. Aku mengenal mereka dan mereka mengikuti Aku.”

Kalimat ini seperti pelukan bagi jiwa yang lelah. Ia mengingatkan bahwa Tuhan tidak hanya memanggil orang-orang kudus di altar. Tapi, Tuhan juga memanggil mereka yang memikul beban dunia dengan setia di tempat tersembunyi.

Mungkin kita tak merasa layak. Mungkin hidup kita biasa saja. Tapi dalam logika kasih Tuhan, yang “biasa” bisa menjadi luar biasa jika dijalani dalam terang iman.

Menjadi Nabi: Ketika Hidup Menjadi Kabar Gembira

Kisah Para Rasul 13 menampilkan Paulus dan Barnabas yang terus mewartakan kebenaran walau ditolak. Gambarannya sederhana, namun kuat: Dua manusia biasa yang berjalan dari kota ke kota, membawa Sabda yang mengubah hidup. Mereka tidak takut ditolak, karena panggilan lebih kuat dari ketakutan.

Kita pun dipanggil menjadi nabi. Walau, tentu dalam bentuk paling nyata dan praktis

Sebut saja, seorang guru yang tetap jujur memberi nilai, meski tekanan datang dari segala arah.

Lalu, seorang pengusaha kecil yang menolak menyuap untuk izin usahanya.

Atau, seorang remaja yang memilih berkata benar ketika teman-temannya memilih diam. Dan contoh-contoh riil lainnya.

Dalam tindakan-tindakan inilah Injil diberitakan. Dunia haus akan kejujuran dan harapan. Dan Tuhan mengutus kita sebagai utusan-Nya, bukan dengan mimbar, tetapi dengan integritas.

Menjadi Imam: Mengubah Rutinitas Menjadi Doa

Wahyu 7 menampilkan gambaran megah: lautan manusia berpakaian putih, memuliakan Allah. 

Tapi yang menarik, mereka disebut “telah mencuci jubah mereka dalam darah Anak Domba.” Artinya, mereka adalah orang-orang yang telah melewati proses, air mata, dan perjuangan.

Sebagai imam awam, kita ikut mempersembahkan dunia kepada Allah. Tidak ada yang terlalu remeh. Misalnya saja ini;

Seorang ibu yang memasak sambil berdoa bagi anak-anaknya. Ia dengan tekun dan ikhlas melayani anak-anaknya itu.

Kemudian, seorang petani yang bangun subuh lalu menundukkan kepala sebelum memegang cangkul. Berdoa agar apa yang dilakukannya bermanfaat bagi sesama.

Contoh lagi, seorang perawat yang membasuh luka dengan kasih, seolah sedang menyentuh tubuh Kristus sendiri. Kelembutan kasihnya serasa menghilangkan sakit pasien akibat luka itu.

Semua itu adalah kurban rohani. Sebuah rutinitas, yang ketika dijalani dengan cinta dan kesadaran, akan menjadi persembahan yang harum bagi surga.

Menjadi Raja: Memimpin dengan Kerendahan Hati

Yesus sebagai Raja tidak duduk di takhta emas. Ia ada di kayu salib. 

Ia memimpin bukan dengan instruksi keras, tapi dengan tindakan pengorbanan. Maka, menjadi raja dalam terang Kristus adalah menjadi pelayan bagi yang lain.

Setiap kita bisa memimpin. Tak peduli apa jabatannya. Renungi misalnya;

Seorang anak muda yang menjadi teladan kesabaran di tengah dunia digital yang serba cepat. Ia bisa mengendalikan dirinya untuk tidak larut dan terjerumus.

Contoh lagi, seorang manajer yang memanusiakan bawahannya, bukan memanfaatkannya. Ia tekun menularkan kebaikan. Menyambungkan keselarasan hidup dengan semua frekwensi.

Ada lagi, seorang lansia yang menjadi sumber damai di lingkungan RT-nya. Ia memberi teladan dengan kebijaksanaannya 

Kepemimpinan bukan tentang siapa yang paling berkuasa, tapi siapa yang paling mencintai.

Hidup Bukan Kebetulan, Ini Panggilan

Wahyu 7 menutup bacaan hari ini dengan kalimat yang sungguh menggetarkan: “Anak Domba akan menggembalakan mereka dan menuntun mereka ke mata air kehidupan.” 

Inilah tujuan akhir panggilan kita: persekutuan abadi dengan Sang Gembala, di mana air mata dihapus, dan damai menjadi sempurna.

Hari ini, marilah kita bertanya dalam keheningan jiwa:
“Di mana aku bisa menjadi nabi, imam, dan raja?”

Tuhan tidak menunggu kita menjadi suci terlebih dahulu. Ia memanggil kita di sini dan sekarang. Di tengah kesibukan, perjuangan, luka, dan impian kita. Karena bukan kebetulan kita berada di tempat kita saat ini.

Mungkin di balik meja kerja, di tengah pasar, atau di ruang tamu yang sederhana—di sanalah panggilan itu hidup dan berbicara.

Dan jika hati kita cukup tenang untuk mendengarkan, kita pun akan menjawab:
“Ya Tuhan, utuslah aku.” (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Khoirul Anwar
Publisher : Rifky Rezfany

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES