Gaya Hidup

Renungan Minggu: Kemuliaan Kasih di Jalan Ketaatan Ilahi

Minggu, 25 Mei 2025 - 07:07 | 19.23k
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Pagi itu, matahari belum sepenuhnya terbit. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan. Menebarkan keheningan yang seakan mengajak jiwa untuk merenung lebih dalam. 

Di kapel kecil pinggir kota, seorang wanita tua duduk tenang dengan rosario di tangan. Tangannya gemetar, tapi matanya tenang. Di sisi altar, nyala lilin berdansa pelan dalam ritme napas yang suci. 

Advertisement

Di tengah dunia yang gaduh, satu suara terus bergema dalam hati orang-orang beriman: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi…” (Yohanes 13:34)

Ayat ini bukan sekadar ajakan moral. Ia adalah sabda terakhir dari Tuhan yang hendak memikul salib. Yesus, dalam malam pengkhianatan, tidak sibuk menuntut keadilan atau membalas. 

Tapi Dia justru menyatakan kasih. Lalu, dari kasih itulah kemuliaan-Nya memancar.

Bagi dunia, salib adalah lambang kehinaan. Namun bagi Kristus, salib adalah takhta ketaatan dan kasih yang menyelamatkan. Ia tidak sekadar mati karena kebencian dunia, tetapi hidup dan bangkit karena ketaatannya yang sempurna kepada Bapa. 

Di salib itulah kasih mencapai puncaknya. Dan, dari salib itu pulalah kemuliaan sejati lahir.

Kegagalan Manusia dan Retaknya Kasih

Sejarah manusia bermula dari taman yang tenang, tempat kasih dan kebebasan bersemayam. Namun manusia pertama lebih memilih kehendaknya sendiri.

Ketika ketaatan digantikan oleh ambisi, relasi dengan Allah pun retak. Ketika kasih digantikan ego, maka masuklah perpecahan, sakit hati, dan maut.

Dosa bukan cuma pelanggaran hukum. Ia adalah penolakan terhadap kasih. Dan sejak saat itu, manusia terus berusaha mencari jalan pulang ke pelukan kasih sejati yang telah hilang.

Salib: Kasih yang Membebaskan

Namun Allah tidak menyerah. Ia tidak membiarkan kasih-Nya sirna. Ia mengutus Putra Tunggal-Nya untuk membangun kembali jembatan kasih itu. 

Kristus, dalam penderitaan-Nya, tidak hanya menanggung dosa kita. Ia memikul ketidaktaatan kita dengan ketaatan-Nya.

Melalui Ekaristi, kita mengenang kasih itu yang tak berkesudahan. Dalam sepotong roti dan setetes anggur, ada pengorbanan abadi yang memulihkan. 

Di meja perjamuan itulah kita disatukan kembali, menjadi satu tubuh dalam kasih. Dalam tiap perayaan, kita tidak sekadar mengingat, tetapi diubah. Diubah menjadi manusia baru yang hidup dalam persekutuan kasih Allah.

Mengasihi: Tanda Murid Sejati

Tetapi kasih tidak berhenti di altar. Ia menuntut perwujudan. Injil bukan teori, melainkan tubuh yang hidup. 

Ketika kita menerima kasih Kristus, kita pun menerima tugas. Sebuah tugas untuk menjadi pembawa kasih itu di dunia.

Mengasihi bukan sekadar merasa iba. Tapi juga mampu bertindak. 

Bertindak, saat kita mendengarkan keluh kesah teman yang sepi. Bertindak, saat kita memaafkan meski hati masih nyeri. Dan, saat kita memilih memberi, bukan mengambil.

Kasih yang sejati melampaui batas logika. Ia hadir di dapur rumah yang sederhana, di ruang kantor yang penuh tekanan, di jalanan kota yang tak ramah. Dan di sana pula Allah dimuliakan—bukan oleh liturgi megah, tetapi oleh hati yang tulus mencintai.

Citra Surga di Bumi

Bacaan dari Kisah Para Rasul menunjukkan kepada kita, bahwa komunitas pertama tumbuh karena kasih. Mereka saling berbagi, saling menguatkan, dan meneguhkan iman. 

Di situlah jemaat menjadi saksi. Bukan lewat pengajaran semata. Namun lewat hidup yang diwarnai pelayanan.

Sementara dalam Wahyu, Yohanes melihat langit dan bumi yang baru. Tempat di mana Allah berdiam bersama umat-Nya.

Ini bukan gambaran khayal, tapi harapan yang mulai bertumbuh setiap kali kita membangun relasi yang didasari kasih. Dunia ini bisa diperbarui, satu tindakan kasih pada satu waktu.

Dimuliakan dalam Kasih

Saudara-saudari, hidup kita tidak dimuliakan oleh jabatan, pujian, atau pencapaian duniawi. Kita dimuliakan ketika kita mengasihi. Sebab dalam kasih itulah Allah hadir, dan di sanalah kemuliaan sejati memancar.

Yesus tidak memerintahkan yang mustahil. Ia hanya mengajak kita meneladani apa yang telah Ia lakukan. Dengan saling mengasihi, kita menandai diri sebagai murid-Nya. Dan dalam kasih itu, dunia mengenal Allah yang tinggal bersama umat-Nya.

Hari ini, mari bertanya: Sudahkah aku menjadi saluran kasih? Sudahkah hidupku memuliakan Allah?

Dan bila belum, masih ada waktu. Karena kasih Allah tak pernah tertutup. Ia hanya menanti kita membuka hati.

“Dengan saling mengasihi, dunia akan tahu bahwa kamu adalah murid-Ku.” (Yohanes 13:35). (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Khoirul Anwar
Publisher : Rifky Rezfany

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES